NERACA MIRING KEADILAN SISTEM DEMOKRATIS

Oleh : Nurul Irma N, S.Pd

Suara sumbang pembacaan surat tuntutan jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jalan Mada, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (11/6/2020) menyebut kedua terdakwa tidak sengaja menyiramkan air keras ke bagian wajah Novel. Menurutnya, kedua terdakwa hanya ingin menyiram cairan keras ke badan Novel. (news.detik.com). Landasan inilah menjadi dasar tuntutan hukuman dijatuhkan 1 tahun penjara.

Sontak publik terheran atas tuntutan ini. Komika emon tergerak menstand up komedikan rasa heran diakunnya. Kejanggalan tiada henti mewarnai institusi peradilan negeri ini. Terlebih, kasus hukum berefek besar menyentuh rezim yang berkuasa. Nyatalah, hukum ini tajam ke bawah menyentuh rakyat dan siapapun bersebrangan dengan penguasa, tumpul keatas menyentuh pejabat serta berpihak penguasa.


Ilusi Kesamaan Keadilan Demokratis

Demokrasi hakikinya menyerahkan sepenuhnya kepada manusia membuat aturan. Dipastikan, hasil buatan manusia menuai serba keterbatasan. Berharap rasa keadilan didalamnya bagai punguk merindukan bulan. Aneka intrik dan gimmick terus mewarnai. 

Adakah logika terungkap, kasus sama tuntutan hukuman berbeda. Penyiraman air keras Rita Sonata terhadap suaminya pada Oktober 2018, dituntut jaksa hukuman 10 tahun. Ketok palu vonis hakim lebih berat 12 tahun. Begitu cepat dilayangkan putusan tanpa menunggu bertahun-tahun. Jauh berbeda, kasus Novel seorang penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kurang lebih tiga tahun dua bulan diselidiki menghasilkan tuntutan yang janggal. Sungguh layak dipertanyakan keakuratannya.

Inilah wajah peradilan demokrasi, hasil karya tangan manusia. Lembaga peradilan yang tersusun bertingkat dari pengadilan negeri, tinggi hingga mahkamah agung. Berpeluang semakin kaburnya kasus yang tertanggani. Makin tinggi tingkatan pengadilan yang dijalani membesarlah biaya yang dibutuhkan. Berefek muncul mafia hukum. Begitu pun elemen didalamnya, jaksa bisa disogok segepok rupiah untuk menuntut seringan atau seberat mungkin sesuai kepentingan. Pengacara membela yang mampu membayar mahal, sekalipun kliennya salah. Hakim pun tak luput dari sasaran, bisa memicingkan mata dalam mengetok palu vonis. Ditambah pasal-pasal peradilan yang memberikan sanksi lentur laksana karet, memberikan peluang negosiasi mengikuti tarik ulur antara jaksa, pengacara dan hakim. Tak kan pernah muncul rasa keadilan untuk seluruh manusia, selama yang digunakan sistem peradilan sekuleris, demokratis dan kapitalis. Yang ada ilusi belaka.


Keadilan Peradilan Islam

Kisah klasik nuansa peradilan antara khalifah Ali bin Abi Thalib ra dengan seorang yahudi, baju perang menjadi sengketa kepemilikan. Seorang penguasa, pemimpin kaum muslimin dikalahkan oleh yahudi rakyat jelata. Khalifah Ali bin Abi Thalib tak mampu menghadirkan saksi diluar kerabatnya dalam mengenali baju besinya sehingga kepemilikan jatuh ditangan yahudi, meskipun sejatinya milik Khalifah Ali. Inilah gambaran peradilan Islam yang tak memihak siapapun serta tidak melihat status. Jargon ‘sama’ dalam hukum bukan isapan jempol. 

Sanksi yang diterapkan bukan mengacu pada kehendak hakim, syariah Islamlah landasannya. Sang pencipta menentukan hukuman sepadan. Pembunuhan sengaja sanksinya bunuh, tidak sengaja membayar diyat 100 ekor unta. Menghilangkan salah satu anggota badan yang sepasang diyatnya 50 ekor unta. Bahkan menghilangkan satu jaripun diyatnya 10 ekor unta. Tak bisa dibayangkan berapa banyak uang penebusnya, jika harga satu ekor unta 50 juta rupiah. Sanksi ini tidak bisa dinegosiasikan. Karena bersifat paten dan tetap. Ketetapannya ada didalam hadits Rasulullah SAW. 

Dua fungsi melekat dalam sistem sanksinya. Zawajir, mencegah berbuat kriminal dan dosa. Jawabir, penebus dosa didunia dan akhirat kelak. Dengan fungsi ini, jumlah sangat minim akan dicapai pada kasus kriminal. Layaklah seorang wanita pelaku zina tanpa berpikir panjang meminta berulang-ulang kepada Rasulullah menjatuhkan hukum cambuk. Karena siksa akhirat abadi sedangkan bekas luka didunia tersembuhkan dalam beberapa kurun waktu. 

Ketika akal dan kejernihan fikiran tersemai dalam benak. Seharusnya, tak ada rasa takut menerapkan sistem peradilan Islam. Sonsong cahaya kembalinya Islam dengan penuh realistis tanpa intrik mengiris. Wallahu bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar