Cerpen : Buah Hati Yang Tak Dirindukan


Oleh : Bidan Hj ESA Mardiah Amd.Keb

Kecurigaan muncul saat pasien yang baru datang itu berlama-lama di kamar mandi puskesmas. Ya benar saja gayung di tangannya sedang berkali-kali menyiramkan air. Entah kebetulan atau karena terburu-buru dia lupa mengunci. Wajahnya pucat dan panik saat aku memergoki. Aku kaget ketika melihat kloset. Yang ingin dibuang pasien itu bukan kotoran, tapi bayi yang masih terbungkus utuh ketuban.

Aku segera mengambilnya. Jantungku berdetak lebih cepat dengan mulut terkunci rapat. Sesaat bayi kecil itu menggeliat. Menangis saat tubuhnya kudekatkan lampu penghangat. Matanya mengerjap, apakah itu pertanda dia berterima kasih karena selamat. Allah, sebab apa makhluk lemah tak berdosa ini ingin dibuang paksa? hati kecilku bertanya-tanya.

Sang ibu sibuk dengan gawai di tangan. Berkali-kali aku mencari wajah penyesalan namun tak kutemukan. Entah, fikiranku bercabang pada pasien-pasien yang berulangkali konsultasi karena bertahun-tahun rindu momongan.

1600 gram, kisaran umur tujuh bulanan. Memerlukan fasilitas perawatan tambahan paling tidak rumah sakit rujukan. Segera aku komunikasikan dan Call center meminta bantuan mencarikan tempat supaya pasien tidak ditolak-tolak.

Aku mengernyit tak mengerti ketika laki-laki yang mengantar itu mengatakan, "Saya mantan suaminya, tapi saya mau bertanggung jawab".
Tapi si ibu bersikukuh menolak. Sempat terpikir mungkin mereka bercerai saat istrinya hamil. Tapi ternyata lebih rumit dari dugaan saat si ibu mengatakan menunggu kabar ayah bayi ini yang belum datang. Padahal saat pendaftaran ibu mengaku berstatus lajang.

Ibu itu masih tampak tenang sementara kita kebingungan. Bapak si bayi belum datang, biaya rumah sakit tak ada uang, dan laki-laki di luar yang menawarkan bantuan bak pahlawan.

Aku menyampaikan bahwa jika biaya yang menjadi kendala, maka tidak perlu khawatir yang penting cepat ambil keputusan, nanti akan coba kita uruskan Jaminan persalinan. Syaratnya Kartu Keluarga dan KTP harus ada. Dengan santainya ibu mengatakan tidak punya KK karena memang belum menikah. Oalah...lengkap sudah.

Akhirnya ibu bersedia bayinya kita antar ke rumah sakit. Masih ditemani mantan suaminya karena bapak bayi yang dimaksud tidak memperlihatkan batang hidungnya. Nenek dari bayi itu tertunduk malu karena memang mengenalku. Ambulan menjadi saksi bisu. Aku mendekap erat bayi itu dengan sendu. Dik, semoga kau panjang umur... 
Ku alihkan pandangan ke jalan, tak ingin air mata ini berjatuhan.

Dua jam bukan perjalanan sebentar, ketika kemudian sampai di rumah sakit harapanku bisa menyelamatkan pupus sudah. Tepat beberapa saat bayi sudah di terima di ruangan, neneknya mengatakan telpon dari bapak si bayi menyuruh untuk dibawa pulang. Keberatan bayinya dirawat dengan alasan apapun. Petugas rumah sakit ikut membujuk agar neneknya bisa merayu calon menantu atau ah apa pula sebutan yang pantas untuk laki-laki pengecut itu dalam hati aku merutuk, agar mengijinkan darah dagingnya dirawat. Tapi suara di seberang tetap tak bergeming sedikitpun. Aku mengerti neneknya tak ingin disalahkan. Tapi bukankah anak hasil perzinahan bernasab pada ibunya. Cukup ibunya dan keluarga tegas. Aku hampir memelas. Menyayangkan.
Ruang NICU itu tak mudah didapatkan, dan ini sudah ada di tangan. Tak perlu memikirkan pembiayaan, petugas yang kutemui pun luar biasa baik, bukankah ini rezeki bayi? kenapa harus dihalangi? Aku tak kuasa menangis.

Cahaya di matanya meredup dengan kulit sedikit membiru. Namun sesekali kembali memerah seakan memintaku membelanya. Aku menyerahkan bayi itu untuk digendong neneknya, tanganku sudah lemas. Walau hatiku memanas. Sepanjang perjalanan arah pulang aku terdiam antara sedih dan ingin marah. Tapi kepada siapa? Kepada mantan suaminya kenapa harus menceraikan? Kepada ibunya yang nuraninya sudah hilang? Kepada bapak si bayi yang tak bertanggung jawab bahkan mencuri dalam genggaman? Kepada neneknya yang harus menanggung malu berkepanjangan? Atau kepada sistem kehidupan rusak serusak-rusaknya yang saat ini merajai. Ketika aturan manusia yang memisahkan agama dari urusan sehari-hari. Yang tak bisa menjaga pergaulan. Yang tak bisa menjaga harta bahkan nyawa. Yang menempatkan Pencipta tak lagi sebagai Al Mudabbir. Rabb, segerakan pertolongan-Mu memenangkan dakwah ini, kuat kan kami, dan maafkan aku, adik bayi...!

Posting Komentar

1 Komentar

  1. sebab kerusakan aturan hidup, bayi-bayi tak berdosa mengecap kedzaliman juga...

    BalasHapus