Tak Sekedar UKT Turun, Tapi Pendidikan Harus Gratis dan Berkualitas

Oleh : Siti Muslikhah (Aktivis Dakwah Musi Banyuasin)

Jagad media sosial dihebohkan dengan kemunculan tagar #NadiemManaMahasiswaMerana pada Selasa, 2 Juni 2020 hingga Rabu, 3 Juni 2020. Aksi ini digagas oleh Aliansi BEM seluruh Indonesia lantaran surat terbuka berisi ajakan audiensi oleh BEM yang ditujukan ke Mendikbud Nadiem Makarim yang dikirim sejak Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2020 lalu belum mendapat tanggapan.

Melalui tagar yang menghebohkan jagad media sosial itu, para mahasiswa menumpahkan keluh kesah mereka yang terpaksa harus menjalani kuliah daring selama pandemi Covid-19. Namun pembayaran UKT yang dibayarkan tiap semester tetap harus dijalankan tanpa adanya penurunan nominal sedikitpun. Para mahasiswa mendesak agar Mendikbud Nadiem Makarim mengeluarkan kebijakan untuk meringankan beban pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) selama pandemi Covid-19 (suara.com 03/6/2020).

Menanggapi maraknya tuntutan mahasiswa terkait Uang Kuliah Tunggal (UKT) di media sosial tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan kebijakan untuk meringankan beban orang tua yang anaknya tengah berada di tingkat perguruan tinggi selama masa pandemi covid-19.  Dalam unggahan IGTV akun Instagram kemendikbud, Kamis (4/6/2020) Plt. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdikbud, Prof. Ir. Nizam,  mengatakan bahwa selama masa pandemi tidak ada kenaikan UKT. Diseluruh PTN akan diberlakukan UKT sesuai dengan kemampuan orang tua membayar bagi anaknya. Beliau juga menjelaskan jika Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri telah menyepakati untuk menerapkan empat skema pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT). 

Pertama, penundaan pembayaran. Pembayaran UKT bisa ditunda apabila orang tua dari mahasiswa memang terdampak Covid-19 secara ekonomi.  Misalnya saat ini kehilangan pekerjaan, maka UKT bisa dibayar ketika nanti perekonomiannya kembali pulih.

Kedua, pencicilan pembayaran.  UKT yang biasanya pada keadaan normal dibayarkan dalam sekali waktu, pada kondisi ini bisa dicicil beberapa kali agar tidak terlalu berat.  Misal, 25 persen dulu, 50 persen, kemudian 25 persen.

Ketiga, menurunkan level UKT. UKT terdiri dari level 0-5, masing-masing memiliki besaran kewajiban yang berbeda-beda. Semakin tinggi level UKT, maka beban biaya kuliah yang harus dibayarkan semakin tinggi pula. Pada kondisi ini, mahasiswa bisa mengajukan penurunan level UKT, sesuai kemampuan orang tua.

Keempat, pengajuan beasiswa. Mahasiswa yang orang tuanya mengalami permasalahan ekonomi serius selama pandemi ini bisa mengajukan beasiswa (Kompas.com 5/6/2020).

Akan tetapi kebijakan itu tidak serta merta diterima oleh mahasiswa. Mahasiswa melakukan aksi protes  diberbagai daerah, menuntut agar UKT itu diturunkan, diberikan subsidi, hingga digratiskan. 

Seperti yang dilakukan oleh puluhan mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) pada hari Kamis, 18 Juni 2020. Mereka melakukan aksi menuntut penurunan uang kuliah tunggal (UKT) ditengah pandemi corona (foto.okezone.com 18/6/2020).

Tindakan yang sama juga dilakukan oleh mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa UIN Banten pada Senin, 22 Juni 2020. Mereka menuntut penggratisan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di depan Gedung Rektorat UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten (BantenNews.co.id 22/6/2020).

