New Normal, Wujud Menyerah pada Keadaan?

Oleh : Ruruh Hapsari, ST (Pemerhati Sosial)

Pasca PSBB dilaksanakan, pemerintah sedang bersiap dengan aturan baru, new normal. Isu ini digaungkan dan akan dilaksanakan mulai awal Juni. Sesuai dengan arahan WHO yang memberi pedoman transisi menuju new normal di tengah pandemi virus corona. Pedoman transisi tersebut yakni, negara harus membuktikan bahwa transmisi Covid-19 telah dikendalikan. Seperti dilansir CNN Indonesia.com, Direktur Regional WHO untuk Eropa Henri P. Kluge menegaskan, jika negara tidak bisa memastikan pedoman transisi tersebut terpenuhi, maka harus berpikir kembali sebelum memutuskan melonggarkan pembatasan dan memasuki era new normal.

Seiring dengan itu negara-negara di seluruh dunia mulai menerapkan new normal dengan melonggarkan pembatasan dan membuka kembali sektor ekonomi. Seperti di Amerika Serikat, Italia, juga Tokyo. Namun berbeda dengan Korea Selatan setelah sehari mencabut lockdown justru kasus covid meningkat. Sedang di Indonesia, belum juga aturan new normal diberlakukan, masyarakat sudah protes dengan membuat tagar Indonesia abnormal yang menjadi trending di jagad twitter. Penolakan juga hadir dari Ketua MPR, Bambang Soesatyo. Ia khawatir bila aturan new normal diberlakukan justru akan terjadi pelonjakan pasien jika tidak dipersiapkan dengan matang. 

Jakarta sendiri sudah memasuki penghujung PSBB tahap ketiga pada 4 Juni. Namun untuk beralih kepada kondisi new normal beberapa ahli tidak memberikan lampu hijau. Salah satunya adalah Dr Panji Hadisoemarto Dosen Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran yang menyatakan bahwa DKI Jakarta masih belum siap untuk melakukan kondisi new normal dengan membuka ruang publik dalam waktu dekat ini. Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTN FHUI) Mustafa Fakhri juga mengatakan hal yang sama. Ia menilai pemerintah terlalu memaksakan penerapan tatanan kenormalan baru. Juga tidak memiliki kebijakan yang jelas dalam penanganan dan pengendalian Covid-19.


Mengedepankan Ekonomi dari pada Kesehatan?

Tidak dipungkiri selain masalah kesehatan, wabah korona ini juga sangat menghentak sektor ekonomi. Dilansir dalam detik finance.com, Jokowi mengatakan bahwa kondisi new normal diharapkan akan menggerakkan kegiatan perekonomian yang laju pertumbuhannya sempat terpuruk. Kerena itulah maka Ketua kamar dagang dan industri, Rosan Roslani dalam wawancara dengan Koran Tempo mengatakan “New normal sebaiknya diterapkan pada Juni. Tanpa pelonggaran aktivitas, banyak usaha yang tidak bertahan lebih lama. Karena hal itu berimbas pada pekerja yang dirumahkan atau terkena PHK. Dengan adanya pelonggaran, pekerja yang saat ini dirumahkan, maka secara bertahap akan kembali bekerja”. 

Sejurus dengan itu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerangkan bahwa skenario pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan sangat tergantung dari perkembangan dampak COVID-19. Jika perkembangannya semakin buruk, ekonomi Indonesia bisa resesi. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan memperkirakan angka kerugian akibat pandemic Covid di Indonesia mencapai Rp 320 triliun. Hal itu dikarenakan ekonomi nasional merosot sekitar 2,03%. Bukan hanya Indonesia, dunia juga mengalami keterpurukan yang sama. Kepala Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva mengatakan pandemi virus corona (Covid-19) yang makin meluas membuat dunia kini tengah berada dalam resesi. 

