Jebakan Hutang, Kedaulatan Melayang

Oleh : Eka Fitri (Muslimah Revowriter)

Difasilitasi untuk berhutang. Dengan bunga fantastis. Adalah Usaha untuk meraup kekuasaan. Hingga negara pengutang terjerat dan terjebak dalam hutang.

Pemerintah tahun ini berencana menambah utang baru yang amat besar. Nilainya selangit yakni mencapai Rp1.006 triliun. Jumlah itu mencapai tiga kali lipat dari utang setiap tahun, dengan dasar Perpu No 1 Tahun 2020 dan dengan dalih menghadapi wabah corona. 
"Jika gagal mendapat utang sebesar itu, dan dipastikan APBN ambyar total. Sementara rencana cetak uang Rp6.000 triliun dimentahkan oleh Bank Indonesia (BI) artinya rencana ini ambyar. BI ketakutan," kata peneliti AEPI Salamuddin Daeng di Jakarta. Pada saat yang sama, lanjut dia, Pemerintah menanggung beban utang luar negeri yang sangat besar. Demikian juga utang BUMN luar negeri yang juga besar. Hal yang juga paling mengkhawatirkan adalah jika  Pemerintah gagal membayar dana dana publik yang dipakai oleh APBN. (BisnisNews.id)

Hutang itu menjerat. Logika sederhananya misal saya pinjamkan uang 200 juta rupiah. Kemudian Anda membeli mobil baru.  Setelah akumulasi dengan bunga. Sepuluh tahun kemuadian saya tagih. Hutang Anda menjadi 400 juta rupiah. Saya bisa pastikan, Anda tidak akan punya uang sebanyak itu. Akhirnya mobil Anda Saya sita, dan sebagian rumah Anda yang dijadikan jaminan, menjadi milik saya. Kini sayapun menjadi penguasa di rumah Anda.

Dalam sistem kapitalis, hutang menjadi alat penjajahan ekonomi. Awalnya memang terasa indah dengan uang hasil hutang. Kebutuhan akan insfrastruktur tercukupi. Waktu berlalu, hutang terlilit bunga ribawi. Ketika sudah membengkak, solusinyapun tidak ditemukan. Dan inilah tujuan negara pemberi hutang. Sehingga dapat mengambil keuntungan dari berbagai sektor.

Hutang luar negeri dapat mengakibatkan sebuah negeri kehilangan kedaulatan. Negara pemberi hutang, seolah mendapat kekuasaan baru. Hingga putusan penguasa, berdasar pada pesanannya. Dan rakyat akan terkorbankan. Berikut ini mari kita perhatikan, cara cerdas menyelesaikan permasalahan ini. Ketika negara Daulah khilafah telah tegak.


Bolehkah Negara Berhutang ?

Hutang yang diperoleh dari siapapun, baik dalam negeri  maupun luar negeri. Boleh, jika tidak disertai riba. 

Allah SWT. telah mewajibkan kita, baik sebagai individu maupun penguasa di dalam Khilafah, untuk selalu terikat dengan berbagai transaksi (akad), baik antar sesama Muslim maupun dengan orang-orang atau negara Kafir. Dengan catatan, selama transaksi atau akad tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam. Allah SWT. berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” [Q.s. al-Mâ’idah [5]: 1].
Ayat ini merupakan perintah dari Allah kepada kaum Muslim untuk selalu menepati transaksi-transaksi yang telah mereka lakukan. Hutang luar negeri, baik yang dilakukan oleh perorangan, instansi, perusahaan, maupun negara.

Untuk melakukan hutang luar negeri. Perlu diperhatikan apakah berpengaruh kepada kedaulatan negara. Jika berpengaruh maka tidak boleh dilakukan. Karena kedaulatan adalah harga mutlak suatu negara. Yang harus dipertahankan, dan jangan sampai tergadai.


Bagaimana Cara Negara Membayar Hutang ?

Caranya Khilafah membayar sisa cicilan hutang pokoknya. Sumber dana untuk membayar. Berikut langkah langkah yang diambil : 

1. Harus dipisahkan antara hutang luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya dengan hutang yang dilakukan oleh pihak swasta (baik perorangan maupun perusahaan). Jika dilakukan oleh pihak swasta, maka pihak tersebut harus membayar. Untuk hutang yang dilakukan oleh pemerintah, dibayar oleh khalifah sebagai pemegang kekuasaan baru.

2. Yang dibayar, hanya sisa pokok pinjaman saja. Bunganya tidak. Karena riba haram.

3. Khalifah akan meminimalisir tekanan dalam pembayaran hutang luar negeri. Seperti meminta keringanan. Atau tambahan waktu pelunasan.

4. Hutang sebelumnya, akan dibayar negara dengan mengambil seluruh harta kekayaan yang dimiliki secara tidak sah oleh ‘rezim’ sebelumnya.

5. Sementara itu, hutang luar negeri yang dipikul swasta (baik perorangan maupun perusahaan) dikembalikan kepada mereka untuk membayarnya. 


Negara Khilafah, Negara Mandiri

Dalam Negara Khilafah Islam, Bayt al-Maal menangani harta yang diterima negara dan mendistribusikannya. Setiap harta, baik berupa tanah, bangunan, barang tambang, uang, maupun harta benda lainnya, yang kaum Muslim berhak memilikinya sesuai hukum Islam, maka harta tersebut adalah hak Bayt al-Maal kaum Muslim.
Sistem keuangan islam terbukti mampu mewujudakan kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan bagi muslim dan non muslim selama berabad-abad. 

Pos-pos pendapatan dalam sistem keuangan Bayt al-Maal terdiri dari tiga pos, yaitu :
Pertama, bagian fayi dan kharaj. Fayi adalah salah satu bentuk pampasan perang, dan kharaj adalah retribusi atas tanah atau hasil produksi tanah dimana para pemilik tanah taklukan tersebut membayar kharaj ke negara Islam.
Kedua, bagian pemilikan umum. Kepemilikan umum adalah izin dari al-Shari‘ kepada jama‘ah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu. Kepemilikan umum meliputi segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat, segala sesuatu yang secara alami tidak bisa dimanfaatkan hanya oleh individu secara perorangan, dan barang tambang yang depositnya tidak terbatas, yaitu barang tambang yang jumlahnya sangat banyak.
Ketiga, bagian sadaqah. Bagian sadaqah terdiri dari zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat ternak unta, sapi, dan kambing.

wallahu'alam bishshowwab.

Posting Komentar

0 Komentar