Pada hari yang sama di Jakarta, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam aliansi Gerakan Mahasiswa Jakarta Bersatu juga melakukan aksi unjuk rasa di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).  Salah satu tuntutannya adalah soal pembiayaan kuliah dimasa pandemi. Mereka meminta adanya subsidi biaya perkuliahan sebanyak 50 persen (detiknews. 22/6/2020).

Hal ini menunjukkan bahwa besaran biaya pendidikan yang selama ini ditetapkan sangat membebani orang tua yang anaknya tengah berada ditingkat perguruan tinggi, terlebih dimasa pandemi ini. Kuliah dengan sistem daring yang ditetapkan saat ini juga membutuhkan sejumlah fasilitas yang harus dipenuhi sendiri oleh mahasiswa. Mulai dari menyediakan Handpone Android, laptop, pulsa data, bahkan berjuang untuk mendapatkan sinyal internet. Mereka juga tidak menggunakan fasilitas (laboratorium, alat-alat praktikum buku-buku pelajaran) yang disediakan oleh kampus tempat mereka menimba ilmu, pun dari pemerintah. Maka wajar jika mereka kemudian protes, karena merasa keberatan.

Sebagai jawaban atas aspirasi masyarakat yang mengalami berbagai macam kesulitan di perguruan tinggi untuk membayar UKT, maka Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menganggarkan Rp. 1 triliun untuk program Dana Bantuan Uang Kuliah Tunggal (UKT) (KOMPAS.com 21/6/2020). 

Namun program Dana Bantuan Uang Kuliah Tunggal ini tidak bisa dirasakan oleh semua mahasiswa. Sebab untuk mendapatkan bantuan Dana UKT, ada sejumlah kriteria yang disyaratkan. Diantaranya Calon penerima harus dipastikan orang tuanya mengalami kendala finansial sehingga tak mampu membayar UKT. Penerima Dana Bantuan UKT juga bukan mahasiswa tidak sedang dibiayai oleh program KIP Kuliah atau beasiswa lainnya. Dana Bantuan UKT hanya diperuntukkan bagi mahasiswa PTS dan PTN yang sedang menjalankan semester 3, 5 dan 7 pada tahun 2020, padahal yang terdampak covid-19 seluruh kalangan orang tua mahasiswa.

Padahal dalam pasal 31 ayat 1 dan 2 UUD 1945 dijelaskan dengan jelas, bahwa  setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pedidikan dan pemerintah wajib membiayainya. Maka sebenarnya tuntutan penurunan UKT saja tidaklah cukup, mahasiswa dan masyarakat harusnya menuntut pendidikan gratis dan berkualitas.

Sebelum terjadinya pandemi wabah Covid-19, pendidikan memang sudah dijadikan barang komoditas yang diperjual belikan. Bahkan pasca era Badan Hukum Pendidikan (BHP), pendidikan tinggi resmi dikomersialisasi. Pendidikan makin tak terjangkau rakyat miskin. Jika pun ada subsidi, jumlahnya tidak signifikan jika dibandingkan besarnya jumlah pelajar dan mahasiswa. 

Mahalnya biaya pendidikan merupakan akumulasi dari berbagai kebijakan negara yang rusak, baik menyangkut tata kelola negara yang kapitalistik termasuk sistem pendidikannya. Tata kelola negara kapitalistik berlandaskan paradigma Good Governance atau Reinventing Government berperan besar melahirkan petaka biaya pendidikan mahal.

Paradigma Good Governance atau Reinventing Government berintikan dua pandangan kapitalisme yang berbahaya. Pertama, barang pemenuh hajat hidup publik seperti pangan, air bersih, perumahan, energi, dan transportasi; maupun jasa seperti kesehatan dan pendidikan hanyalah komoditas ekonomi untuk dikomersialkan. Sehingga harganya terus bergejolak. Kedua, kewirausahaan atau untung rugi harus dijadikan spirit yang menjiwai hubungan pemerintah terhadap rakyat dan kehadiran pemerintah adalah untuk pelayanan korporasi.

