Oleh : Zahra Ong (Ibu dan Aktivis Muslimah)
Memasak bagi ibu-ibu mungkin merupakan kegiatan rutin sehari-hari untuk mengolah bahan makanan menjadi sajian lezat bagi keluarga tercinta. Selain bernilai pahala juga menjamin makanan tersebut sehat dan higienis.
Memasak, toh bukan hanya sekedar menyajikan makanan untuk memenuhi kebutuhan jasmani tapi juga harus dipastikan makanan yang kita makan itu halal dan thayyib (baik).
Tapi masalahnya, mencari makanan yang halal dan baik saat ini ternyata tidak mudah. Perkembangan teknologi pangan seringkali membuat makanan telah melalui berbagai proses yang membutuhkan berbagai bahan tambahan pangan seperti pewarna, pengawet, penyedap, dan sebagainya.
Parahnya lagi, bahan tambahan pangan tersebut tidak bisa dipastikan kehalalannya karena memungkinkan terkontaminasi sesuatu yang diharamkan oleh Islam.
Babi misalnya, hampir semua bagian tubuhnya bisa dimanfaatkan dalam industri pangan seperti tulang dan kulitnya diolah menjadi gelatin yang berfungsi sebagai emulsifier pada es krim dan yoghurt, pengenyal seperti pada mashmallow, permen lunak dan jelly, pudding, kapsul, dan sebagainya.
Dengan banyak beredarnya bahan pangan yang tidak halal dan baik ini, menunjukkan betapa lemahnya posisi konsumen muslim. Di satu sisi pemahaman mereka terhadap konsep halal dalam Islam masih rendah, disisi lain negara lalai dalam melindungi rakyatnya dalam mengkonsumsi makanan yang halal dan baik.
Islam telah mengatur secara jelas bahwa manusia diharuskan untuk memilih makanan yang halal dan baik. Halal menurut syari’ah juga kebaikan bagi kesehatan manusia. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِالشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal dan baik dari apa saja yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh kalian yang nyata". (TQS Al-Baqarah [2]: 168).
Islam menggariskan bahwa jaminan atas bahan pangan yang halal dan baik adalah tanggung jawab negara sebagai bagian dari perlindungan negara terhadap agama. Rasulullah SAW bersabda terkait dengan tanggung jawab pemimpin negara:
“Sesungguhnya imam itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.“ (HR Muslim)
“Imam adalah pengurus dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya.“ (Hr Muslim dan Ahmad).
Laits bin Abi Sulaim meriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab pernah memerintahkan para wali yang memimpin daerah, agar mereka membunuh babi dan membayar harganya dengan mengurangi pembayaran jizyah dari non muslim (Al Amwaal, Abu Ubaid hal. 265).
Ini dilakukan dalam rangka melindungi umat dari mengkonsumsi dan memperjualbelikan zat yang telah diharamkan.
Dengan demikian, hanya khilafahlah yang mampu mengemban amanah ini bukan negara sekuler yang mencari keuntungan dan membisniskan kepentingan warganya. Wallahua'lam
0 Komentar