Kado Pahit Kenaikan Tarif Listrik, Bukti Gagalnya Rezim Neolib


Oleh : Ummu Ziya (Member Pena Magelang)

Ditengah wabah yang masih mengganas, lagi-lagi rakyat disuguhi berbagai kebijakan yang menyengsarakan dan dholim. Mulai lambannya pemerintah menangani wabah, inkonsistensi berbagai kebijakan, seretnya bantuan kepada rakyat terdampak, kurangnya proteksi pada tenaga kesehatan hingga narasi damai dengan bahaya (covid-19). Ditambah beban hidup yang semakin sulit berupa melambungnya iuran BPJS, harga BBM yang tidak turun kala harga BBM dunia mengalami penurunan, wacana baru tentang tabungan perumahan rakyat (tapera), maraknya kriminalitas, meningkatnya kasus KDRT akibat tekanan ekonomi hingga yang terbaru yakni membengkaknya tagihan listrik yang membuat rakyat kian tercekik.

Sehingga wajar jika masyarakat banyak mengalami depresi karena banyaknya tanggungan hidup di tengah negara yang terpuruk.

Baru baru ini pun masyarakat mengeluhkan soal tagihan listrik yang kian membengkak. Masyarakat memperkirakan adanya kenaikan tarif listrik secara diam-diam atau ada subsidi silang yang diterapkan untuk pengguna daya 450 VA dan 900 VA.

Merespons keluhan-keluhan tersebut, PT PLN (Persero) angkat suara. Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril memastikan seluruh anggapan itu tidak benar. PLN tidak pernah menaikkan tarif listrik karena bukan kewenangan BUMN.

Menurut Bob menegaskan kenaikan tagihan listrik pelanggan terjadi karena adanya kenaikan pemakaian dari pelanggan itu sendiri.

"Kenaikan tarif ini murni disebabkan oleh kenaikan pemakaian dan kenaikan pemakaian ini murni disebabkan oleh banyaknya kegiatan yang dilakukan di rumah dibandingkan kegiatan sebelumnya pada era normal. Mungkin kita akan lihat juga bagaimana dengan new normal nantinya apakah juga mengalami kenaikan," tambahnya.

Ia juga membantah tuduhan adanya subsidi silang untuk pelanggan 450 VA maupun 900 VA. Sebab, terkait subsidi, hal itu bukan wewenang PLN.

"Terakhir, tidak ada cross subsidi (subsidi silang). Kami tidak ada subsidi karena subsidi itu kewenangan pemerintah. Sebenarnya subsidi itu adalah untuk rakyat yang tidak mampu dan PLN hanya menjadi medianya. Jadi subsidi itu--saya ulangi--bukan untuk PLN, tapi subsidi untuk rakyat, rakyat yang tidak mampu, yaitu apa, kalau di listrik didefinisikan untuk rumah tangga 450 VA dan 900 VA yang tidak mampu," pungkasnya.
(detikFinance, 5/06/20)

Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Syahril juga mengatakan, perhitungan yang dilakukan PLN secara transparan. Oleh sebabnya, masyarakat yang tagihannya mengalami kenaikan bukan karena manipulasi atau kenaikan tarif melainkan karena pembatasan sosial.

Menurut Bob, selama pandemi Covid-19, masyarakat diharuskan untuk melakukan kegiatan dari rumah baik untuk kegiatan bekerja hingga sekolah. Dimana tidak hanya orang tua tapi anak dan anggota keluarga lainnya harus di rumah. Maka otomatis penggunaan listrik akan bertambah sehingga ada kenaikan.

Sebagai solusi, PLN telah menyiapkan skema perlindungan lonjakan tagihan untuk mengantisipasi lonjakan drastis yang dialami oleh sebagian konsumen, akibat pencatatan rata-rata tagihan menggunakan rekening 3 bulan terakhir. Yaitu lonjakan yang melebihi 20% akan ditagihkan pada bulan Juni sebesar 40% dari selisih lonjakan, dan sisanya dibagi rata tiga bulan pada tagihan berikutnya.(CNBC Indonesia, 06/06/20)

Skema ini diberikan sebagai bentuk upaya PLN dalam memberikan solusi bagi konsumen yang tagihannya melonjak pada bulan Juni 2020. Sehingga konsumen tidak terkejut dengan tagihan listrik listrik selama masa PSBB. Selanjutnya Konsumen dapat menyelesaikan seluruh kewajibannya di masa produktif setelah penerapan PSBB berangsur berakhir.

Skema tersebut dipersiapkan setelah mengevaluasi pelaksanaan penagihan listrik pada bulan Mei yang jugah mengakibatkan munculnya pengaduan pada sebagian pelanggan. Untuk mengatasi pengaduan tersebut,k PLN juga menambah posko pengaduan. (Sindonews.com, 07/06/20)

Sinyalemen liberalisasi sektor ketenagalistrikan ini memang bukanlah isu baru. Tepatnya sudah dimulai sejak UU Ketenagalistrikan No. 20 tahun 2002 disahkan. Salah satu pasalnya mengatur soal unbundling vertikal, yang memisahkan proses bisnis PLN menjadi beberapa usaha, yaitu pembangkit tenaga listrik, transmisi listrik, distribusi listrik, dan penjualan tenaga listrik.

