Utang Luar Negeri Melambung Tinggi, Islam Solusi yang Hakiki

Oleh : Ummu Azizah Fisikawati

Bank Indonesia (BI) mencatat pembengkakan utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir April 2020 menjadi sebesar USD400,2 miliar. ULN terdiri dari sektor publik yakni pemerintah dan bank sentral sebesar USD192,4 miliar dan sektor swasta termasuk BUMN sebesar USD207,8 miliar. (http://asiatoday.id)

“ULN Indonesia tersebut tumbuh 2,9 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada Maret 2020 sebesar 0,6 persen. Hal itu disebabkan oleh peningkatan ULN publik di tengah perlambatan pertumbuhan ULN swasta,” jelas Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko melalui keterangan di Jakarta, Senin (15/6/2020).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, pemerintah telah menarik utang untuk membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Mei 2020 sebesar Rp356,1 triliun. (VIVAnews)

Realisasi itu baru mencapai 41,7 persen dari target pembiayaan 2020 sebesar Rp852,9 triliun. Namun, kenaikannya sangat pesat, yakni mencapai 122,6 persen dari catatan pada Mei 2019 yang hanya mencapai Rp159,9 triliun.
"Ini terjadi kenaikan 122,6 persen dibanding tahun lalu," kata Sri saat konferensi pers APBN Kinerja dan Fakta Mei 2020, Selasa, 16 Mei 2020.

Menurutnya, perkembangan tersebut dipengaruhi oleh arus modal masuk pada Surat Berharga Negara (SBN), dan penerbitan Global Bonds pemerintah sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan pembiayaan, termasuk dalam rangka penanganan wabah covid-19.

Sektor prioritas tersebut mencakup sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial sebesar 23,3 persen dari total ULN pemerintah, sektor konstruksi 16,4 persen, sektor jasa pendidikan 16,2 persen, sektor jasa keuangan dan asuransi 12,8 persen, dan sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib 11,6 persen.

Kementerian Keuangan mencatat total pembiayaan utang neto pemerintah hingga Mei 2020 mencapai Rp 360,7 triliun. Jumlah ini meningkat 35,8% dibanding periode yang sama tahun lalu. Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan kenaikan realisasi pembiayaan hingga Mei 2020 antara lain disebabkan oleh defisit anggaran yang meningkat. Pada periode yang sama, defisit APBN membengkak 42,8% menjadi Rp 176,9 triliun atau 1,1% terhadap PDB.

Seiring penanganan wabah, utang luar negeri Indonesia semakin membubung tinggi. Baik untuk deficit anggaran periode sebelumnya atau mengalokasikan secara efisien untuk membiayai rakyat di masa pandemi. Utang luar negeri yang makin menumpuk bisa membawa negeri kehilangan kedaulatan dan menjadi alat penjajahan ekonomi. Kebijakan Negara berpotensi makin jauh dari pemenuhan kemaslahatan rakyat tapi dikendalikan oleh kepentingan asing. Bagaimana Islam menangani persoalan ini dan sejauh mana utang boleh dilakukan Negara.

Dari perspektif pandang Islam secara umum ada dua pandangan terhadap hutang luar negeri. Pandangan pertama hutang luar negeri diperbolehkan asalkan sistemnya sesuai Syariah dan bertujuan untuk saling membantu. Seperti mudharabah, musyarakah, murabahah, dll. Sehingga dapat disimpulkan dalam pandangan pertama bahwa hutang luar negeri diperbolehkan dengan alasan untuk saling membantu. 

Adapun untuk pandangan kedua hutang luar negeri secara tegas dilarang, karena khususnya dizaman ini dimana mayoritas negara asing adalah bukan negara Islam. Sehingga akan terjadi riba didalam utang luar negeri, padahal sudah diterangkan secara jelas bahwa hutang ataupun hal transaksi ekonomi yang terdapat riba didalamnya adalah haram. 

