BPJS NAIK, RAKYAT MAKIN TERCEKIK



Oleh: Astriani Lydia, S.S. (Aktivis Komunitas Parenting Ibu Tangguh Bekasi)

Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Inilah yang sedang dialami masyarakat seiring dengan diumumkannya kenaikan iuran BPJS Kesehatan oleh pemerintah. Di tengah kondisi masyarakat yang sedang membutuhkan fasilitas jaminan kesehatan, pengangguran meningkat dan angka kemiskinan bertambah, pemerintah justru menambah beban baru bagi masyarakat. Menurut HM. Fadhil Rahmi, anggota DPR RI asal Aceh, kebijakan kenaikan iuran BPJS terjadi beberapa hari usai Komite III DPD RI yang membidangi kesehatan menggelar rapat dengan Direktur BPJS. “Rapat itu tanggal 6 Mei 2020 lalu. Intinya dalam rapat tersebut, pihak BPJS mengaku bahwa sejak 1 Mei, telah memberlakuakn iuran BPJS sesuai dengan putusan MA. Sedangkan bagi peserta yang sudah membayar dengan besaran di luar putusan MA, BPJS akan memberi kompensasi untuk bulan berikutnya,” ujar anggota Komite III DPR RI ini lagi. Namun, kata Syekh Fadhil, Presiden Jokowi justru kembali mengeluarkan Perpres 64 Tahun 2020, serta memutuskan bahwa iuran BPJS Kesehatan kelas II dan kelas I naik 100 persen. Keputusan tersebut kemudian diumumkan pada 14 Mei 2020 dan membuat semua pihak tersentak, termasuk DPD RI. Perpres 64 tahun 20220 dinilai mengabaikan Mahkamah Agung (MA) dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang perubahan kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. (Serambinews.com, 18 Mei 2020)

Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Yustinus Prastowo, mengungkap data penyumbang defisit BPJS Kesehatan yang terbesar. Menurut dia, defisit terbesar berasal dari kelompok peserta bukan penerima upah atau PBPU/BU jumlahnya sekitar 35 juta orang. Dengan segmentasi terbesar di kelas II sebanyak 21,6 juta, kata dia, total iuran dari PBPU itu sebesar Rp. 12,4 triliun. Namun, klaimnya jatuh melebihi total iuran, yakni mencapai Rp. 39,8 triliun. “Alias defisit Rp. 27,4 triliun,” kata Yustinus melalui akun Twitternya, Sabtu, 16 mei 2020. (TEMPO.CO, 16 Mei 2020)  

Jika dilihat, keberadaan BPJS bukanlah sebagai jaminan kesehatan untuk rakyat melainkan sebuah proyek asuransi karena masih berharap keuntungan besar dar isana. Sejak awal, ruh sistem JKN oleh BPJS adalah pengalihan tanggung jawab dari pundak negara ke pundak seluruh rakyat. Dengan pengalihan itu, maka berpindah maka rakyat diwajibkan untuk saling membiayai pelayanan kesehatan di antara mereka dengan prinsip asuransi sosial. Begitulah ketika perekonomian diatur dengan sistem Kapitalis, rakyat dibiarkan mencukupi kebutuhannya sendiri, bahkan negara pun bergantung pada uluran tangan rakyat.

Ini sangat berbeda dengan jaminan kesehatan di dalam Islam, dimana daulah Khilafah bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan kesehatan secara optimal dan terjangkau oleh masyarakat. Islam menetapkan kebutuhan atas pangan, papan dan sandang sebagai kebutuhan pokok tiap individu rakyat. Islam juga menetapkan keamanan, pendidikan dan kesehatan sebagai hak dasar seluruh masyarakat. Karenanya seorang Khalifah tidak akan menyerahkan masalah kesehatan kepada pihak lain yang akan meraup untung sebanyak-banyaknya. Rasulullah Saw menjelaskan bahwa ketersediaan kebutuhan-kebutuhan ini seperti memperoleh dunia secara keseluruhan. Ini sebagai kiasan dari betapa pentingnya kebutuhan-kebutuhan tersebut bagi setiap individu. Rasulullah Saw bersabda: “ siapa saja diantara kalian yang bangun pagi dalam keadaan diri dan keluarganya aman, fisiknya sehat dan ia mempunyai makanan untuk hari itu, maka seolah-olah ia mendapatkan dunia”. (HR. at-Tirmidzi). Penguasa tidak boleh berlepas tangan dari penunaian kewajiban tersebut. Karena ia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara), dia adalah pemimpin manusia secara umum, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jaminan kesehatan di dalam Islam memiliki empat sifat: Pertama, Universal dalam arti tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian layanan kepada rakyat. Kedua, bebas biaya alias gratis. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Ketiga, seluruh rakyat bisa mengakses dengan mudah. Keempat, pelayanan mengikuti kebutuhan medis, bukan dibatasi oleh plafon. Ini tentunya akan membutuhkan dana yang banyak. Akan tetapi Khilafah sudah memiliki sumber-sumber pemasukan yang sudah ditentukan berdasarkan hukum syara seperti barang tambang dan lain sebagainya. Semua itu cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara gratis untuk seluruh rakyat secara berkualitas. 

Demikianlah Islam sebagai suatu sistem yang akan menyelesaikan permasalahan manusia dengan cara yang baik bukan yang batil. Karena tujuannya bukan hanya mendapatkan kemaslahatan di dunia melainkan di akhirat. Sudah saatnya mencampakkan sistem Kapitalisme dan menggantinya dengan sistem Islam. Wallahu a’lam bishshawab

Posting Komentar

0 Komentar