Tarif Listrik Mencekik , Rakyat Menjerit

 

Oleh : Iiv Febriana*

Serasa hidup tak cukup merana di tengah pandemi, masyarakat kini harus dihadapkan pada lonjakan tarif listrik. Merespons keluhan-keluhan tersebut, PT PLN (Persero) angkat suara. Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril memastikan tidak pernah menaikkan tarif listrik. Maka masyarakat yang tagihannya mengalami kenaikan bukan karena manipulasi atau kenaikan tarif, melainkan karena (efek) pembatasan sosial.

Rakyat yang mengalami kesulitan karena terdampak dari naiknya lonjakan tagihan listrik justru dianggap pelaku yang membuat tagihan listrik mereka sendiri naik. Sebab menurut Bob Saril, selama pandemi Covid-19, masyarakat diharuskan untuk melakukan kegiatan dari rumah baik untuk kegiatan bekerja hingga sekolah. Di mana tidak hanya orang tua tapi anak dan anggota keluarga lainnya harus di rumah. Maka otomatis penggunaan listrik akan bertambah sehingga ada kenaikan. (cnbcindonesia.com,6/6/2020).

Dalih lain yang diberikan menanggapi lonjakan tarif listrik Bob Saril mengatakan hal itu diakibatkan karena sistem perhitungan yang semula berdasar angka catat meter menjadi perhitungan angka rata-rata per tiga bulan terakhir. Menanggapi begitu banyaknya keluhan akhirnya PLN menyiapkan skema perlindungan lonjakan tagihan, yaitu lonjakan yang melebihi 20% akan ditagihkan pada Juni sebesar 40% dari selisih lonjakan, dan sisanya dibagi rata tiga bulan pada tagihan berikutnya. (jabar.sindonews.com, 7/6/2020)


Liberalisasi Listrik Biang Kerok

Pengamat kebijakan dan Pemerintahan Gde Siriana Yusuf menilai PLN tidak bisa berdalih dengan mengatakan kenaikan tagihan listrik dikarenakan menggunakan rata-rata tiga bulan terakhir sebagai acuan tagihan bulan Mei. Apalagi saat masyarakat sedang sulit tidak ada penghasilan karena terdampak Covid-19.
Ia juga menambahi bahwa solusi kenaikan dengan membayar secara mencicil juga bukan solusi yang tepat. Seharusnya perhitungan tagihan perlu dikoreksi lagi, lalu masyarakat juga membutuhkan biaya ekstra untuk kenaikan listrik meski dicicil pembayarannya.

Lebih jauh, Gde Siriana juga tak setuju jika alasan kenaikan listrik yang diungkapkan PLN akibat aktivitas di rumah dengan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pasalnya, PSBB bukan mau masyarakat tetapi kebijakan pemerintah. Sekolah dengan belajar online juga bukan mau siswa. Konsekuensinya penggunaan listrik lebih banyak. (teropongsenayan.com, 7/6/2020)

Perlu menjadi perhatian publik, di tubuh PLN sampai saat ini masih terus mengalami permasalahan, baik terkait perawatan dan pengadaan alat-alat PLN yang membutuhkan biaya yang besar sehingga hal ini menjadi pintu terbukanya liberalisasi energi. Sejak ditetapkannya UU Ketenagalistrikan no.20 tahun 2002 swastanisasi bidang kelistrikan terjadi dari hulu hingga hilir. Sementara dari pihak pemerintah diwakili PT PLN sebagai BUMN yang seharusnya bertanggung jawab atas penyediaan listrik di Indonesia justru hanya bertindak sebagai regulator saja. Sebagus apa pun UU dibuat jika bersandar pada sistem kapitalis liberal, tidak akan pernah menjamin rakyat memperoleh haknya terhadap energi listrik dengan mudah dan murah. Hal ini disebabkan paradigma pengelolaannya adalah bisnis maka yang dicari adalah keuntungan semata.

Dalam Islam listrik masuk dalam kategori kepemilikan umum, maka negara lah yang bertugas mengatur produksi dan distrubusi energi listrik untuk kepentingan rakyat secara non profit. Negara juga tidak diperbolehkan menyerahkan kepemilikan umum atau penguasaannya kepada pihak swasta atau asing, berdasarkan hadis Rasulullah saw: “Manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal : padang gembalaan, air, dan api.” (HR Ibn Majah)

Maka sudah seharusnya kita kembali kepada sistem Islam kaffah yang mampu memberi solusi kelistrikan secara hakiki, bukan tambal sulam.
Wallahua’lam bish-showab.

*Penulis adalah Pengajar di HSG-SD Mutiara Ummat

Posting Komentar

0 Komentar