Narasi new normal dianggap sebagai hal yang brutal, karena sejatinya para kapital tidak dapat menyelesaikan problem ekonomi dunia dengan baik. New normal merupakan istilah dalam bisnis dan ekonomi yang merujuk pada kondisi keuangan usai krisis keuangan 2007-2008 juga resesi global 2008-2012. Sejak saat itu istilah ini dipakai pada berbagai konteks lain untuk mengimplikasikan bahwa suatu hal yang sebelumnya dianggap tidak normal kini menjadi umum dilakukan. Yang intinya masyarakat dibiarkan untuk beraktifitas seperti biasa namun dengan protokol kesehatan. 


Butuh Sistem Baru ?

Pakar biomedik dan pengamat kebijakan publik, Dr. Rini Syafri dalam muslimah news.com menyatakan narasi new normal merupakan upaya Barat mendustai dunia atas karakter buruk peradaban mereka. Sementara, karakter buruk peradaban kapitalisme tercermin dari kegagalannya mengatasi pandemi Covid-19. Artinya, new normal bukanlah sekadar kehidupan dengan sejumlah protokol kesehatan, melainkan kehidupan dunia dalam peradaban kapitalisme yang berkarakter merusak di tengah pandemi Covid-19 yang dibiarkan mengganas akibat tekanan resesi terburuk sepanjang sejarah. 

Hasilnya, penderitaan dunia akan semakin dalam. Sistem kapitalisme global memang sudah menunjukkan tanda-tanda nyata akan ambruk. Berbagai upaya untuk mengatasi kolapsnya sistem ini merupakan upaya tambal sulam. Lalu apakah new normal akan mengeluarkan kita dari semua kesulitan ini? Korea Selatan sudah terbukti gagal menerapkannya. Indonesia harus segera meninjau ulang kebijakan ini. Kita tidak ingin, nantinya krisis ekonomi, sosial dan politik semakin melebar ke dimensi yang lain.  

Berbeda dengan barat, peradaban Islam dengan karakternya yang mulia mewujudkan kesejahteraan seluruh alam, benar-benar telah teruji selama puluhan abad dan di dua per tiga dunia. Ini semua telah diukir oleh tinta emas peradaban sejarah. Begitupula dalam penanganan
wabah. Dalam kitabnya Al Bidayah wa An Nihayah, Ibnu Katsir menuliskan apa yang dilakukan Khalifah Al Muqtadi Billah saat wabah penyakit menyerang wilayah Daulah Abbasiyah tahun 478 H atau 1085 M. Setelah upaya pengobatan diintensifkan oleh tabib-tabib istana, evakuasi dan penanganan korban dilakukan, Khalifah menyerukan pada rakyatnya untuk menegakkan amar ma'ruf, menghancurkan tempat-tempat maksiat dan mengeluarkan para ahli maksiat dari negeri Muslim, membuang khamr, dan memerangi segala kemungkaran. Saat itulah pertolongan Allah datang. Wabah penyakit dan berbagai musibah bisa dikendalikan.

Lebih dari pada itu, keberadaan peradaban Islam yang berdasarkan akidah Islam menjadikannya sebagai satu-satunya peradaban yang sesuai fitrah manusia. Di samping karena gambarannya tentang kehidupan sebagai aktivitas yang berjalan sesuai dengan perintah dan larangan Allah juga arti kebahagiaan berupa rida Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hari ini, dengan karakternya yang begitu sempurna, peradaban Islam adalah satu-satunya harapan dunia. Pembebas dari pandemi Covid-19 yang berlarut-larut. Juga pembebas dunia dari agenda hegemoni. Pada gilirannya, peradaban Islam (Khilafah) akan membawa dunia pada puncak kesejahteraan untuk kedua kalinya dengan izin Allah SWT.
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan din yang benar agar dimenangkan-Nya atas semua din. Dan cukuplah Allah sebagai saksi…” (TQS Al Fath[48]: 28).
Allahu A’lam.

Posting Komentar

0 Komentar