Nasib Buruh Ditengah Pandemi Covid-19

Oleh : Elis Rahmawati

Tahun 2020, merupakan tahun yang sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Ditahun ini pula, para buruh sedang berada dalam tekanan perekonomian karena banyak perusahaan yang merumahkan para pekerja hingga melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Semua ini akibat dari pandemi Covid-19.  Pandemi Covid-19 memang telah berhasil melemahkan segala sendi kehidupan diseluruh penjuru dunia, termasuk roda perekonomian Dunia. 

Efek pandemi Covid-19 juga sangat dirasakan di Indonesia, menurut Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) Kementrian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Haiyani Rumondang mengatakan, hingga saat ini sudah ada 85.000 perusahaan yang merumahkan dan melakukan PHK pada pegawainya. Angka tersebut terdiri dari 41.000 perusahaan yang melakukan PHK dan 44.000 perusahaan yang merumahkan pegawainya. ( Okezone.com, kamis 14 Mei 2020)

Jumlah ini baru diambil sampai pada bulan Mei dan buruh yang akan terkena PHK bisa jadi akan terus bertambah jika pandemi Covid-19 ini berlarut-larut. Karena hingga saat ini pandemi Covid-19 belum dapat diprediksi akan berakhir sampai kapan. 

Ditengah nasib para buruh saat ini, tentu akan berdampak pula pada roda perekonomian kehidupan keluarga mereka, sementara kebutuhan hidup mereka tetap harus terpenuhi. Jika sudah demikian, maka harapan terakhir para buruh adalah kepada penguasa. Mereka berharap penguasa dapat memberikan solusi yang tepat atas jaminan kesejahteraan hidup mereka kedepannya, karena posisi mereka saat ini telah di PHK atau bisa dibilang pengangguran. 

Serta sampai saat ini, nasib para buruh yang dirumahkan pun masih belum mendapatkan kejelasan kapan mereka akan kembali untuk bekerja. Seperti yang dilansir dalam berita media sosial sumedang.online pertanggal 8 Juni 2020, Di hadapan perwakilan serikat buruh Kabupaten Sumedang. Bupati Sumedang, H Dony Ahmad Munir menghimbau para pekerja/buruh agar menunggu keluarnya kebijakan dari Kementrian Ketenagakerjaan RI mengenai dipekerjakannya kembali buruh yang dirumahkan.

Beliau pun menjelaskan, “ Untuk menangani dampak ekonomi akibat Covid-19, pemerintah memberikan bantuan tunai bagi warga yang terdampak dan terdata. Saat ini proses penyaluran bansos terus berjalan yang berasal dari Pemerintah Pusat, Pemprov, Pemkab dan Pemerintahan Desa.’ Namun fakta yang terjadi dilapangan, sangat memungkinkan untuk penyaluran bantuan yang tidak tepat sasaran atau bisa saja tidak sampai kepada sararan.

Dalam sistem kapitalis, Negara tidak berperan sebagai pengurus dan bertanggungjawab atas kebutuhan para rakyatnya. Karena nyatanya dalam situasi pandemi dan nasib buruh saat ini dimana perekonomian sedang melemahnya, pelayanan Negara pun sangat disayangkan yang seharusnya disediakan semurah mungkin dan semudah mungkin malah menjadi mahal dan sulit pula (contohnya : Listrik dan kesehatan).

Berbeda ketika sistem Islam yang dijadikan pedoman dalam mengatur segala sendi kehidupan. Nasib rakyat yang terdampak pandemi ini akan di tanggung oleh Negara  secara langsung dengan memenuhi kebutuhan pokoknya. Dana yang digunakan untuk memjamin rakyatnya berasal dari kas Negara  (Baitul maal) dari pos Departemen Mashalih Umat. Sebab memang Negara (baitul maal) berfungsi menjadi penyantun orang-orang lemah dan membutuhkan, sedangkan pemerintah  adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya,

Seandainya ketika awal pandemi ini muncul, pemerintah Indonesia dengan sigap untuk menerapkan lockdown (karantina) di suatu kota yang memang zona merah Covid-19. Mungkin wabah ini tidak akan menyebar luas ke daerah-daerah sekitar. Sehingga dampak pada sekor perindustrian pun tidak akan separah saat ini. Selain itu penanganan wabah pandemi dengan cepat lewat jaminan kesehatan akan membuat wabah pandemi ini tidak berlarut-larut. Serta membantu roda perekonomian nasional akan lebih cepat untuk pulih kembali. Sehingga para buruh tidak akan terkena dampak yang berlarut-larut.

Wallahu a’lam bisshowab.

Posting Komentar

0 Komentar