Bubble Economic 2008 dan Corona Kini



Oleh : Farid Syahbana (Ketum PP GEMA Pembebasan)

Kali kedua menamatkan Film “The Big Short’ yang dirilis pada tahun 2015 lalu. Banyak aktor kawakan yang bermain di film ini, sebut saja Ryan Gosling, Chritian Bale dan Brad Pitt. 

Pada pokoknya, film ini berkisah tentang prediksi para ahli finansial terkait krisis pasar financial Amerika Serikat (AS) dan global yang ambruk pada tahun 2008 karena Subprime Mortgage (kredit perumahan).

Dari peristiwa tersebut terdapat pelajaran berharga, bahwa ekonomi berbasis monetary yang merupakan sektor non riil akan menciptakan penggelembungan ekonomi yang akan menjadi bom waktu, menunggu dan siap untuk meledak (krisis).

Kata kuncinya adalah Economic Bubble, kondisi dimana nilai transaksi perdagangan terjadi dalam volume yang besar namun dengan harga yang sangat berbeda dengan nilai instrinsik(fundament). Dengan kata lain, harga suatu produk atau aset tertentu yang diperdagangkan lebih tinggi daripada nilai fundamentalnya.

Subprime mortgage sendiri adalah istilah untuk kredit perumahan (mortgage) yang diberikan kepada konsumen yang berbeda kemampuan dan sejarah kreditnya dengan Prime mortgage.

Konsumen terkategori subprime mortgage mempunyai sejarah kredit yang buruk atau belum memiliki sejarah kredit sama sekali. Penyaluran Subprime Mortgage meningkat pesat dari tahun ke tahun kala itu sebelum krisis 2008.

Meskipun tudingan Subprime mortgage sebagai penyebab awal mula krisis benar adanya, namun ‘an sich’ relative lebih kecil dibandingkan dengan kekacauan yang ditimbulkan oleh industry/pasar keuangan. Karena kerusakan yang paling besar bersumber dari praktik pengemasan subprime mortgage ke dalam bentuk sekuritisasi (surat utang, saham, obligasi dll) yang diperdagangkan dipasar keuangan global.

Rekayasa sekuritisasi kredit perumahan dilakukan oleh bank yang fungsinya mengucurkan kredit bertujuan untuk menarik banyak investor agar membiayai aksi bank dalam memberikan kredit perumahan.

Sekuritisasi tahap awal menjadi sekuritas yang disebut mortgage-backed securities (MBS). Sekuritas ini beranak pinak dan cicit, hingga sulit untuk dilacak menggunakan rekayasa keuangan (financial engineering) yang kompleks.

Dalam film The big short terungkap aset riil yang awalnya bernilai 50 juta USD, nilai transaksi yang diperdagangkan bebas di pasar keuangan dapat berlipat-lipat mencapai 1 miliar USD.

Terbentuknya produk-produk keuangan baru yang saling berhubungan (inter connected) jadi malapetaka dikemudian hari, ketika kredit macet/gagal bayar(default) terjadi, bank tidak dapat membayar kewajibannya kepada investor sehingga investor secara otomatis mencabut investasinya.

Dari sinilah berbagai kalangan menduga asal muasal krisis yang merusak struktur pasar uang Amerika Serikat dan berdampak luas kepada global.

Adanya kegagalan pembayaran kredit perumahan (subprime mortage default) di Amerika Serikat tersebut mengakibatkan banyak lembaga-lembaga keuangan besar seperti Lehman Brothers dan AIG kolaps.

Ditambah ratusan lembaga keuangan lain yang tersebar di berbagai penjuru dunia turut terkena imbas dari krisis global ini, mulai dari bank, perusahaan sekuritas sampai perusahaan asuransi dan dana pensiun.

Akibat dari krisis keuangan 2008, menurut perusahaan data Corelogic, untuk Amerika Serikat sendiri sampai pada tahun 2017, hampir 7,8 juta rumah hilang karena diambil alih. Lebih dari 7,3 juta pekerjaan hilang dari bulan Januari 2008 sampai Februari 2010, ketika tingkat pengangguran berada di kisaran 10%.

