Persekusi Dimasa Pandemi Tak Berhenti?


Oleh: Iim Muslimah S. Pd ( Ibu Rumah Tangga, aktivis dakwah)

Dalam situasi pandemi Corona yang semakin menjadi, ternyata tindakan kriminalisasi dan persekusi tidak pernah berhenti. Bulan-bulan lalu rezim berhasil  mengkriminalisasi ulama dan aktivis Islam. Seperti yang dikutip dari Republika.co.id. Habib Bahar bin Smith kembali ditangkap polisi pada Selasa (19/5) sekitar pukul 02.00 WIB. Pengacara Habib Bahar bin Smith, Aziz Yanuar, menyebut penangkapan kliennya karena mengkritisi pemerintah. Alasannya karena beliau di ceramahnya malam Ahad (17/5) mengkritisi penguasa," kata Aziz saat dihubungi, Selasa (19/5).

Aziz menyatakan dugaan pelanggaran terhadap berkerumunan dan tak menghiraukan jaga jarak hanya mengada-ada. Menurut dia, banyak kegiatan yang juga mengakibatkan kerumunan di tengah pandemi Covid-19. Itu mengada-ada sebenarnya. Kemarin konser ramai aman tuh. McD Sarinah cuma denda Rp 10 juta, gimana?" kata dia. Dan kasus yang terbaru adalah penangkapan  Rustam Butan seorang mantan TNI-AD, yang dijemput petugas pada 28 Mei 2020 karena menulis surat terbuka kepada Pak Jokowi yang memintanya mengundurkan diri dari jabatannya. 


Kali inipun  persekusi datang dari kalangan akademisi. 

Penggagalan yang berlanjut tindakan teror atas rencana diskusi yang seharusnya digelar pada 29 Mei 2020 oleh Constitutional Law Society  Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dinilai merupakan bentuk Persekusi atas kebebasan akademik dan kebebasan berpendapat, yang dijamin oleh konstitusi. 

Aditya Halimawan menjelaskan kepada masyarakat mengenai kronologi pembatalan kegiatan diskusi yang semula berjudul “Persoalan Pemecatan Presiden di tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan”. Menurutnya, diskusi tersebut didasarkan pada dinamika yang terjadi di masyarakat mengenai munculnya wacana pemberhentian Presiden karena dianggap gagal menangani Covid-19. "CLS FH UGM berinisiatif untuk mengadakan kegiatan diskusi ini untuk membahas dari perspektif hukum tata negara mengenai mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden, serta berusaha untuk meluruskan persepsi publik mengenai pemberhentian presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia," tulis Aditya dalam rilis yang diterima Harianjogja.com, Sabtu (30/5/2020).

Aditya mengatakan hal-hal tersebut tertulis secara konstitusional dalam Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945. "Maka dari itu, kami menghadirkan akademisi yang ahli di bidangnya dengan harapan dapat memberikan gambaran dan pemahaman kepada masyarakat luas, serta meluruskan persepsi publik mengenai pemberhentian Presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia," tambahnya.



Persekusi tak pernah berhenti

Deretan persekusi terhadap pengkritik pemerintah bukti pandemi tak menjadi penghalang kriminalisasi dan persekusi. Ini pun menjadi deretan bukti demokrasi adalah kebebasan berpendapat hanyalah berlaku buat meraka yang pro terhadap pemerintah, dan bagi yg kontra adalah sebuah ancaman. 

Dikutip dari akurat.com. Indeks HAM yang dirilis Setara Institute (2019) menunjukkan bahwa skor untuk kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat selama pemerintahan Jokowi (2014-2019) hanya 1,9 dengan skala 1-7. Sementara rata-rata skor untuk 11 variabel HAM yang dievaluasi adalah 3,2. 

Rendahnya skor untuk kebebasan berekspresi dan berpendapat ini didukung oleh data pelanggaran yang serius seperti 204 peristiwa kriminalisasi individu, pemblokiran 32 media online, 961.456 pemblokiran situs internet dan akun media sosial, 7 pembubaran diskusi, pelarangan buku, dan penggunaan delik makar yang tidak akuntabel untuk menjerat sekurang-kurangnya 7 warga negara.

Pemerintah, kata Selma, sebagaimana dikemukakan Menkopolhukam Mahfud MD, tidak berada di balik teror tersebut (KompasTV, 30/5), akan tetapi membiarkan Persekusi dan pelanggaran HAM terjadi atas warga negara adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Dikatakan, jika tidak mengambil langkah solutif dan pelembagaan penghapusan praktik pelanggaran kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat, pemerintah bisa dianggap menikmati seluruh tindakan Persekusi dan sikap koersif warga atas dalam berbagai peristiwa. Benefit politik atas praktik pembungkaman resistensi terhadap pemerintah adalah pemerintah

Padahal seharusnya ditengah wabah yang banyak memakan korban, pemerintah  tidak  sibuk menangkap  aktivis, ulama, akademisi atau siapaun yang mengkritisi. Seharusnya pemerintah fokus kepada kebijakan yang ruwet semerawut,  bagimna tidak menerapkan kebijakan PSBB, transportasi boleh beroperasi Tetapi TKA China boleh berdatangan, Mengadakan konser yang mengundang banyak orang. Dengan alasan bersatu melawan Corona dengan menggalang dana. Ruwet amat kemana duit negara yang kaya raya akan sumberdaya Alam?. 

