TAFSIR SURAT AL FATIHAH : IKRAR PENGABDIAN DAN PERMOHONAN AGAR BERADA DI JALAN ISLAM bagian-6 (SELESAI)


Oleh : Abu Shahwah As Sundawy (Pengasuh Pondok Pesantren Nidaa Al-Haar Pondok Melati Bekasi )

صِرَاطَ الَّØ°ِينَ Ø£َÙ†ْعَÙ…ْتَ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِÙ…ْ 
Menurut Imam Asy Syaukany dinashabkannya “shirat” karena ia menjadi badal untuk yang pertama. Dan faidahnya untuk taukid (menegaskan), didalamnya pula ada tatsniyyah dan takrir (pengulangan). Dan boleh pula ia menjadi athaf bayan, yang memiliki faidah menjelaskan. Lanjut beliau, dan mereka yang diberi nikmat oleh Allah SWT, adalah mereka yang disebutkan dalam surat Annisa ayat 69 dan 70. Adapun  Imam Ay syinqity tidak jauh berbeda dengan Imam Asy Syaukany, dengan mengatakan : didalam ayat ini Allah SWT tidak menjelaskan siapa yang dimaksud mereka yang diberi nikmat, tetapi dijelaskan diayat lain, yang artinya :”maka mereka bersama orang yang diberi nikmat Allah baik itu para Nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih. Dan mereka adalah sebaik-baik teman. (QS An Nisa ayat 70).

Begitu juga pendapat Imam Ibnu Katsir. Imam Adhdhahak berkata dari Ibnu Abbas beliau berkata : yaitu jalan mereka yang Engkau beri nikmat berupa ketaatan dan beribadah kepada-MU baik dari Malaikat-MU, para Nabi-MU, para shidiqin, para syuhada dan orang-orang shalih”. Sebagai pembanding seperti yang difirmankan Allah SWT yang artinya :”maka siapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya maka mereka bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah”. Adapun Imam Al Baghawy mengatkan :”yaitu mereka yang engkau beri nikmat berupa hidayah dan taufik. Imam Ikrimah mengatakan, yang engkau beri nikmat dengan kekokohan dan keistiqamahan diatas iman mereka itu adalah para Nabi AS. Adapula yang menafsirkan :”setiap orang yang dikokohkan diatas iman dari kalangan para Nabi AS dan orang-orang beriman seperti yang Allah sebutkan dalam surat An Nisa ayat 60. Sedangkan menurut Ibnu abbas, mereka itu adalah kaum Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS sebelum mereka mengubah agama mereka. Sementara Abdurrahman bin Zaid mengatakan, : mereka itu adalah Nabi SAW dan orang-orang yang bersamanya. Abu Aliyah mengatakan mereka itu adalah keluarga Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar dan ahli baitnya.  Dan Syahr bin Husab mengatakan mereka itu adalah para sahabat Nabi SAW dan Ahli Baitnya SAW.
    