Dunia segera mengambil langkah penyelamatan kala itu, kongres AS menyediakan 700 miliar Dollar, untuk menyelamatkan bank-bank bermasalah. Obama menandatangani Recovery Act, di mana lebih dari US$800 miliar digunakan untuk membiayai program bantuan dan ditanamkan pada prasarana umum, pendidikan, kesehatan dan energi terbarukan.

Cilakanya, penyelamatan lembaga keuangan atau kerusakan yang dihasilkan oleh industry keuangan, menggunakan sebagian besar dana pajak yang dibayarkan oleh masyarakat.

Corona Kini, Pertumbuhan Ekonomi V-Shaped atau L-Shaped?

Pada tahun 2008 pertumbuhan ekonomi pada awanyal negative, terjadi penurunan namun perlahan membentuk scenario yang menggembirakan, yakni terjadi rebound. Sehingga dapat membentuk grafik ekonomi V-Shaped.

Kini dunia dihadapkan oleh persoalan pandemic Corona, yang hakikatnya adalah persoalan krisis kesehatan, namun mengutip Kolumnis Surat Kabar The Guardian, Greg Jericho, dalam artikel yang berjudul ‘Coronavirus is first a health problem, second an economic one’. Dari krisis kesehatan dapat merembet kepada persoalan ekonomi.

Pada saat Virus corona merebak di Wuhan, China. Banyak pakar ekonom yang merujuk kepada scenario ekonomi ketika terjadinya wabah SARS pada tahun 2003 (grafik V-Shaped). Namun ternyata kondisi faktualnya Covid-19 sudah melampaui SARS.

Maka menarik ketika membaca risalah yang ditulis ekonom Warwick McKibbin dan Roshen Fernando dari The Australian National University dalam buku Economics in the Time of Covid-19 yang diedit oleh Richard Baldwin dan Beatrice Weder di Mauro (2020).

Baldwin dan di Mauro menunjukkan bahwasanya ada tiga hal yang perlu diantisipasi dari adanya efek kejutan ekonomi (economic shock) ini. Pertama, dampak kesehatan (medical shock). Karena sakit, orang tidak dapat bekerja. Implikasinya: produksi terganggu.

Kedua, dampak ekonomi terjadi akibat berbagai pembatasan, termasuk karantina, social distancing (pembatasan sosial), aktivitas ekonomi yang mengandalkan kehadiran fisik terhenti.

Ketiga, dampak psikologi, di mana akibat ketakutan atau kekuatiran, orang akan menunda aktivitas ekonominya

Faktanya dunia global saat ini mengalami masalah pada sisi
produksi dan sisi permintaan yang sama-sama terganggu ketika masa pandemik, kemudian, berkurang atau hilangnya pendapatan masyarakat banyak juga memberikan efek kejut ekonomi (Economic Shock) yang tidak kalah hebat.

Berkurang atau hilangnya pendapatan akan menurunkan daya beli, sisi demand (permintaan) berkurang, lalu sisi supply akan menahan produksinya karena permintaan yang berkurang. Hal tersebut makin memperkecil kemungkinan adanya Investasi/pertumbuhan, karena bagaimana mungkin berinvestasi ditengah kelesuan pasar yang akut seperti saat pandemic. Sama saja dengan bunuh diri ekonomi.

Di Indonesia, Kebijakan-kebijakan stimulus fiskal hingga hari ini juga belum cukup menggembirakan, belum mampu mendorong daya beli dalam hal ini konsumsi rumah tangga. out putnya banyak sudah terjadi PHK. Masyarakat yang berkurang atau hilang pendapatan kini mengandalkan cash money yang hanya kuat bertahan untuk waktu yang tidak seberapa lama.

Sekali lagi, stimulus pemerintah dinilai belum ampuh untuk dongkrak pertumbuhan seperti yang diungkap oleh Ekonom Indef, Enny Sri Hartati, ia mengatakan paket kebijakan atau stimulus pemerintah telah gagal mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia yang rontok akibat wabah virus Corona (Covid-19).

