Cerpen : Maaf, Aku Sering Menduakanmu

Oleh : Bidan Hj ESA Mardiah Amd.Keb

Tepat di detik-detik menjelang magrib telpon itu berdering. "Ada PEB di PONED, tolong datang ya bu", suara di seberang spontan memalingkan wajahku ke arahmu.
Seakan memahami bimbangku kau mengangguk.

"Lihat dulu pasiennya sayang, semoga Allah mudahkan", ujarmu.

Sementara tanganmu sigap menggendong si kecil yang juga bersiap menahan kepergianku. Setengah berlari aku meninggalkanmu. Pikiranku hanya tertuju pada pasien gawat itu. Lupa kalau hari ini aku sedikit lelah. Lupa kalau magrib adalah saat kita wajib berjamaah. Lupa menu sederhana kita untuk berbuka. Lupa, hanya ingat satu hal, pasien saja.

Ini bukan kali pertama, sering harus kutinggalkan, mendadak, tiba-tiba di luar jadwal yang terencana. Bahkan di moment penting dan genting kadangkala. Sering kutinggalkan lelapmu sendirian. Sering kau pamit ke kantor sementara aku tengah asyik dengan duniaku, atau kau pulang aku pun masih tak bisa buru-buru menyambut.
Pernah saat kau sakit aku memaksamu opname di Rumah sakit. Lagi-lagi kau menolak, berkumpul di rumah saja menurutmu istimewa. Padahal aku hanya berharap bisa fokus merawat.
Jadilah bubur sumsum yang sengaja kubuat mirip-mirip adonan martabak.Tapi masih saja kau bilang enak.

Lamunanku menerawang ke belakang. Saat khitbah singkat kita cukup panjang berdebat. Yang kusodorkan adalah proposalku ingin "bekerja" setelah menikah.

"Untukku, bekerja itu wajib", kubuka obrolan sambil membayangkan begitu banyak urusan finansial yang harus kuselesaikan.

"Oh maaf dik, hukum wanita bekerja itu mubah, bukan wajib. Dan ketika bekerja pun harus tetap terikat hukum syara. Pekerjaan halal, menutup aurat sempurna, tidak ada ikhtilath dan bla..bla..bla...ujarmu panjang sekali. Jujur aku sebal dengan sikap sok tahu dan sok tua-mu saat itu. "Kita tidak sedang halaqah bukan", rungutku tidak suka.

"Ya sudah, kalau syaratku tidak dipenuhi kita batal nikah saja", ancamku, "toh mumpung belum ada cinta di antara kita", dalam hati aku menambahkan.

Dalam perjalanannya, aku malu, malu kepada Engkau Yaa Allah. Malu kepada diri sendiri. Ya, justeru dukungan tulus itu yang selama ini menguatkanku. Bahkan ketika kadang jenuh mendera.
Saat aku menghadapi kasus-kasus sulit aku menangis sejadi-jadinya. Dan kau menenangkanku. Membimbingku berdzikir, "Niatkan menolong, Allah pasti bantu", kau berbisik lembut.

Kau katakan saat menghadapi pasien baik itu anugerah. Saat menghadapi pasien rewel itu ujian sabar dan ikhlas kita. Menghadapi kasus luar biasa maka Allah sedang menambahkan ilmu yang kita belum punya.

"Umi harusnya bersyukur, bisa leluasa bertemu dengan orang banyak. Itu lahan ibadah, itu lahan dakwah."

"Ah, benarkah...?"

Aku malu, setelah banyak hakmu tercerabut, kau masih perlakukan aku dengan sebaik-baik perlakuan. Setiap kali aku harus menghabiskan malam dengan begadang, keesokan pagi semua urusan domestik kau tangani tanpa keluhan. Sengaja kau biarkan aku istirahat padahal matahari sudah mengintip peraduan. Kau kunci pintu kamar dari luar agar aku tak terganggu suasana pagi yang penuh kericuhan. Sayup-sayup mendengarmu menemani anak-anak mengaji.
Saat terbangun sudah ada air panas untuk aku mandi, lengkap untuk sarapan nasi goreng dan telur matasapi.
Pesanmu selalu "jaga kesehatan".
Protes anak-anak kau tenangkan. 
"Abi, bukannya tidur ba'da shubuh itu makruh?"

Beberapa kali 
kuutarakan aku ingin berhenti saja. Aku ingin menjadi ibu rumah tangga biasa. Yang sepenuhnya merawat keluarga. Mengantar anak sekolah hingga menemani murojaah. Selalu menemani mereka belajar dan tumbuh besar. Atau aku juga ingin lebih banyak santai. Bisa jalan-jalan kapan saja, berlibur kemanapun kita suka, semua serba teratur sesuai rencana. Atau mungkin nonton drama korea yang sebenarnya aku tak begitu suka. Paling tidak aku akan selalu ada setiap saat, seperti _rexona_. Begitulah kira-kira.

Tapi biasanya kau hanya tersenyum. "Silahkan lakukan apa yang umi suka, itu pilihan".

Dan aku biasanya tersudut dalam renungan. Benarkah aku akan lebih baik seperti yang aku pikirkan? Atau ini hanyalah emosi sesaat yang tak terluapkan. Mungkin aku hanya butuh meresapi lagi tujuan hidup yang biasanya disampaikan di kajian. Atau, entahlah...aku sepertinya harus terus belajar arti syukur dan ikhlas dalam segala hal.
Jika sedikit ilmu yang kupunya bisa bermanfaat, bukankah itu cita-cita. Hanya mungkin aku saja yang harus terus belajar meluruskan niat. Belajar, dan terus belajar...

Sementara di luar sana,
ada banyak cerita seorang istri yang dipaksa  bekerja.
Ada banyak kejadian wanita berubah peran terpaksa menjadi tulang punggung keluarga. 
Dan di sisi yang lain, ada banyak fakta tak terbantahkan para wanita yang merasa hebat ketika karir menanjak. Ada banyak wanita yang jumawa ketika bisa menghasilkan pundi-pundi uang. Padahal tak ada yang pantas kita banggakan apapun itu ketika kita menyadari sesungguhnya tupoksi kita dari Allah adalah sebagai Ummun warabatul bayt dan khalifah di muka bumi. Bahkan sesungguhnya para wanita tak akan bisa berbuat apa-apa tanpa izin yang di berikan suami kepada kita. Tanpa keridhaannya, apalah aku. Apalah kita...

Terimakasih, aku hanya ingin berterimakasih untuk segalanya. Untuk izinmu, untuk rida-mu, karena hanya dengan itu saja aku masih bisa berharap Allah meridai setiap langkahku. Semoga.

                     ******

Dipersembahkan untuk suamiku, dan para suami bidan seluruh nusantara.

Selamat hari Bidan Nasional (HUT IBI yang ke-69) 24-6-2020

Posting Komentar

0 Komentar