Benarkah New Normal Life Akhir Dari Segala Kesulitan Dan Penderitaan Rakyat?

Oleh : Siti Nurhalimah (Pemerhati Masalah Sosial Lalembuu, Sulawesi Tenggara) 

Jumlah  korban terinfeksi covid-19 hingga tanggal 6 Juni 2020 mencapai 30.514 Jiwa. Dengan total pasien sembuh berada pada angka 9.907 Jiwa, belum mencapai angka 50% dari keseluruhan korban. Angka demi angka yang hari demi hari diperbaharui itu pun belum dapat dikatakan sebagai jumlah ril karena belum dilakukannya swabtest massif pada PDP, ODP, dan OTG. Dengan dasar itu pula kurva pandemi covid-19 di Indonesia belum mencapai peak (puncak) apatah lagi melandai.

Meskipun demikian tampaknya prmerintah tetap akan melaksanakan new normal sebagai lanjutan dari pernyataan presiden untuk berdamai dengan corona. Kebijakan new normal bermakna dibukanya kembali aktivitas sosial, ekonomi, dan berbagi kegiatan publik termasuk sekolah dan tempat wisata secara terbatas dengan tetap mengacu kepada protokol kesehatan sesuai standar covid-19. Demi terlaksananya keberlangsungan roda ekonomi di Indonesia standar protokol yabg wajib dipatuhi dan jalankan oleh masyarakat dalam menjalani new normal life yaitu menggunakan masker saat bepergian dan menjaga jarak minimal satu meter dari orang lain sampai batas waktu ditemukannya vaksin yang mampu memusnahkan covid-19.

Berharap pada vaksin sebagai pencegahan dari terus bermutasinya corona virus yang semakin lama makin tak terkendali penyebarannya, ternyata tidak dibarengi dengan dukungan penguasa negeri ini untuk menemukan vaksinnya. Maka apakah sudah tepat new normal mengakhiri kesulitan dan penderitaan masyarakat?

Sebelum new normal di Indonesia, Korea Selatan, China, Finlandia dan Inggris sebagai negara yang juga terdampak covid-19  sudah lebih dulu menerapkan new normal life. Belajar dari Finlandia ketika new normal life dijalankan, sekolah dibuka kembali, kemudian kembali berjatuhan korban dari para siswa dan guru mengharuskan sekolah kembali ditutup. Korea Selatan dengan fasilitas kesehatan canggih pun terbukti gagal, genap 18 hari setelah pencabutan pembatasan sosial (social distancing) terjadi lonjakan infeksi covid-19. Jejak penularan infeksi baru ternyata lebih sulit ditelusuri hingga akhirnya akan diberlakukan kembali pembatasan sosial. Begitu pula dengan Inggris, kebijakan new normal justru menambah 70 kasus baru covid-19.

Kegagalan penerapan new normal negara-negara dengan fasilitas kesehatan memadai dan mekanisme penanganan lebih baik pun nyatanya bukanlah solusi tepat. Padahal negara-negara tersebut menerapkan new normal setelah kurva pandemi melandai bahkan satu digit angka kasus baru. Lalu bagaimana dengan Indonesia, jangankan melandai, sampai peak saja belum. Ditambah ketidakdisiplinan masyarakat Indonesia mematuhi aturan PSBB juga menambah lonjakan jumlah kasus baru, begitu pula dengan transparasi data tidak dilakukan sehingga akan lebih sulit menelusuri penularan covid-19 ini. 

Pemerintah tidak belajar dari kegagalan sebab nyawa dan keselamatan rakyat bukan prioritas utama. Berjalan mulusnya roda ekonomilah yang terus dikejar. Walaupun sebelum hadirnya pandemi ini pun ekonomi di Indonesia tidak baik-baik saja, sebagai bukti terus menumpuknya hutang luar negeri, melemahnya ekspor dan meningkatnya impor.

Pandemi virus corona tidak hanya menyerang sektor krsehatan semata, ekonomi pun hampir dilumpuhkan olehnya. Adanya pembatasan sosial menjadi sebab menurunnya aktivitas ekonomi secara ril maupun non ril. Karena aktivitas sosial yang dapat menjadi mobilisasi berjalannya kegiatan ekonomi harus dibatasi sehingga terjadi resesi atau perlambatan ekonomi secara luas. Jumlah pengangguran meningkat akibat PHK dan tertutupnya lapangan pekerjaan menambah angka kemiskinan.