Indikatornya adalah struktur pembentuk utama produk domestik bruto (PDB) yakni konsumsi rumah tangga. konsumsi rumah tangga tumbuh negative dari 5,02 persen pada kuartal IV/2019 menjadi hanya 2,84 persen pada kuartal I/2020, hal ini mengindikasikan turunnya daya beli masyarakat.

Adapun untuk stimulus fiskal global sudah lebih dari US$8 triliun, terdiri atas jaminan bank di negara-negara maju seperti Prancis dan Spanyol yang telah mengalokasikan masing-masing lebih dari US$300 miliar dan US$100 miliar untuk dukungan semacam ini. Sedangkan di AS, total pengeluaran untuk bantuan virus mencapai lebih dari US$2,3 triliun.

Dengan stimulus yang sebesar itu, dunia masih dipenuhi dengan ketidakpastian dan ancaman krisis ekonomi yang diprediksi akan membentuk grafik L-Shaped, penurunan tajam yang akan berlangsung dengan waktu lebih lama dari yang diperkirakan banyak orang.

Lalu pertanyaannya sampai kapan ekonomi dunia bak roller coaster, kemana dunia setelah ini akan berlabuh?

Krisis yang berulang atau jatuhnya ekonomi pasar secara periodik adalah hal biasa dan bagian tidak terpisahkan dalam system Kapitalisme. Majalah The Economist (2008) menggarisbawahi pandangan tersebut: “Bubbles, excess, and calamity are part of the package of Western finance (gelembung, penumpukan, dan bencana (keuangan) adalah bagian dari system keuangan barat.

Beralih ke solusi alternative; Islam

Sistem keuangan Kapitalisme telah menjadi sarana spekulasi untuk mengejar profit dari investasi pada deposito dan surat-surat berharga di pasar modal.

Sistem tersebut juga ditopang oleh kemudahan dalam memproduksi mata uang, oleh bank sentral (currency), yang dapat diciptakan dengan mudah, dan dalam waktu singkat.

Fenomena ini tentu tidak akan dijumpai di dalam Islam. Pasalnya, karakter sistem ekonomi Islam sangat kontras dengan sistem kapitalisme. Dengan demikian, potensi resesi dalam negara yang menerapkan Islam secara paripurna akan sangat kecil.

Ada beberapa reasoning(alasan) secara konseptual, bahwa system Islam berbeda sangat tajam dengan system kapitalisme, yakni : pertama, Islam mengharamkan transaksi riba, produk keuangan bathil (multi akad), konsekuensinya setiap transaksi keuangan yang berbasis riba akan dihilangkan, termasuk pasar keuangan yang menjanjikan bunga/riba.

Kedua, Islam menjadikan mata uang emas dan perak sebagai standar moneter. Mata uang yang beredar adalah emas dan perak atau mata uang kertas atau logam sebagai mata uang subtitusi yang nilainya ditopang oleh emas dan perak. Dengan demikian kestabilan uang negara ditentukan oleh nilai emas dan perak yang teruji stabil.

Ketiga, Islam mengharamkan konsep liberalisme ekonomi, karena dari konsep tersebut kepemilikan umum yang pada hakikatnya diperuntukan untuk hajat hidup orang banyak yang berkeadilan justru dapat dikuasai individu, swasta atau pun asing. Sehingga korporasi makin kaya, yang kalah bersaing (rakyat) mesti siap makin miskin.

Keempat, Islam mewajibkan pemerintah untuk menjamin pemenuhan hak-hak dasar rakyat, yaitu pangan, pakaian dan perumahan; termasuk menyediakan layanan pendidikan, kesehatan dan keamanan secara gratis. Termasuk pula menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyat yang menganggur.

Dengan demikian, ketika terjadi kontraksi ekonomi yang disebabkan, misalnya, oleh kekeringan yang berkepanjangan atau bencana dalam skala besar, pemerintah tetap wajib menjamin agar kebutuhan dasar masyarakat di atas tetap terpenuhi.[]

Posting Komentar

0 Komentar