Kembali Ke Sekolah Di Tengah Wabah, Tepatkah?


Oleh : Iis Kurniawati, S. Pd

Hampir tiga bulan lamanya kegiatan belajar mengajar di sekolah diliburkan akibat covid-19. Siswa Melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) secara daring di rumah, dengan bimbingan guru. Namun belakangan, pemerintah mulai mencanangkan fase new normal life pada sektor pendidikan. Wacana dibukanya kembali sekolah diperkirakan pada pertengahan bulan Juli mendatang bertepatan dengan masuknya tahun ajaran baru 2020/2021.

Wacana pembukaan sekolah pada pertengahan Juli pertama kali digulirkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim akan mengumumkan mekanisme  dan syarat pembukaan kegiatan belajar mengajar di Sekolah selama masa wabah pandemi covid-19. Hal itu disampaikan oleh Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan Dasar, dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Hamid Muhammad. Hamid mengatakan, kegiatan belajar tatap muka mungkin dilakukan di zona hijau covid-19 dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat, sedangkan daerah zona kuning dan merah masih akan melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ).(kompas.com, 04/06/2020) 

Munculnya wacana fase new normal life dibidang pendidikan menuai polemik, terutama kekhawatiran dari orang tua yang resah melepas anak-anak mereka  belajar di sekolah saat wabah. Beberapa pihak juga keberatan dan menolak rencana dibukanya kembali sekolah saat wabah belum usai. Penolakan tersebuat salah satunya datang dari anggota DPD RI yang juga pemerhati pendidikan dan anak, Fahira Idris, meminta kebijakan pembukaan kembali sekolah harus diperhatikan dengan matang. Karena upaya apapun dianggap tidak akan efektif dan beresiko selama pandemi belum bisa terkendali. (liputan6.com, 09/06/ 2020).
Hal senada juga disampaikan ketua KPAI Susanto yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara besar dengan jumlah lembaga pendidikan yang sangat banyak dan memiliki keberagaman model yang khas termasuk pesantren. Jumlah pesantren di Indonesia sangat banyak yaitu 28. 194 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 18 juta anak dan didampingi oleh 1,5 juta guru. Ia mewanti-wanti agar pemerintah harus berhati-hati dan tidak terburu-buru untuk menyelenggarakan pembelajarann tatap muka.(tempo.co, 2/06/2020)

Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan, karena hingga saat ini Indonesia dinilai belum mampu mengendalikan wabah. Temuan kasus dari hari ke hari kian bertambah, belum menunjukkan kurva melandai. Bahkan beberapa hari terakhir jumlah positif covid-19 baru, menembus angka ribuan kasus yang terkonfirmasi dalam satu hari (Tirto.id). Lonjakan ini merupakan penambahan kasus yang paling tinggi selama wabah covid diumumkan pada 2 maret 2020.
Kebijakan demi kebijakan  yang diambil pemerintah semakin jelas tidak mengutamakan keselamatan rakyat. Penerapan fase new normal life dinilai terlalu prematur. Pemerintah seolah mengabaikan pendapat para ahli/pakar kesehatan untuk tidak tergesa-gesa menetapkan fase new normal, terlebih lagi dalam bidang pendidikan. Data menunjukkan kasus corona pada anak cukup tinggi. Saat sekolah dibuka keselamatan peserta didik, dan tenaga pendidik dipertaruhkan, sekolah dikhawatirkan akan menjadi kluster baru penyebaran covid-19. Selain itu kesiapan sekolah dalam mempersiapkan sarana penunjang untuk menjalankan protokol kesehatan juga dipertanyakan, karena tidak semua sekolah memiliki fasilitas dan kapasitas yang memadai untuk melakukan  pengadaan kelengkapan protokol kesehatan bagi siswa, pendidik, dan tenaga kependidikan. 

Indonesia seharusnya dapat belajar dari negara lain terkait pembukaan sekolah di tengah wabah. Berkaca dari negara Perancis dimana kasus covid ditemukan setelah siswa kembali sekolah. Pemerintah perancis awalnya telah menutup sekolah dan lembaga pendidikan tinggi sejak 17 Maret 2020 sebagai upaya menahan penyebaran virus corona, setelah dua bulan sekolah dibuka kembali. Namun kemudian Manteri Pendidikan Jean Michael Blanquer, dilansir dari Business Insider mengatakan melalui radio perancis RTL (18/5/ 2020) bahwa 70 kasus baru covid-19 telah terdeteksi dalam minggu pertama siswa kembali ke sekolah. (Kompas.com, 20/05/2020). Tentunya hal ini jangan sampai terjadi pada Indonesia dengan melakukan kesalahan yang sama seperti negara tersebut.

Narasi new normal yang digagas pemerintah saat ini tampak tidak berorientasi bagi kepentingan dan keselamatan rakyat., tetapi semata-mata demi kepentingan ekonomi dan kepentingan kelompok pemilik modal yang besar. Akar masalah dari semua ini tidak lain karena sistem yang diterapkan adalah sistem kapitalisme yang rusak, gagal, dan menyengsarakan. Sistem pendidikan yang ditegakkan berdasarkan ideologi sekulerisme-kapitalisme hanya aakn menghasilkan sumber daya manusia (Peserta didik)yang berfikir profit oriented, tolak ukur keberhasilannya hanya berupa angka-angka dan capaian materi semata. Sebagai seorang muslim kita butuh tuntunan yang tepat dalam rangka menghadapi berbagai kondisi dan problematika yang terjadi saat ini. 

Dasar pengambilan setiap keputusan, dan tolak ukur kebenaran harus bersandar pada hukum syara, karena syariat islam merupakan tuntunan terbaik dan selalu menjadi solusi untuk setiap keadaan serta permasalahan. Pendidikan dalam Islam merupakan upaya sadar, terstuktur, terprogram dan sistematis dalam rangka membentuk peserta didik yang berkepribadian islam, memiliki pemikiran islam, handal, menguasai ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi / PITEK) serta memiliki keterampilan yang tepat guna dan berdaya guna. Dimana pembentukan kepribadian islam harus dilakukan pada semua jenjang pendidikan, sesuai dengan proforsinya melalui berbagai metode, pendekatan, dan strategi secara komprehensif. Hal ini dimaksudkan untuk memelihara sekaligus meningkatkan keimanan serta keterikatannya dengan syariat islam. Indikator keberhasilannya adalah anak didik dengan kesadaran yang dimilikinya mampu melaksanakan segenap kewajiban dan berhasil menghindari tindak kemaksiatan kepada Allah Swt. berwujud dalam bentuk ketakwaan kepada Allah Subhanahu wata'ala.

Secara struktural, kurikulum pendidikan islam dijabarkan dalam tiga komponen materi pendidikan utama, yang sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu: 1) Pembentukan kepribadian islam, 2) Penguasaan tsaqafah islam, 3) Penguasaan ilmu kehidupan ( PITEK, keahlian, dan keterampilan). Dalam Islam negara sebagai penyelenggara berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan baik berupa perangkat kurikulum, metode pengajaran, bahan ajar, akreditas, jaminan mutu pendidikan dan yang utama  negara menjamin pendidikan dapat diperoleh secara mudah oleh rakyatnya. Rasulullah  SAW bersabda : "Seorang imam (khalifah / kepala negara ) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atasan urusan rakyatnya." (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Wallahu  a`lam bish-shawhab.

Posting Komentar

0 Komentar