غَÙŠْرِ الْÙ…َغْضُوبِ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِÙ…ْ ÙˆَÙ„َا الضَّالِّينَ
Menurut Imam Asy Syaukany frase ini adalah sebagai badal (pengganti) dari frase “shirathalladzina....” dengan makna bahwa sanya mereka yang diberi nikmat adalah orang yang selamat dari murka Allah SWT dan terbebas dari kesesatan. Ataupun menjadi shifat untuk frase tersebut, sehingga maknanya adalah mereka yang telah menghimpun dua kenikmatan yaitu nikmat iman dan kselamatan dari hal buruk tersebut... lanjut Beliau al gadhab seacara bahasa sebagaimana dikatakan Imam Al Qurthuby maknanya adalah “asysyiddah” (keras atau kasar). Rajulun gadhabhun maknanya “syadidul khuluq” (keras perangainya). Dan Al gadhub adalah kehidupan yang buruk dikarenakan kerasnya. Dan makna “al gaaadhab” dalam sifat Allah adalah kehendak menyiksanya,maka ia adalah sifat dzatnya atau siksa itu sendiri. Didalam sabda Nabi SAW :”shadaqah itu akan memadamkan kemurkaan Rab (Allah)”.maka ia adalah sifat perbuatannya. Didalam kitab al Kasyaf disebutkan, (al gadhab) itu adalah hendak memberikan balasan kepada para ahli maksiat dan menurunkan adzab pada mereka. Dan bertindak pada mereka seperti halnya tindakan raja pada rakyatnya apabila ia murka”. Adapun menurut Imam Nawawy maknanya adalah “yaitu bukannya agama yahudi yang engkau murkai”. Sedangkan menurut Imam Al Baghawy maknanya adalah “bukanny jalannya mereka yang engkau murkai. Al gadhab (murka) itu adalah menginginkan memberikan balasan pada ahli maksiat. Dan kemurkaan ini tidak dilekatkan pada ahli maksiat dari orang beriman, tapi ditimpakkan pada orang-orang kafir saja”.  Menurut Imam Asy Syinqity, bahwa jumhur ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud “al maghdhubi ‘alayhim” adalah Yahudi dan “adh dhalin” adalah Nashara. Hal tersebut sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits dari Rasulullah SW melalui jalur sahabat Adi bin Hatim dimana beliau menuturkan :” Yahudi dan Nashrani meskipun mereka semuanya sesat, dan merekapun semuanya dimurkai (Allah). Tetapi “al ghadhab” (kemurkaan) itu dikhususkan bagi orang yahudi meskipun orang nashrani termasuk didalamnya. Karena mereka mengetahui kebenaran tetap mengingkarinya dan mereka pun secara sengaja melakukan perbuatan yang batil. Maka al ghadhab (murka) lebih khusus mengenai sifat-sifat mereka. Sedangkan orang nashara itu bodoh, tidak mengenal kebenaran. Maka sesat itu lebih khusus mengenai sifat-sifat mereka”. Da banyak lagi ulama yang mengatakan bahwa yang dimaksud “yang dimurkai” itu adalah orang ytahudi. Sehingga Imam Ibnu Abi Hatim mengatakan, “saya tidak tahu, diantara para ahli tafsir  mengenai hal ini ada perbedaan”. Walaupun ada juga sebagian ahli tafsir mengatakan “bahwa yang utama membawa makna “al maghdhubi alayhim” pada setiap  orang yang keliru dalam hal amal-amal yang tampak (dzahir) yaitu mereka orang-orang fasik. Sedangkan “adh dhallin” itu adalah setiap orang yang keliru dalam hal akidahnya. Sebab lafadznya adalah umum, dan melakukan pembatasan maknanya adalah menyalahi hal yang pokok. Sedangkan orang yang inkar terhadap sang pencipta dan orang-orang musyrik lebih buruk agamanya dibandingkan agama yahudi danj nashrani. Maka menjaga dari agama mereka lebih utama. Dan ini adalah pilihan pendapat dari Imam Fakhrurazy. Meskipun ini sudah banyak dibantah oleh para ulama terutama oleh Imam Al Alusy. Demikianlah sebagaimana dikatakan imam Ali Ash shabuny dalam kitabnya.

ÙˆَÙ„َا الضَّالِّين
 “Adhdhalal” (sesat) dalam perkataan orang arab maknanya adalah pergi meninggalkan dari tujuan yang dimaksud, dari jalan yang benar, dan menyimpang dari jalan yang lurus. Demikianlah penjelasan imam Ali Ash Shabuny mengenai makna ‘adhdhalal”. Sedangkan menurut Imam Al Baghawy, asal kata “adhdhalal” maknanya adalah al halak (binasa / sirna) dan ghaybubah (tidak terlihat). Dan maksud “walaadhdhallin” itu “dan bukannya pula orang-orang tersesat dari jalan petunjuk”. Dan mereka itu adalah orang Nashrani, Allah SWT menghukumi orang Nashrani sebagai orang tersesat, sebagaimana dinyatakan dalam surat al maidah ayat 77:”dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang sungguh mereka telah sesat sebelumnya”. Didalam sebuah riwayat yang terdapat dalam musnad Imam Ahmad dan Ibnu Razzaq, dari Abdullah bin Syaqiq dimana beliau berkata: bahwa mengabarkan kepada kami orang yang mendengar Rasulullah SAW ketika berada di Wadil Qura sedangkan beliau berada diatas kudanya. Seorang laki-laki dari Bani Al Qayn bertanya, lalu dia berkata : siapakah mereka yang dimurkai itu wahai Rasulullah ? Beliau menjawab : Yahudi. Lalu orang tadi bertanya lagi, siapakah orang yang sesat itu ? lalu Beliau menjawab : Nashara”. Imam Nawawy menafsirkan frase ini dengan :” bukan pula agama Nashrani yang mana mereka telah tersesat jauh dari islam”. 
Secara ringkasnya, bahwa “al maghdhub” itu adalah orang Yahudi dan “adh dhallin” itu adalah orang Nashrani.  Demikianlah penafsiran para Ulama mengenai tiga ayat terakhir dari surat al Fatihah ini. 

