Impor Menggila Di Saat Wabah

Oleh : Ummu Syifa

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor sayur- sayuran sepanjang tahun 2019 meningkat dari tahun 2018, menjadi 770 juta dollar AS atau setara Rp 11,3 triliun (asumsi kurs Rp 14.700 per dollar AS). Merespon hal tersebut, Direktur Jenderal Hortikultura  Kementerian  Pertanian ( Kementan) Prihasto Setyanto mengatakan, angka tersebut didominasi oleh komoditas sayur-sayuran yang pasokannya memang masih perlu dibantu oleh impor, seperti bawang putih dan kentang industri.

"Kalau ada pengamat yang cerita impor sayuran kita meningkat di tahun 2019, dari data BPS bisa di kroscek, impor tersebut adalah terbesar bawang putih dan kentang industri. Komoditas ini masuk dalam kelompok aneka sayuran. Nyatanya kita masih butuh pasokan besar memang," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (25/5/2020).

Dia mencatat, volume impor bawang putih mencapai 38,62 persen dari total nilai impor seluruh jenis sayuran, disusul kentang olahan industri, bawang bombai, dan cabai kering. Lebih lanjut, Prihasto mengakui, pasokan dalam negeri saat ini belum mencukupi kebutuhan masyarakat, karena bawang putih tumbuh optimal di daerah sub tropis seperti China. (Dikutip dari kompas.com, 25/5/2020)

Terjadinya lonjakan Impor di Indonesia setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, klaim bahwa produksi lokal yang turun selama Pandemi. Kedua, karena adanya pelonggaran syarat impor. 
Kementerian Perdagangan telah melakukan relaksasi impor sementara untuk bawang putih dan bawang bombai. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana mencatat, impor bawang putih yang sudah masuk ke tanah air tanpa Persetujuan Impor (PI) mencapai 28 ribu ton. "Jumlah bawang putih yang masuk mencapai 48 ribu ton. Dari jumlah itu, 20 ribu ton memakai PI, sementara 28 ribu ton masuk tanpa PI," kata dia dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR, Jakarta, Kamis (23/4).

Hal tersebut mencerminkan importasi bawang putih dapat dilakukan dengan mudah. Dengan demikian, siapa pun dapat melakukan impor bawang putih
Dengan adanya pelonggaran ini maka semakin melimpah ruah produk impor yang membanjiri pasar lokal. Meskipun menurut kementrian perdagangan kebijakan tersebut tidak akan merugikan petani lokal. Namun, apakah realita di lapangan seperti itu ataukah petani lokal semakin menjerit dengan kebijakan yg tidak pro petani sama sekali. 

Indonesia sebagai negara agraris seharusnya bisa mencapai swasembada pangan seperti dicita-citakan selama ini. Kemandirian dan kedaulatan pangan menjadi hal yg bisa diwujudkan dalam negara dengan semboyan  gemah Ripah loh jinawi ini. Hanya saja hal ini terasa sulit untuk direalisasikan. Pasalnya karena ada perbedaan sikap terkait impor di masa wabah ini antara Kementrian Pertanian dan Kementrian Perdagangan. 

Kementrian Pertanian melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan produksi pangan dalam negeri. Namun, kementrian Perdagangan justru menginginkan adanya arus perdagangan antar negara yang semakin pesat termasuk impor barang ke Indonesia. Hal ini menegaskan bahwa tidak ada kebijakan yang terintegrasi untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat. Kebijakan yang saling bertolak belakang ini semakin menambah penderitaan rakyat. Baik petani karena produksinya tidak laku di pasaran atau pun konsumen karena harga barang yang semakin melonjak tajam.

Hal ini wajar terjadi dalam negara dengan sistem kapitalis liberal. Dimana keuntungan materi menjadi motivasi utama dalam kebijakan publik. Semakin banyaknya barang impor yang masuk maka cukai yang menjadi target oleh kementerian Perdagangan akan semakin besar. Tak peduli jeritan para petani cilik di tengah Pandemi ini. Kondisi wabah ini juga dijadikan alasan oleh sebagian pihak untuk melonggarkan syarat impor. Adanya dorongan dari para pebisnis untuk pelonggaran syarat impor menjadikan kran impor semakin deras masuk ke Indonesia. Hal ini tentu akan semakin menambah pundi-pundi rupiah para importir ini. Sedangkan petani kecil hanya bisa gigit jari.

Fakta ini semakin menunjukkan bahwa rezim saat ini bukanlah rezim yang serius mengurusi rakyat. Rezim saat ini lebih memperhatikan para kapitalis liberal dan memanjakan mereka dengan aturan dan kebijakan yang semakin mencekik rakyat. Rezim neoliberal ini tidak punya visi kedaulatan pangan karena terus bergantung pada impor. Dan nasib petani lokal semakin termarginalkan.

Untuk menghentikan impor yang menggila ini dibutuhkan negara dengan visi yang jelas dan pro rakyat. Negara yang menjadi pelayan rakyat, bukan pelayan para kapitalis liberal. Negara dengan sistem ekonomi yang adil bukan yang pro kapitalis. 

Dalam Islam negara berkewajiban melindungi kepentingan warga negara termasuk pangan dan mencegah ketergantungan pada asing. Sistem yang memiliki ketiga hal ini hanyalah sistem Islam yang menjalankan syariah Islam secara kaaffah. 
Wallahu a'lam bishshowab.

Posting Komentar

0 Komentar