Ketahanan Pangan Menjerit, Impor China Meroket


Oleh : Iiv Febriana*

Sebagai negara agraris, ternyata Indonesia belum mampu menciptakan kedaulatan pangan. Ditambah lagi dengan adanya krisis akibat pandemi Covid-19 semakin menunjukkan lemahnya kedaulatan pangan di Tanah Air. Bagaimana tidak, angka komoditas yang diimpor Indonesia semakin meroket, terutama untuk komoditas bahan pangan. Dan China sebagai importir utama. Menurut Ekonom senior INDEF Faisal Basri, impor pangan Indonesia dari China cukup besar. Jangankan untuk bahan pangan pokok seperti beras, Faisal membeberkan Indonesia juga impor sayur dan buah dari China. Bahkan menurut Faisal, hampir 67,5 persen sayur yang ada di Indonesia impor dari China. (Kumparan.com, 22/05/2020)

Komoditas sayuran asal China memang membanjiri Indonesia selama bulan April. Bahkan nilainya mencapai USD 75,37 juta, naik 219,31 persen atau tiga kali lipatnya dibandingkan Maret 2020 yang hanya USD 23,60 juta. Sayangnya, BPS tak merinci lebih lanjut komoditas dari sayuran ini. (Kumparan.com, 25/05/2020)

Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian ( Kementan) Prihasto Setyanto berdalih, angka tersebut didominasi oleh komoditas sayur-sayuran yang pasokannya memang masih perlu dibantu oleh impor, seperti bawang putih dan kentang industri. Dia mencatat, volume impor bawang putih mencapai 38,62 persen dari total nilai impor seluruh jenis sayuran, disusul kentang olahan industri, bawang bombai, dan cabai kering.


Solusi Produktivitas Pangan

Sebagai negara yang gemah ripah loh jinawi seharusnya negara lebih mengutamakan menggenjot produktivitas pangan di dalam negeri ketimbang berpihak pada mafia impor. Lahan yang tersedia pun sangat mumpuni. Lalu mengapa impor selalu menjadi solusi?
Situasi pandemi di klaim menjadi sebab menurunnya produksi lokal sehingga menjadi alasan untuk semakin mendorong pelonggaran syarat impor sehingga mengakibatkan lonjakan angka impor di Indonesia.

Kementerian perdagangan dan pertanian berbeda sikap dalam soal impor di masa wabah. Ini menegaskan bahwa tidak ada kebijakan yang terintegrasi untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat. Hal ini disebabkan karena rencana swasembada atau kemandirian produksi pangan tidak sejalan dengan peluang cukai yang ingin didapat oleh kementerian perdagangan demi kepentingan pebisnis yang mendorong pelonggaran syarat impor. Tentu tidak ada yang salah dalam praktek impor ini, bahkan dalam Islam hal ini termasuk bentuk perdagangan yang hukumnya boleh (mubah). Namun kegiatan justru membawa pada kerugian bahkan kebinasaan jika tidak sesuai dengan syariat Islam. 

Sistem Kapitalis yang berlaku saat ini memberikan peluang yang besar kepada para pemodal (kapital) mengitervensi kedaulatan pangan. Meskipun pemerintah mengklaim bahwa impor ini untuk memenuhi pasokan dalam negeri yang belum tercukupi. Namun faktanya  justru petani lokal dipaksa untuk bersaing dengan dengan barang impor. Bahkan tak jarang berujung pada kerugian bagi petani lokal.

Dalam Islam mekanisme penjagaan kedaulatan pangan diantaranya dengan menyimpan cadangan berupa produk pangan di masa subur agar tidak semua dikonsumsi. Tentu hal ini menuntut pula teknologi di bidang pangan dalam hal peningkatan produktivitas dan teknik penyimpanan bahan pangan agar tidak rusak. Dan yang tak kalah penting pengaturan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat agar tidak berlebihan.

Optimalisasi produksi dilakukan  diseluruh lahan yang berpotensi untuk melakukan usaha pertanian berkelanjutan yang menghasilkan bahan pangan pokok. mulai pemilihan lahan yang cocok untuk benih tanaman, teknik irigrasi, pemupukan dan penanganan hama hingga pemanenan serta pengolahan pasca panen. 

Jika semua hal ini terlaksana dengan baik oleh negara tetapi masih mengalami kekurangan maka impor dapat dilakukan sesuai rel-rel syara’ yang tidak membahayakan kedaulatan negara. Hanya dengan Islam kaffah kedaulatan dan ketahanan pangan dapat terwujud. Wallahu a'lam bish-shawab.

*Penulis Adalah Aktivitis Muslimah Rindu Syariah Sidoarjo dan Tenaga Pengajar HSG-SD Mutiara Ummat

Posting Komentar

0 Komentar