Ironi Pilkada Di Tengah Pandemi

Oleh : Dien Kamilatunnisa

Hasil keputusan dalam rapat dengar pendapat pada (27/05/2020) pemerintah bersama Komisi II DPR dan Komisi Pemilihan Umum telah menyepakati untuk tetap menggelar pemilihan kepala daerah di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota tahun ini. Penyelenggaraan setiap tahapan pasalnya akan dilaksanakan dengan menerapkan protokol pencegahan Covid-19 dengan ketat (republika.co.id, 13/06/2020). 

Hanya saja, banyak kerawanan yang harus dihadapi jika pilkada tetap akan dilakukan ditengah pandemi. Bahkan menurut anggota Bawaslu RI M Afifuddin mengatakan, empat konteks kerawanan tersebut adalah sosial, politik, infrastruktur daerah dan pandemi Covid-19 (republika.co.id, 23/06/2020).

Selama ini memang pemilu dianggap sebagai mekanisme ideal dalam sistem demokrasi. Selain itu pada faktanya,pemilu menelan anggaran yang tidak sedikit. Karena hal inilah partai butuh suntikan dana dari luar. Sehingga membuka celah adanya praktik kontrak antara calon penguasa dan pengusaha. Hal ini senada seperti yang disampaikan oleh Rizal Ramli dalam Indonews.id, tanggal 4 Mei 2020. Menurut beliau, adanya politik uang dalam pemilu sudah umum dilakukan dan hal ini menghasilkan demokrasi kriminal. Sehingga demokrasi di Indonesia tidak membawa kesejahteraan bagi rakyat. Karena jika pejabat sudah berhasil dipilih, mereka melupakan rakyatnya, sibuk untuk mengembalikan uang dari para sponsor, memperkaya diri dan keluarga.

Sebenarnya, parut disadari bersama bahwa titik kritisnya adalah sistem demokrasi itu sendiri. Demokrasi merupakan sistem buatan manusia yang menempatkan suara rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Hanya saja, rakyat yang mana yang didengar suaranya? Tentunya, rakyat yang bermodal besar. Sehingga dalam perjalanannya demokrasi senantiasa bergandengan dengan kapitalisme dalam penerapannya.  Demokrasi menjanjikan kesejahteraan semu bagi masyarakat. 

Oleh karena itu, apakah pilkada yang akan dilakukan di Indonesia pun akan membawa kebaikan bagi masyarakat? Tentu hal ini jauh panggang dari api. 

Disisi lain,  adanya pilkada ini terlihat seperti dipaksakan. Karena penanganan pandemi saja belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. Adanya regulasi new normal malah meningkatkan angka orang terinfeksi Covid-19. Pada tanggal 1 Juni 2020 total tercatat 57.770 kasus di Indonesia. 

Hendaknya harus dihadirkan kembali sebuah sistem alternatif. Sistem yang berasal dari wahyu Allah SWT, yaitu sistem Islam. Sistem Islam akan menempatkan penguasa sebagai pelayan rakyatnya sehingga tidak akan mengutamakan kepentingan pribadi atau golongannya. Penguasa dalam sistem Islam mengutamakan pelaksanaan hukum syara dalam setiap aspek kehidupan.

Pada sistem Islam kedaulatan di tangan syariat. Sedangkan kekuasaan dipegang oleh penguasa yang disebut khalifah. Khalifah ditunjuk dengan metode baku yaitu dengan baiat. Sementara itu, pemilu langsung adalah salah satu teknis dalam memilih Khalifah. Selain itu ada juga teknis melalui perwakilan  yaitu dalam wadah majelis ummah yang akan memilih penguasa. Batas waktu pemilihan khalifah ini adalah 3 hari. Hal ini berdasarkan ijma sahabat ketika Abu bakar diangkat 3 hari setelah Rasulullah saw wafat. Sehingga dalam sistem Islam batas waktu 3 hari ini akan membatasi kampanye. Tak perlu kampanye akbar yang biasanya menghabiskan dana yang besar.

Sementara itu para pejabat akan langsung ditunjuk oleh khalifah. Tentu saja hal ini menjadikan pemilihan dalam sistem islam berbiaya murah namun telah terbukti menghasilkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas. Dengan kepemimpinannya ini maka akan tercipta kesejahteraan yang adil dan merata dalam kehidupan bermasyarakat. Apalagi ditengah pandemi seperti ini, tentu saja khalifah akan memfokuskan pada penanganan pandemi dan kebutuhan masyarakat didalamnya.

 Wallohu'alam.

"Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah". (TQS. Yusuf: 40)

Posting Komentar

0 Komentar