Di tengah menghadapi pandemi ini, ketidakjelasan nasib rakyat untuk menyambung hidup, serta tak jelasnya penanganan bahkan upaya preventif yang diambil pemangku kekuasaan, ternyata masih ada saja orang-orang bodoh yang tergiur dengan utang berkedok 'bantuan' luar negeri. Padahal Indonesia semestinya mampu dengan segala nikmat yang Allah SWT limpahkan. Hal ini menunjukkan kelemahan negeri ini di mata negeri kapitalis sekuler yang sesungguhnya mereka adalah penjajah.

Di sinilah mengapa Islam mengharuskan sebuah negara mengelola negaranya sendiri dan tidak menyerahkannya kepada negara lain, karena utang luar negeri dan investasi sesungguhnya merupakan bagian dari bentuk penjajahan gaya baru yang dilancarkan oleh negara kafir terhadap negeri-negeri muslim. (Kitab mafaahiim siyasiy, Taqiyuddin an Nabhani)


Solusi dalam pengelolaan pendapatan negara dalam pandangan Islam..

Islam hadir tentu tidak hanya sebagai agama ritual dan moral belaka. Islam juga merupakan sistem kehidupan yang mampu memecahkan seluruh problem kehidupan, termasuk dalam pengelolaan kekayaan alam. Allah SWT berfirman:

Kami telah menurunkan kepada kamu (Muhammad) al-Quran sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri,” (TQS an-Nahl [16]: 89).

Menurut aturan Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing.

Di antara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah saw.: Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api. (HR Ibnu Majah). Kemudian,Rasul saw juga bersabda: Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api. (HR Ibnu Majah).

Terkait kepemilikan umum, Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola  sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi).

Jadi, menurut  aturan Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar  baik  garam maupun selain garam seperti batubara, emas, perak, besi, tembaga, timah, minyak bumi, gas dan sebagainya, semuanya adalah tambang yang terkategori milik umum sebagaimana tercakup dalam pengertian hadis di atas.

Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni, sebagaimana dikutip Al-Assal & Karim (1999: 72-73), mengatakan, “Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), minyak bumi, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum Muslim sebab hal itu akan merugikan mereka,”

Sebagai konsekuensi keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, setiap Muslim, termasuk para penguasanya, wajib terikat dengan seluruh aturan syariah Islam. Karena itu semua perkara dan persoalan kehidupan, termasuk masalah pengelolaan sumberdaya alam, harus dikembalikan pada al-Quran dan as-Sunnah. Allah SWT berfirman:

Jika kalian berselisih pendapat dalam suatu perkara, kembalikanlah perkara itu kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah) jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir  (TQS an-Nisa [4]: 59).

Sesungguhnya, apa saja yang telah ditentukan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, termasuk ketentuan dalam pengelolaan sumbedaya alam sebagaimana dipaparkan di atas, wajib dilaksanakan. Tak boleh dibantah apalagi diingkari sedikit pun. Allah SWT berfirman:

Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepada kalian, terimalah (dan amalkan). Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sungguh Allah sangat pedih azab-Nya. (TQS al-Hasyr [59]: 7).

Demikianlah, untuk pengelolaan sumberdaya alam seperti yang terjadi saat ini, mau tak mau, kita harus kembali pada ketentuan syariah Islam. Selama pengelolaan sumberdaya alam didasarkan pada aturan-aturan sekular kapitalis, tidak diatur dengan syariah Islam, semua itu tak akan banyak manfaatnya bagi rakyat dan pastinya akan kehilangan berkahnya.

Terbukti, di tengah berlimpahnya sumberdaya alam kita, mayoritas rakyat negeri ini miskin. Pasalnya, sebagian besar kekayaan alam kita hanya dinikmati oleh segelintir orang, terutama pihak asing, bukan oleh rakyat kebanyakan.

Utang luar negeri hanya akan mengokohkan para penjajah asing untuk menguasai negeri ini. Maka dari itu sistem yang ada saat ini tidak akan membawa perubahan yang haqiqi. Saatnya beralih ke sistem yang mengatur seluruh aspek kehidupan hingga menjadikan rakyat sejahtera dengan syariat Islam yang di terapkan oleh Daulah Islam Al Khilafah. Wallahu a’lam ( والله أعلمُ) 

Posting Komentar

0 Komentar