Oleh : Abu Shahwah As Sundawy (Pengasuh Pondok Pesantren Nidaa Al-Haar Pondok Melati Bekasi)
“إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ”
(Hanya kepada-MU kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan)
Dalam ilmu balaghah ini adalah termasuk bab iltifat minal ghaybah ilal khithab (pemindahan pembicaraan dari pihak ketiga kepada pihak kedua / lawan bicara), yang menurut Imam Asy Syaukani, bila sebuah kalam ditransmisikan dari satu uslub pada uslub yang lain akan menjadikan lebih bagus dalam melunakan perhatian si pendengar dan membangkitkan perhatiannya, sebagaimana hal tersebut ditegaskan dalam ilmu ma’any (bagian ilmu balaghah). Sedangkan menurut Imam Ibnu Katsir berpindahnya kalam dari ghaybah (yang tidak ada dihadapan) pada yang ada dihadapan dengan menggunakan “kaafulkhithab” adalah tepat, karena ketika ia memuji Allah SWT seolah-olah ia mendekat dan berada dihadapan-Nya.
“Al ibadah” secara bahasa menurut Imam Abu Ishaq az zujaj, ta’at yang disertai dengan ketundukan. Sehingga makna “iyyaka na’budu” kami ta’at kepada-Mu yang disertai dengan ketundukan. Sedang menunurut jumhur bahwa “ibadah” maknanya adalah “attadzalul” (merasa rendah) atau “attajrid”(totalitas) menurut Ibn Sikkit. Atau menurut Imam Ali Ash Shabuny maknanya adalah “adzillah wal isti’anah” (rendah dan permohonan pertolongan). Sedangkan menurut Imam Azzamakhsyari maknanya adalah “aqsha ghayatil khudhu’ wa tadzalul” (puncak tujuan ketundukkan dan kerendahan). Itulah makna ibadah secara bahasa, adapun secara syar’i menurut Imam Ibnu Katsir maknanya adalah ungkapan (‘ibarah) mengenai hal yang menghimpun kecintaan, kerendahan dan rasa takut. Sedangkan ulama lain mendefinisikan ibadah sebagai Taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT dengan melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya serta mengamalkan semua yang diizinkan asy syari’ (Allah SWT). Atau adapula ulama yang mendefinisikan ibadah sebagai sebuah nama yang menghimpun untuk setiap yang dicintai dan diridhai Allah SWT baik itu berupa ucapan maupun perbuatan yang dzahir ataupun yang batin. Demikianlah makna ibadah secara etimologis dan syar’i.
“Iyyaka na’budu”,menurut Imam Asy Syaukany, Jumhur ulama berpendapat bahwa didahulukannya maf’ul atas fi’il dan fa’ilnya dimaksudkan “lil ikhtishash” (untuk mengkhususkan). Dan masih menurut Beliau, atau dikatakan tujuannya “lil ihtimam” (untuk menunjukkan perhatian). Dan yang benar, menurut beliau, untuk tujuan keduanya (ikhtishahs dan ihtimam) dan tidak bertabrakan makna diantara keduanya. Sehingga makna “iyyaka na’budu” adalah kami beribadah hanya khusus kepada-Mu dan tidak beribadah pada selain-MU. Begitu pula penafsiran Imam Nawawy Al Bantany tidak jauh berbeda dengan penafsiran beliau. Sedangkan menurut Imam Ibnu Katsir didahulukanya maf’ul (iyya) lil ihtimam wal hashr (untuk menunjukan perhatian dan pembatasan) sehingga maknanya adalah Kami tidak akan beribadah kecuali hanya kepada-Mu dan Kami pun tidak akan bertawakal kecuali kepada-Mu, inilah yang disebut kesempurnaan ta’at. Adapun Imam al Baghawy maknanya adalah kami mengesakan-Mu dan menta’ati-Mu dengan penuh ketundukkan. Sementara Imam Asy Syinqithi menjelaskan terkait frase ini, dengan mengatakan : Allah SWT mengisaratkan didalam ayat ini untuk merealisasikan makna “laa ilaha illallah” karena maknanya terdiri dari dua perkara yaitu “an nafyu” (menafikan) dan “itsbat” (menetapkan). Maka “an nafyu” itu adalah menanggalkan semua yang disembah selain Allah SWT, pada semua jenis yang disembuh. Sedangkan “al itsbat” adalah mengesakan Rabb langit dan bumi dengan semua bentuk ibadah yang disyari’atkan.
“Waiyyaka nasta’in”
Imam Nawawy Al Bantany menafsirkan frase ayat ini dengan :”hanya kepada-MU kami memohon pertolongan untuk beribadah, tidak ada daya untuk meninggalkan kemaksiatan kecuali perlindungan-MU dan tidak ada kekuatan untuk melaksanakan ketaatan kecuali dengan taufik dari-MU. Sementara Imam asy syaukany menafsirkannya dengan mengatakan :”hanya kepada-MU kami memohon pertolongan untuk melaksanakan ketaatan kepada-MU dan atas urusan kami semuanya. Sedangkan Imam Asy Syinqity mengatakan :”kami tidak akan meminta pertolongan kecuali hanya kepada-MU saja, karena semua urusan berada dalam genggaman-MU saja, tidak ada yang berkuasa yang sejajar dengan-MU walaupun seberat atom. Adanya frase ini setelah frase “iyyaka na’budu” ini menunjukan bahwasanya tidak layaknya seseorang bertawakal kecuali pada yang berhaq untuk diibadahi, karena selainnya tidak berkuasa terhadap apapun”. Imam Qatadah memaknai ayat ini, seperti yang dikutif Imam Ibnu Katsir, dengan menagatakan :”Allah SWT memerintahkan kepada kalian untuk beribadah dengan ikhlas karena-Nya, dan memerintah kalian untuk memohon pertolongan kepada-Nya atas urusan kalian. Adapun Imam al Baghawy menafsirkannya dengan mengatakan :”kami memohon pertolongan-MU untuk melaksnakan ibadah kepada-MU dan atas semua urusan kami”.
Disertakannya “isti’anah” (permintaan pertolongan) dengan ibadah adalah untuk mnghimpun antara yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah SWT dengan apa yang akan ia minta disisi yang lain. Didahulukannya ibadah atas”istia’nah” untuk mendahulukan wasilah atas permintaan pemenuhan kebutuhan supaya mudah dikabulkan. Demikianlah penjelasan Abu Hayyan Al Andalusy mengenai dikumpulakannya dua kata diatas. Kesimpulan maknanya seperi menurut Imam Ali ash Shabuny : “ya Rab kami hanya kepadamu kami memohon pertolongan supaya mampu melaksanakan ketaatan, ibadah dan semua urusan kami, tidak ada seorangpun yang mampu menolong kami selain-MU, dan jika ada orang yang kufur terhadap-MU dan meminta pertolongan kepada selain-MU, maka kami akan tetap tidak akan meminta pertolongan kecuali kepada-MU.
bersambung.....
0 Komentar