Cara pandang ini mengharuskan negara berlepas tangan dari kewajiban utamanya sebagai pelayan (rain) dan pelindung (junnah) bagi masyarakat. Selanjutnya masyarakat termasuk korporasi / swasta didorong berpartisipasi aktif. Negara hanya menjadi regulator (pembuat) aturan bagi kepentingan siapa pun yang ingin mengeruk keuntungan dari dunia pendidikan. Karenanya, memaklumi kehadiran negara hanya berwujud penurunan UKT di masa pendemi sama saja dengan membiarkan berlangsungnya pendidikan sekuler kapitalistik yang mengamputasi potensi generasi terbaik umat. Tidak adanya kritik terhadap kewajiban negara menyediakan pendidikan gratis artinya melestarikan tata kelola layanan masyarakat yang menyengsarakan karena lepasnya tanggung jawab penuh negara.

Berbeda dengan Sistem Islam (khilafah) yang menerapkan aturan Islam dari pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan. Negara berkewajiban dalam memenuhi kebutuhan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya termasuk pendidikan. Sebab Islam telah menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan primer bagi masyarakat. Islam mewajibkan umatnya untuk menempuh pendidikan, yakni menuntut ilmu.
Rasulullah Saw. bersabda,
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم:كُنْ عَالِمًا اَوْ مُتَعَلِّمًا اَوْ مُسْتَمِعًا اَوْ مُحِبًا وَلَا تَكُنْ خَامِسًا فَتُهْلِكَ
 (رَوَاهُ الْبَيْهَقِ )
Telah bersabda Rasulullah Saw., “Jadilah engkau orang yang berilmu (pandai) atau orang yang belajar, atau orang yang mendengarkan ilmu atau yang mencintai ilmu. Dan janganlah engkau menjadi orang yang kelima maka kamu akan celaka” (H.R Baihaqi).

Maka kebutuhan pendidikan harus terpenuhi bagi setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, kaya atau miskin, pintar atau biasa pada tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Semua berhak medapatkan pendidikan gratis dengan fasilitas sebaik mungkin. 

Negara akan menjamin tercegahnya pendidikan sebagai bisnis atau komoditas ekonomi sebagaimana realita dalam sistem kapitalis  saat ini. Negara dalam Islam benar-benar menyadari bahwa pendidikan adalah sebuah investasi masa depan. Segala biaya tidak boleh dikenakan, bukan hanya SPP, tetapi juga termasuk pembelian buku, peralatan, internet , dan lain-lain. Semua bayaran pendidikan diantaranya gaji pendidik (guru-guru), tenaga non-akademik, infrasturktur sekolah (gedung-gedung) sekolah, kampus-kampus, perpustakaan, laboratorium, balai-balai penelitian), sarana belajar dan mengajar (buku-buku pelajaran, internet, dan lain-lain), fasilitas lain yang dibutuhkan (seperti asrama pelajar, klinik kesehatan, dan lain-lain) semua wajib disediakan oleh negara secara gratis. Rakyat dibolehkan menyumbang menyediakan kemudahan-kemudahan tersebut sebagai bentuk amal jariyah, tetapi bukan sebagai bentuk tanggung jawab.

Dalam Sistem Islam juga dimungkinkan terdapat peran sekolah swasta, namun tidak boleh mengambil alih peran negara dalam memenuhi pendidikan rakyat. Seluruh pembiayaan pendidikan di dalam sistem Islam diambil dari baitulmal, yakni dari pos fa’i dan kharaj serta pos kepemilikan umum. Inilah faktor yang mempermudah rakyat mendapatkan kemaslahatan dalam pendidikan, tanpa dibebani dengan biaya pendidikan yang membuat masyarakat mengelus dada.  Wallahu a’lam bishshawwab.

Posting Komentar

0 Komentar