Selanjutnya komersialisasi (liberalisasi) ini dilanjutkan dengan sahnya Undang-undang No. 30 Tahun 2009 tentang ketenagalistrikan. Dan diperkuat oleh UU kelistrikan terbaru, yang diluncurkan dan implementasinya diperkuat dengan Perpres 44/2016. Adanya peluang pihak  swasta untuk berkolaborasi dan berinvestasi pada bidang usaha ini, membuat negara minim peran dan hanya  sebagai regulator yang membuat kebijakan antara para investor/ swasta dengan para konsumen/rakyat. Negara hanya bertindak sebagai mediasi yang membuat kebijakan dan mengatur pasar para investor tanpa turun langsung menanganinya. 

Jika kita menilik lebih jauh lagi, dalam konstelasi sistem kapitalisme, kenaikan TDL merupakan hal wajar. Hal ini adalah dampak dari proses swastanisasi dan privatisasi yang merupakan pesanan IMF yang tertuang dalam Letter Of Inten yang ditandatangani tanggal 31 Oktober 1997. Pada butir 41 dinyatakan bahwa Pemerintah RI berjanji untuk memprivatisasi sektor pelayanan publik.

Setelah itu dibuatlah skenario untuk meloloskan pesanan IMF tersebut melalui Kementerian Pertambangan dan Energi yang kemudian menerbitkan “Buku Putih” pada Tahun 1998, yang isinya adalah roadmap liberialisasi ketenagalistrikan melalui tahapan Unbundling, Profitisasi dan Privatisasi. Jadi walaupun namanya masih PLN, tapi kebijakan penentuan harga listrik dilakukan oleh swasta. 

Keterlibatan pihak swasta dan asing dalam mengelola dan mengatur kebutuhan primernya rakyat  dalam hal ini ketenagalistrikan, tidak terlepas dari undang-undang yang mengaturnya. Besarnya peluang para kapitalis untuk menanamkan investasinya membuat negara kewalahan dan menihilkan peran sebagai penguasa utama. Mahalnya mahar kampanye membuat kedaulatan negara beralih ke para cukong kapitalis.
Berujung pada pembuatan UU yang sarat akan kepentingan asing dan aseng. 

Bahkan ditengah keputusasaan masyarakat menghadapi pandemi covid-19, pemerintah pun tetap menaikkan tagihan listrik dengan berbagai dalih dan alasan.

Dari kasus diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa problem utama penyebab naiknya tarif listrik adalah kebijakan ekonomi pemerintah neoliberal yang berasaskan kapitalisme sekuler. Kebijakan yang menihilkan peran negara secara langsung dalam menangani dan mengelola SDA telah membawa kemudharatan bagi seluruh rakyatnya. Akibatnya rakyat harus membayar mahal fasilitas negara yang seharusnya bisa didapat secara gratis. 

Demikianlah jika sebuah negara menganut dan menerapkan sistem kapitalis sekuler. Kedaulatan yang harusnya ada di tangan syariah justru diserahkan kepada manusia yang serba lemah dan terbatas. Menafikan peran Allah Swt sebagai pencipta dan pembuatan aturan merupakan bentuk kemaksiatan yang besar. 


Syariah Islam Menuntaskan

Sektor ketenagalistrikan merupakan salah satu sektor strategis dan utama dalam kehidupan masyarakat. Artinya sektor primer ini harusnya dikelola langsung oleh negara tanpa ada campur tangan asing maupun swasta dalam hal pengelolaan, mekanisme distribusi, penyediaan sarana prasarana hingga pengembangan teknologinya. 

Hal ini sejalan dengan konsep Islam. Dimana khalifah sebagai wakil ummat, harus turun langsung menangani dan mengelola kebutuhan primer rakyat berupa kebutuhan sandang, papan, pangan, keamanan, kesehatan, pendidikan, transportasi, komunikasi termasuk didalamnya sektor ketenagalistrikan tanpa melibatkan pihak swasta apalagi asing/aseng. Rasulullah saw bersabda,
“Manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal : padang gembalaan, air, dan api.” (HR Ibn Majah)

Melalui konsep inilah, Islam mengharamkan negara mengeruk keuntungan dari kepemilikan umum tersebut, apalagi diserahkan kepada pihak swasta asing. Jika pun rakyat sampai harus membayar listrik, hal itu hanya sekadar untuk menutupi biaya operasional atau biaya produksi tanpa harus membayar biaya keuntungan (Ab-durrahman al-Maliki, as-Si-yasatu al-Iqtishadiyatu al-Mutsla). 

Sebagai contoh, bukti majunya peradaban Islam ialah pada masa Khilafah Bani Umayyah, Cordoba menjadi ibu kota Andalusia, pada malam harinya diterangi dengan lampu-lampu sehingga pejalan kaki memperoleh cahaya sepanjang sepuluh mil tanpa terputus. Ada sebuah masjid dengan 4.700 buah lampu yang menerangi, yang setiap tahunnya menghabiskan 24.000 liter minyak. (al-waie.id, 1/12/2017)

Oleh karena itu, negara tidak sepantasnya jika menjadikan listrik sebagai barang komoditi yang bisa diperjualbelikan sekehendak tuan pada rakyatnya, apalagi memberi kesempatan kepada pihak swasta/asing untuk menguasai sektor  tersebut. Sebab hal tersebut bisa mengalihkan tanggungjawab negara kepada rakyat sebagai pihak yang wajib mengelola listrik. Terlebih, jikalau benar ada tindakan penggelembungan tagihan listrik, hal itu sudah tentu merupakan kebijakan dholim dan sangat merugikan rakyat. 

Wallahu'alam bi shawab.

Posting Komentar

0 Komentar