Menakar Kebijakan New Normal


Oleh: Muthmainnah Kurdi

Sudah sepekan lebih beredar narasi kebijakan new normal terkait solusi dalam mengatasi pandemi covid-19. Namun kebijakan ini belum tepat untuk direalisasikan, bahwa pemerintah hendak mengambil opsi lebih lugas, dengan menawarkan berdamai dengan Corona. Hidup dalam tatanan baru,  Beraktivitas di tengah wabah covid-19. Lansir merdeka.com. 

Tentu saja kebijakan new normal membuat kasus covid-19 makin bertambah banyak, karena jumlah kerumunan besar akan lebih intens terjadi, yang akan menjadi media penularan virus Corona lebih masif.  Kebijakan ini mengindikasikan belum maksimalnya negara dalam menuntaskan pandemi Corona.

Muncul pertanyaan "Apakah kita mampu menerapkan new normal ? Lagi-lagi rakyat dipaksa menjalani kebijakan anomali dari penguasa. Seolah-olah tidak ada celah harapan untuk kembali hidup seperti semula. Jikapun pemerintah tetap akan  menerapkan kebijakan tatanan hidup baru "new normal," maka harus memenuhi unsur-unsur yang membolehkannya. Apa saja unsur-unsur yang harus menjadi prasyarat sebelum "new normal" tersebut diterapkan ?

Sebagaimana telah diutarakan oleh  DR. Hermawan Saputra, Dewan Pakar Ikatan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI). Bahwa negara harus memenuhi beberapa syarat jika hendak menerapkan "new normal."  Pertama, syaratnya harus sudah terjadi perlambatan kasus. Dua, sudah dilakukan optimalisasi PSBB. Bukankah setiap hari kita disuguhi informasi naiknya kurva kasus positif covid-19 ? Lalu adakah sedikit celah bagi rakyat untuk bisa menjalani "new normal" tersebut, sebagaiamana yang dikehendaki pemerintah ? Bahkan hingga tanggal 11 Juni  Juni 2020, naik menjadi 35.295 kasus positif,  total angka kesembuhan 12. 636 orang dan total angka kematian 2000 orang. Lansir laman situs. Covid-19.go.id.

Melihat kurva kasus covid-19 yang terus naik, mengindikasikan belum layak jika kebijakan new normal diterapkan. Upaya optimal negara dalam mengatasi wabah, sangat dibutuhkan rakyat, namun sayangnya belum ada indikasi ke arah tersebut. Lihat saja kebijakan yang terjadi,  rakyat diminta dirumah saja namun bantuan tak kunjung datang, PSBB digadang-gadangkan namun moda transportasi dibuka. Rumah ibadah minta dikosongkan, tapi mall tetap ramai. Larangan mudik hanya narasi, faktanya masih ada arus mudik, yang berpotensi menjadi tempat penularan covid-19.

Hegemoni liberalisme kapiltalis global rupanya lebih mendominasi ketimbang kemandirian negara. Tak mau merugi  mengurusi rakyatnya yang bernasib tak beruntung. Aktivitas ekonomi mulai digencarkan, juga berbagai sektor esensial lainnya. Tanpa adanya jaminan keselamatan. Artinya, normalisasi ekonomi lebih penting ketimbang menyelamatkan nyawa rakyat.

Begitulah sistem kapitalis, sudah terbukti rakyat menderita dari berbagai sisi akibat pandemi, alih-alih diselamatkan malah diajak untuk menjalani "new normal", berdamai, dalam tatanan hidup baru berdampingan dengan wabah, yang mengintai nyawa setiap saat.


Solusi Islam 

Pandemi covid-19 telah banyak memberikan Ibrah, pelajaran bagi rakyat. Membuka kedok wajah demokrasi sesungguhnya, yang hanya memprioritaskan kepentingan kelompoknya dan menafikan rakyat. Bahwa, rakyat hanyalah dijadikan korban pada setiap kebijakan negara. Berbeda sekali dengan sistem pemerintahan dalam Islam (Khilafah). 

Islam adalah agama yang mempunyai ajaran komprehensif (lengkap), basis kepengurusan rakyat berlandaskan iman. Semua effort hanyalah untuk menebar rahmat bagi semesta, tersebab pijakan aturan yang diambil berasal dari Sang Maha Pemberi Kehidupan. Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), mengurusi umat adalah poin utama, harta rakyat, kehormatan, akal, dan nyawanya amatlah berharga. Menafikannya merupakan pelanggaran terhadap ajaran Islam. Sebab semuanya merupakan jaminan dari berbagai  penegakan hukum-hukum-Nya.

Dalam situasi apapun negara selalu tampil sebagai junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Penguasa akan mendahulukan kepentingan umat dibandingkan kepentingan diri dan kelompoknya. Keunggulan sistem Islam (Khilafah) sudah terbukti selama kekuasaannya yang berlangsung  13 abad lebih. 

Mensejahterakan juga mencerdaskan hingga melampaui batas-batas negara, menjadi mercusuar peradaban emas dunia.  Benarlah apa yang dikatakan oleh W.E. Hacking, "Sungguh dapat dikatakan bahwa hingga pertengahan abad ke tiga belas ( yakni sepanjang era kekhilafan Islam ), Islamlah pembawa segala apa yang tumbuh yang dapat dibanggakan oleh dunia barat". ( The spirit of World Politics ). Dalam urusan kesehatan rakyat, sebagai agama sekaligus ideologi sempurna, Islam mensejajarkan keimanan dengan kesehatan, pun dalam menjaganya dilakukan dengan segenap tindakan nyata optimal. lihat hadis berikut, "Sesungguhnya setelah nikmat Keimanan, tak ada nikmat yang lebih baik yang diberikan kepada seseorang selain nikmat sehat". (HR. Hakim).

Islam sangat menghargai Kesehatan juga nyawa, bahkan tak ada  satu peradaban yang memandang penting kesehatan sebagaimana Islam. Sebagaimana diakui cendekiawan Barat Will Durant bahwa, "Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak sekaligus memenuhi keperluannya. Contoh adalah al-Bimarustan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160, telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang - orang sakit tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarahwan berkata bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun." (Will Durant - The Story' of Civilization).

Sangat disayangkan jika umat Islam masih menginginkan perhatian dari negara yang sudah terbukti tak punya empati dengan menjadikan rakyat sebagai objek uji coba. Sudah saatnya umat kembali ke pangkuan sistem Islam. Yang mengedepankan mengurusi  kebutuhan rakyatnya sebagai poin utama. Berbasis akidah dan syariat, hingga keberkahan menenebar di seluruh semesta.

Wallahu a'lam.

Posting Komentar

0 Komentar