Polemik Kenaikan Listrik VS Desa Tanpa Listrik

Oleh : Ismawati (Aktivis Muslimah Banyuasin)

Setelah beberapa bulan terakhir Indonesia mengalami pandemic virus corona yang sudah membuat puluhan ribu orang terpapar virus ini. Karena sangat mudah menular virus ini, maka penerapan larangan berkumpul atau keluar rumah diambil sebagai langkah antisipasi penyebarannya yang semakin massif.

Maka, anak-anak dan orang tua kini banyak menghabiskan waktunya dirumah. Roda perekonomian saat pandemi dipaksa untuk terus berputar meski banyak para pekerja dirumahkan dan masyarakat yang terdampak corona akan mengalami beban hidup semakin berat. Tak ubahnya seperti listrik yang menjadi kebutuhan pokok utama masyarakat. Pemerintah lalu mencanangkan program listrik gratis atau subsidi meski tidak secara keseluruhan, hanya diperuntukkan bagi pengguna daya 450 VA bersubsidi dan diskon listrik 50% bagi pelanggan 900 VA untuk periode April, Mei dan Juni 2020.

Namun, masyarakat lain yang tidak mendapatkan subsidi mengeluhkan adanya pembengkakakn tagihan listrik. Ini justru menimbulkan asumsi masyarakat akan adanya cross subsidi (subsidi silang) bagi pelanggan 450 VA maupun 900 VA. Hanya saja dikutip dari laman detikcom akhirnya Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN (Persero), Bob Saril angkat suara. Beliau memastikan seluruh anggapan itu tidak benar. PLN tidak pernah menaikkan tariff listrik karena bukan kewenangan BUMN.

Lalu apa penyebab tagihan yang membengkak? Pak Bob menegaskan, kenaikan tagihan listrik pelanggan terjadi karena adanya kenaikan pemakaian dari pelanggan itu sendiri. Masyarakat yang tagihannya mengalami kenaikan bukan karena manipulasi melainkan karena saat pandemic Covid-19 masyarakat diharuskan melakukan kegiatan diumah baik untk kegiatan bekerja hingga sekolah. Dimana tidak hanya orang tua tapi anak dan anggota keluarga lain yang dirumah dan dapat menambah beban penggunaan listrik. 


Polemik Kenaikan Listrik

Sejak awal keberadaan virus corona pemerintah menganggap virus itu hal yang “remeh” dan mudah teratasi. Bahkan, menganalogikan corona dengan berbagai macam candaan. Keseriusan pemerintah mengatasi persoalan negeri semakin terungkap tabirnya. Penerapan kebijakan dirumah aja selama pandemi tidaklah didukung sarana dan prasarananya.

Selama kegiatan belajar mengajar bahkan bekerja dari rumah saat massa karantina misalnya yang merupakan kebijakan dari pemerintah, kebutuhan listrik amat penting dibutuhkan masyarakat. Wajar saja tagihan listrik semakin membengkak. Yang tak wajar adalah pembengkakan tagihan terjadi ditengah kondisi masyarakat yang sedang sulit seperti sekarang ini. Masyarakat begitu membutuhkan keseriusan pemerintah dalam mengatasi wabah hingga melayani pemenuhan kebutuhan dasar publik secara menyeluruh, termasuk listrik. Apalagi ditengah pandemi seperti sekarang, masyarakat sangat membutuhkannya untuk mendukung segala aktivitas yang dikerjakan dirumah.


Desa Tanpa Listrik

Liberalisasi kebijakan listrik dalam sistem ini muncul karena kebijakan yang sistem ekonomi kapitalisme yang menjadi asas pengelolaan negara. Pengendali sumber industri di Indonesia diserahkan kepada asing. Padahal Indonesia adalah negeri yang kaya, yang begitu subur dan makmur alamnya dan melimpah perut buminya.

Mirisnya, ada sekitar 433 desa di Indonesia saat ini yang belum mendapatkan listrik. Sebanyak 325 desa di Papua, 102 desa di Papua Barat , 5 desa di Nusa Tenggara Timur dan satu desa di Maluku. Menteri ESDM, Arifin Tasrif mengungkap elektrifikasi 433 desa tersebut hingga saat ini karena terkendala infrastruktur dan energy. (katadata.com, 3 April 2020). 

Negeri ini memang kaya namun manis kekayaannya tak dapat dirasakan oleh semua penduduk di negerinya. Tak bisa dibayangkan tinggal di desa terpencil yang tidak tersentuh perhatian pemerintah seperti ini. Jauh dari cahaya di negeri yang kaya karena kekayaannya telah banyak diserahkan kepada pihak swasta.


Naungan Islam adalah Cahaya

Di dalam islam, haram hukumnya mengambil alih negara untuk pihak swasta dalam rangka memperkaya diri. Karena Rasulullah SAW bersabda : “Manusia berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: padang gembalaan, air dan api.” (HR. Ibnu Majah). Artinya sektor kepemilikan umum akan dikelola oleh negara yang hasilnya secara untuk untuk kemaslahatan umat. 

Listrik harus dikelola oleh negara sebagai bentuk fasilitas pelayanan publik kepada rakyat yang dananya diperoleh dari kekayaan alam Indonesia yang sangat kaya raya. Termasuk membangun infrastruktur memadai agar wilayah tak ada cahaya dapat dialiri listrik. Ini dilakukan agar masyarakat memiliki hak yang sama sebagai warga negara dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Maka, untuk mengambil alih Sumber Daya Alam negeri ini agar dikelola sebagaimana mestinya untuk kemaslahatan rakyat adalah dengan menerapkan sistem pemerintahan islam yang shohih yakni Khilafah Islamiyyah. Sistem ekonominya sesuai syariat, maka Khalifah (Pemimpin) akan berorientasi memenuhi kebutuhan hidup masyarakat secara total dan menyeluruh. Tidak membebani biaya listrik yang mahal dan kian melonjak, dan memberikan cahaya kepada desa-desa tanpa cahaya itu. 

Wallahu a’lam bishowab.

Posting Komentar

1 Komentar