Kebijakan mencla-mencle dan tidak tepat sasaran pun akhirnya memperparah kondisi penyebaran covid-19 dan ambruknya perekonomian di Indonesia. Kebijakan pertama yang diambil saat awal munculnya kasus positif covid-19 di Jakarta pun sudah salah. Seharusnya begitu diketahui ada virus atau wabah di suatu daerah, tindakan yang diambil adalah menutup pintu masuk dan keluar dari daerah tersebut agar tidak menular lebih jauh. Warga yang pernah berinteraksi secara langsung dengan pasien segera dites dan fokus pada penyembuhan. Daerah yang lain pun harus meningkatkan kewaspadaan dan tetap menjalankan aktivitas seperti biasa agar roda ekonomi negara tetap berjalan dan tidak kolaps.

Kesalahan kebijakan pertama memperpanjang deretan permasalahan dari covid-19 ini. Tidak ditutupnya akses dari tempat bermulanya virus menjadikan virus ini dibawa oleh inang atau orang yang terinfeksi kemana Ia bepergian dan menularkannya sepanjang perjalanan itu hingga ribuab orang ikut terjangkit menyebabkan pengeluaran dana kesehatan lebih tinggi seperti alat penguji atau pendeteksi virus harus dikirim ke beberapa rumah sakit yang belum memilikinya. 

Ketersediaan APD tidak memadai hingga sumbangan dari masyarakat pun harua dilakukan. Tenaga kesehatan semakin banyak yang terkontaminasi tak sedikit berujung kematian. Padahal tenaga merekalah yang dibutuhkan untuk menyembuhkan pasien. Untungnya dunia hari ini berada pada kondisi "modern" sehingga altermatif dari sains dan teknologi masih dapat dimanfaatkan untuk sedikit mengatasi kemerosotan perekonomian ini.

Menghadapi pandemi seperti ini seharusnya pemerintah tidak tergesa-gesa untuk memerapkan new normal jika roda perekonomiannya selama ini dijalankan sesuai fungsinya. Kekayaan SDA dan kecukupan SDM untuk mengelolanya akan mencukupi kebutuhan pokok masyarakat Indonesia termasuk pembiayaan kesehatan, pendidikan dan tabungan dana khusus penanggulangan wabah dan bencana alam yang sewaktu-waktu mungkin terjadi.

Bayar hutang atas modal kursi kekuasaan pada para kapitalis menundukkan penguasa untuk setuju dan bersedia membubuhkan tanda tangan atas segala kebijakan yang melancarkan bos kapitalis mereka. Hingga rela memindahkan kepemilikan negara dan umat menjadi milik segelintir orang saja. Walhasil kejayaan SDA sebatas wacana tanpa hasilnya.

Covid-19 telah memcabik-cabik dan mengoyahkan perekonomian global, mengharuskan seluruh masyarakat menjalani kehidupan normal baru agar tak memperparah keadaan dan menimbulkan krisis besar-besaran. Memang sangat perlu memperbaiki kondisi carut marutnya tatanan kehidupan ini untuk meneruskan kehidupan lebih baik, tapi benarkan dengan upaya tambal sulam ala sistem kapitalisme?

Tidakkah covid-19 ini membangunkan tidur panjang kita untuk kembali melihat dunia yang tidak lagi menjadikan Rasulullah sebagi panutan dan Al-Quran sebagai pedoman dalam menjalni kehidupan ini? Kemiskinan dan kesulitan serta pemderitaan hidup bukan hanya saat pandemi ini kita rasakan. Jauh sebelum hadirnya makhluk bernama corona virus deases 19 ini dampak buruk penerapan sistem kapitalisme sudag kita jalani. New normal life seperti apakah yang kita butuhkan, apakah yang berasal dari kebijakan penguasa turunan sistem kapitalisme yang segala kebijaknnya selalu menguntungkan pihak pemilik modal saja. New system lebih kita butuhkan saat ini tidak saja mengatasi virus namun akan menyelesaikan segala persoalan yang terjadi di Indonesia dan dunia.

Rasulullah dan para sahabatnya telah mencontohkan sebuah sistem pemerintahan yang dijalankan di atas dasar ketaqwaan kepada Allah swt. Menjalankan hukum Allah dan mensejahterakan umat manusia, menangani virus/wabah dan mengatasi kemiskinan dengan cara terbaik tidak berat sebelah terhadap salah satu pihak saja. Melayani masyarakat dengan sepenuh hati demi diperolehnya Ridho Allah Swt.
Wa'allahu a'lam bishshowwab.

Posting Komentar

0 Komentar