“آمين” 
Adalah ungkapan do’a. Dan menurut Ijma’ ia bukanlah ayat dari al Qur’an dengan alasan ia tidak ditulis di mushaf. Dan maknanya adalah : kabulkanlah do’a kami ya Rab. Imam al Alusy berkomentar, disunnahkan setelah selesai membaca al fatihah untuk mengucapkan “aamiin”. Ini didasarkan pada hadits dari Abu Maysarah, bahwa Malaikat Jibril membacakan surat al fatihah pada Nabi SAW. Maka ketika Dia membaca “walaadh dhallin” malaikat Jibril berkata pada Nabi SAW, ucapkanlah “aamiin” lalu Nabi pun mengucapkan “aamiin”. 

Ditiga ayat terakhir ini, Allah SWT menggambarkan bagaimana ikrar seorang hamba dihadapan Rab-Nya yang dilakukan secara berulang-ulang. Bahwa orang beriman itu akan senantiasa bertaqarrub kepada Allah dengan menjalankan semua perintah dan menjauhi larangan sebagai wujud ketundukkan kepatuhan terhadap-Nya. Dan iapun berikrar bahwa akan memohon pertolongan hanya bkepada Allah SWT baik dalam menjalankan aktivitas ibadah maupun dalam seluruh urusan. Dan iapun harus sadar bahwa yang senatiasa kita minta kepada Allah agar diberi petunjuk dan dikokohkan diatas jalan kebenaran islam, bukan jalannya orang Yahudi maupun orang Nashrani. Kalau didalam kehidupan modern ini orang yahudi dan Nashrani telah menghasilkan peta jalan sekaligus petunjuk bagi kehidupan manusia berupa ideologi kapitalis demokrasi yang secara praktis hampir mempengaruhi seluruh manusia didunia dan dijadikan rujukkan untuk mengatur kehidupan politik dan ekonomi dihampir semua negara yang ada didunia ini. Maka jika ada seorang muslim menjadikan kapitalis demokrasi sebagai ideologinya bahkan dengan bangga meyakini, membela, menerapkan dan menyebar luaskannya sudah dapat dipastikan banwa dia tidak paham dengan apa yang senantiasa dipanjatkannya kepada Allah SWT. 
Wallahu’alam bishawab


Maraji’
1. Marah Labid li kasyfi ma’nal qur’anil majid, Al Alamah Syaikh Muhammad Umar  Nawawy Al Jawy 
2. Rawa’iul bayan tafsiru ayatil ahkam minal qur’an,  Syaik Muhammad Ali Ashshabuny
3. Shafwatuttafasir, ibid
4. Fathur Qadir al jami’ bayna fanay riwayah waddirayah min ilmit tafsir, Asysyaikh Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy syaukany
5. Tafsirl Al baghawy ma’alimut tanzil, Asy syaikh Abu Muhammad Al Husain bin Mas’ud Al Baghawy
6. Al Bahrul Muhith, Asy Syaikh Abu Hayyan Al Andalusy
7. At tahrir wa Tanwir, Asy syaikh Muhammad Aththahir bin Asyur
8. Tafsirul Qur'anil ‘adzim, Imam Abul Fida Ismail bin Umar bin Katsir Al Qursyiyi Addimasqy
9. Jami’ul Bayan  fitta’wil qur’an, Imam Ibnu Jarir Abu Jakfar Ath Thabary
ِ10. Adhwaul Bayan, Asy Syaikh Muhammad Al Amin Asy syinqity
11. Taysirul karimul mannan fii tafsir kalamil mannan, Abdurrahman bin Nashir bin abdullah As Sa’dy 
12. Tafsir A l Qur’an, Abul Mudzaffar, Manshur bin Muhammad bin Abdul Jabbar bin Ahmad Al Marwazy As Sam’any At Tamimy Al Hanafy kemudian Asy Safi’y

[selesai]

Posting Komentar

0 Komentar