Ditambah dengan kebijakan pemerintah soal mudik dan pulang kampung yang membingungkan.  Pulang kampung diperbolehkan asal berkebutuhan khusus, tetapi mudik dilarang. Lalu bagaimana jika mudik itu karena kebutuhan khusus? Pejabat negara boleh bepergian, dengan membawa surat jalan. Bagaimana bisa mengecek surat tersebut tidak disalahgunakan?

Rezim dalam sistem kapitalis sepertinya tidak akan pernah sadar dengan ujian wabah seperti apapun buktinya. Dengan Corona yang telah memakan banyak korban saja mereka masih bisa berjoget ria, mengkeriminalisasi ulama, mencekik rakyat dengan menaikan tarif listrik,  dan menaikan tarif BPJS. 


Penguasa dalam sistem Islam menghadapi wabah.

Pemimpin kuat, senantiasa melakukan introspeksi dan tidak ragu untuk mengakui kesalahan. Dikutip dari Muslimasnew.com.  Di balik musibah boleh jadi ada peringatan yang hendak disampai Allah SWT kepada hamba-Nya agar mereka menyadari kesalahan yang sudah dilakukan dan bersegera untuk kembali kepada jalan kebenaran. Banyak nash yang menyatakan hal demikian, di antaranya adalah firman Allah dalam Alquran Surah ar-Ruum[30] ayat 41 yang artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Ibnu Abu Hatim dalam tafsir Ibnu Katsir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid ibnul Muqri, dari Sufyan, dari Hamid ibnu Qais Al-A’raj, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut. (Ar-Rum: 41)

Bahwa yang dimaksud dengan rusaknya daratan ialah terbunuhnya banyak manusia, dan yang dimaksud dengan rusaknya lautan ialah banyaknya perahu (kapal laut) yang dirampok.

Sementara itu terkait perbuatan manusia yang telah mengakibatkan kerusakan menurut Abul Aliyah adalah berbuat durhaka kepada Allah di bumi, karena terpeliharanya kelestarian bumi dan langit adalah dengan ketaatan. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud yang bunyinya:
“لَحَدٌّ يُقَامُ فِي الْأَرْضِ أَحَبُّ إِلَى أَهْلِهَا مِنْ أَنْ يُمْطَرُوا أَرْبَعِينَ صَبَاحًا“
“Sesungguhnya suatu hukuman had yang ditegakkan di bumi lebih disukai oleh para penghuninya daripada mereka mendapat hujan selama empat puluh hari.”

Firman Allah dalam surah Ar Ruum ayat 41 ini memberikan arahan kepada kita untuk melakukan introspeksi manakala ditimpa musibah karena mungkin saja ada sinyal peringatan dari Allah terhadap pelanggaran yang telah dilakukan.

Kesadaran itulah yang telah ditunjukkan Khalifah Umar ketika menghadapi wabah, seperti seruan beliau kepada rakyatnya:
“Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah dalam diri kalian, dan dalam urusan kalian yang tidak terlihat oleh manusia. Karena sesungguhnya aku diuji dengan kalian dan kalian diuji denganku. Aku tidak tahu apakah kemurkaan itu ditujukan kepada diriku dan bukan kepada kalian atau kemurkaan itu ditujukan kepada kalian dan bukan kepada diriku atau kemurkaan itu berlaku umum kepadaku dan juga kepada kalian. Karenanya, marilah marilah kita senantiasa berdoa kepada Allah agar Dia memperbaiki hati-hati kita, merahmati kita, dan mengangkat bencana ini dari kita.”

Pemimpin yang baik bukanlah pribadi yang sombong dan tidak peduli terhadap kesalahan yang telah dilakukannya. Dia adalah orang yang memahami bahwa sekecil apa pun pelanggaran terhadap hukum Allah akan berkonsekuensi pada teguran di dunia dan balasan azab di akhirat. Karenanya, dengan lapang dada dan terbuka dia akan bersegera melakukan muhasabah diri, bermohon ampunan-Nya, dan berupaya memperbaiki kesalahan dan kelalaian.

Bukan sebaliknya, seperti perilaku yang dipertontonkan para pemimpin sekarang. Mereka seolah-olah antikritik dan alergi terhadap nasihat yang disampaikan. Alih-alih berterima kasih telah diingatkan, yang terjadi justru mempersekusi siapa pun yang berani mengungkap kesalahan dan kezaliman mereka.

Karenanya, di tengah serangan wabah Covid-19 muhasabah inilah yang penting dilakukan saat ini. Musibah diturunkan Allah di tengah-tengah banyaknya kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia. Baik pelanggaran individu maupun pelanggaran secara sistemis yang dilakukan negara dengan tidak diterapkannya syariat Islam secara kafah. Selayaknya manusia bersegera bertobat, cepat meninggalkan kemaksiatan, dan tidak menunda ketaatan pada aturan Allah SWT.

Posting Komentar

0 Komentar