Haruskah Pilkada Di Tengah Pandemi?

Oleh: Shintami Wahyuningsih, A.Md  (Pemerhati Sosial)

Miris, ditengah carut marut dalam penanganan pandemi, negara kini sibuk menyiapkan pilkada yang rencananya akan diselenggarakan pada akhir tahun ini yaitu 9 Desember 2020. Meskipun seharusnya, jika mengacu pada Peraturan Perundang-undangan Nomor 2 Tahun 2020, Pilkada 2020 awalnya akan diselenggarakan pada 23 September 2020 di 270 daerah dari tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, namun ditunda hingga 9 Desember 2020 (suara.com, 9/6/2020) .

Bukankah seharusnya dalam kondisi saat ini lebih diperhatikan, bagaimana memastikan agar pandemi ini benar-benar berakhir sebelum pilkada diselenggarakan. Karena apabila tetap memaksakan pilkada ditengah-tengah pandemi yang kian menjadi-jadi bisa saja memicu penyebaran virus yang lebih dahsyat, akibatnya virus akan mengganas. Dan kondisi masyarakat kian memilukan akibat pandemi yang tak kunjung hilang. 

Menjadi rahasia umum jika pilkada identik dengan “pesta” yang pastinya akan banyak dana yang dikeluarkan untuk penyelenggaraanya. Dengan penyelenggaraan serentak di 270 wilayah di Indonesia, meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Dalam kondisi yang tidak normal secara otomatis dana yang dibutuhkanpun akan menjadi lebih fantastis.

Dilansir dari kompas.com - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman meminta penambahan anggaran untuk Pilkada serentak 2020 sebesar Rp 4,7 triliun kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani. Hal ini disampaikan Arief dalam rapat kerja gabungan dengan Komisi II, Menteri Keuangan Sri Mulyani,  Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 serta Bawaslu dan DKPP secara virtual, Kamis (11/6/2020). Arif mengatakan bahwa, "KPU menyampaikan surat permohonan penambahan anggaran kepada Menteri Keuangan Nomor 433/PR.02.1-SD/01/KPU/VI/2020 pada 9 Juni sebesar Rp 4.768.653.986.000".

Arief berharap, penambahan anggaran KPU dapat dimudahkan oleh pemerintah. Ia menuturkan, penambahan anggaran untuk Pilkada serentak 2020 butuh dukungan dari dana APBN, karena kondisi khusus pandemi Covid-19.
Dalam kondisi pandemi tentunya dana akan semakin besar karena ada anggaran yang baru seperti, persediaan hand sanitizer, termometer, disinfektan, masker untuk petugas dan alat pelindung diri disetiap tempat pungutan suara (TPS). 

Tentu saja keputusan ini mendapat kontra dari beberapa kalangan, salah satunya anggota komisi II DPR RI Mardani Ali Sera. Sejak awal keluarnya perpu ini ia telah mengusulkan penundaan pilkada serentak 2020. Sebagaimana dilansir beritalima.com– Anggota Komisi II DPR RI, Mardani Ali Sera mengusulkan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunda pelaksanaan Pemilihan Umum Kepada Daerah (Pilkada) serentak 2020. Soalnya, kata wakil rakyat dari Dapil I Provinsi DKI Jakarta itu, kondisi Indonesia yang diserang wabah virus Corona (Covid-19) sangat tidak memungkinkan untuk penyelenggaraan pesta demokrasi seperti pilkada yang dijadwalkan digelar lebih dari 270 daerah.

Dengan kondisi pandemi yang tidak bisa dipastikan kapan akan berakhir. Karena jumlah kurva kasus corona terus naik, begitu  juga wilayah dengan zona merah kian bertambah. Apakah bisa dipastikan tidak akan ada korban dalam pilkada nanti ? Apakah sudah siap dengan gelombang kedua yang dikhawatirkan akan lebih memperparah kondisi, jika penanganan saat ini saja seakan abai. Bukankah perbaikan kinerja terutama dalam menangani pandemi, yang lebih dibutuhkan rakyat saat ini?

Dan apabila tetap dipaksakan maka yang jadi pertanyaan, sebenarnya ini untuk kepentingan siapa ?  Tambahan dana pilkada dengan jumlah yang tidak sedikit, sedang hutang negeri ini kian menumpuk, rakyat dalam kondisi sulit dan membutuhkan bantuan materi.  Kesempitan kian  terasa ketika banyak pedagang yang gulung tikar karena sepi pembeli, supir-supir angkutan umum yang sepi penumpang, ditambah PHK besar-besaran oleh sejumlah perusahaan. Semua butuh perhatian dari penguasa negeri ini.

Namun seperti yang kita ketahui, dalam sistem Demokrasi-Kapitalis kepentingan segelintir pamilik modal lebih diutamakan daripada jutaan rakyat. Karena dari awal penyelenggaraan pesta demokrasi membutuhkan banyak biaya termasuk pada saat kampanye. Yang tentunya akan melibatkan para pemilik modal sehingga setiap keputusan politik yang diambil bukan lagi atas kepentingan rakyat. Hingga saat pandemi pun bukan kepentingan rakyat yang menjadi prioritas. 

Melihat hal ini tentunya sangat berbeda jauh dengan sistem Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan yang kemudian dilanjutkan oleh para Khalifah setelah beliau. Dimana kedaulatan berada ditangan syara’ dan kekuasaan ditangan rakyat, sehingga menjadikan setiap keputusan yang diambil harus berdasarkan hukum syara’ dan untuk kemaslahatan seluruh umat manusia.

Begitu juga pemilihan seorang pemimpin dalam sistem Islam tidak akan membutuhkan banyak biaya. Islam telah menetapkan metode baku pemilihan Khalifah yakni baiat. Adapun pemilu langsung adalah salah satu teknis pemilihan khalifah sebelum pembaiatan. Begitupun perwakilan  menjadi pilihan teknis dalam pemilihan ini. Yaitu, rakyat memilih wakilnya lalu wakil umat memilih penguasa. Inilah pemilihan dalam Islam berbiaya murah namun efektif menghasilkan output yang berkualitas. 

Hal ini didasari oleh :
Pertama, Islam telah mendudukan kepemimpinan sebagai amanah yang akan dipertanggung jawabkan di dunia dan akhirat. Beratnya amanah menjadikan pemimpin tak berani bertindak sesuka hati. 

Kedua, Islam menetapkan batas kekosongan pemimpin adalah tiga hari dalilnya ijma’ sahabat pada pembaitan Abu Bakar ra yang sempurna dihari ketiga paska wafatnya Rasulullah Saw. Batas waktu tiga hari ini akan membatasi kampanye sehingga tak perlu kampanye akbar yang akan menghabiskan biaya dalam jumlah banyak. Teknis dibuat sederhana sehingga dalam waktu tiga hari bisa selesai tanpa ada perselisihan.

Dalam pemilihan wali atau pejabat pemerintah untuk suatu wilayah atau propinsi. Langsung ditunjuk oleh Khalifah, karena wali adalah orang yang akan membantu Khalifah mengurus suatu pemerintahan di wilayah Daulah. Dan seorang wali diberhentikan jika Khalifah memandang perlu untuk memberhentikanya.

Demikianlah sistem Khilafah diterapkan sehingga dana yang ada di baitul mal benar-benar dimanfaatkan secara optimal demi kemaslahatan masyarakat secara menyeluruh. Begitu juga ketika terjadi pandemi maka Khalifah akan fokus menangani wabah dengan menjamin kebutuhan masyarakat yang terdampak.

Wallahu’alambishowab.

Posting Komentar

0 Komentar