Oleh : Siti Masliha, S.Pd (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Corona semakin mengganas. Keganasan corona tak memandang usia, anak-anak yang tak berdosa pun menjadi korbannya. Indonesia adalah negara dengan jumlah koban tertinggi dari kalangan anak-anak. Lebih dari 40 anak Indonesia (yang berusia di bawah 18 tahun) meninggal akibat virus corona, menurut data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (diakses 02/07). Sebagian besarnya adalah balita.
Angka itu setara 1,7% total kematian akibat Covid-19, yang menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, salah satu yang tertinggi di Asia dan dunia.
Selain lebih dari 40 anak yang meninggal dengan status positif Covid-19, IDAI mencatat lebih dari 200 kematian anak dalam status Pasien Dalam Pengawasan (PDP) di akhir Juni. Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dokter Aman Bhakti mengatakan keadaan ini "sangat mengkhawatirkan"
Negara tetangga Malaysia misalnya, belum mencatat kematian akibat Covid untuk anak di bawah 12 tahun. Sementara, di Amerika Serikat, negara dengan kasus kematian tertinggi akibat Covid-19, angka kematian yang berkaitan dengan virus corona, untuk warga di bawah 25 tahun adalah 0,15% (data diakses 02/07). Di China, angka kematian pada individu berusia 19 tahun ke bawah hanya 0,1%.. (BBCNews Indonesia, jumat 03/06/2020)
Miris, itulah kondisi negara kita saat ini. Layanan kesehatan yang layak dan murah hanyalah mimpi. Layanan kesehatan yang tidak merata akibatnya tidak semua masyarakat dapat merasakannya. Hal ini berakibat anak-anak yang tidak berdosa menjadi korban keganasan corona.
Layanan kesehatan termasuk didalamnya fasilitas Rumah Sakit (RS). Fasilitas RS sakit sangat dibutuhkan oleh pasien ketika membutuhkan perawatan. Namun hal ini belum bisa dirasakan di seluruh wilayah Indonesia. Kita ambil contoh fasilitas RS yang ada di daerah jauh dari kata layak. Hal ini membuat masyarakat yang membutuhkan fasilitas RS tidak dapat ditangani dengan baik. Mereka harus berusaha di pusat kota untuk mendapatkan fasilitas kesehatan yang memadahi.
Hal ini sebagaimana yang terjadi pada Fahri. Seorang balita yang meninggal dunia karena fasilitas RS yang tidak memadahi. Di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Fahri, 9 bulan, diare hebat tanpa henti selama dua hari, pada pertengahan Mei lalu. Saat itu, keluarga mencoba mengobati Fahri dengan obat dari apotek, tapi kondisinya tak juga membaik.
Akhirnya fahri dirujuk ke rumah sakit. Rumah sakit itu tak dilengkapi fasilitas gawat darurat untuk anak, maka Fahri dirujuk ke rumah sakit lain. Fahri terpaksa dirawat layaknya pasien umum. Pada tanggal 23 Mei, Fahri meninggal dunia. Empat hari kemudian, hasil tes menunjukkan Fahri meninggal akibat Covid-19. (BBCNews Indonesia, jumat 03/06/2020)
Selain layanan kesehatan yang tidak merata, komersialisasi kesehatan sudah menjangkiti sistem kesehatan yang ada di negara kita. Kesehatan yang menjadi hajat hidup orang banyak dikomersilkan sehingga biaya kesehatan melambung tinggi. Pemerintah menyerahkan layanan kesehatan kepada asing dan swasta sehingga merekalah yang mengelola kesehatan di negeri kita. Rumah sakit swasta berdikari sedangkan rumah sakit pemerintah mati suri. Pemerintah seolah tidak sanggup menghadapi komersialisasi kesehatan yang terjadi di negeri ini. Mereka sibuk dengan urusannya sendiri. Sedangkan rakyat dibiarkan mati tak terurusi.
Komersialisasi kesehatan ini membuat si kaya bisa mendapatkan fasilitas kesehatan secara istimewa. Sedangkan si miskin papa mereka harus berjuang meregang nyawa karena tak punya biaya. Akibatnya rakyat miskin tidak dapat menjangkau biaya kesehatan. Tak sedikit kisah di negeri ini karena tidak punya biaya di tolak oleh Rumah Sakit.
Hal ini sebagaimana yang dialami oleh Joni, bukan nama sebenarnya, di Manado, Sulawesi Utara. Di usianya yang hampir menginjak dua tahun, Joni, hanya berbobot enam kilogram, setengah dari bobot ideal yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia, WHO. Awal tahun 2020, Joni dirawat di rumah sakit akibat muntaber dan sakit paru-paru, yang kata ayahnya, dipengaruhi juga oleh kondisinya yang kurang gizi.
Empat bulan kemudian, pada awal Mei, kondisi Joni memburuk. Ia batuk-batuk, tapi membawanya ke rumah sakit bukan pilihan saat itu, ujar ayahnya. "Lantaran torang (kami) nggak ada uang sama sekali. Kami untuk makan sehari-hari saja pas-pasan. Jadi (dirawat) di rumah saja," ujar RW, yang bekerja sebagai buruh bangunan itu.
Namun, kondisi Joni tak juga membaik. RW dan istrinya memutuskan membawa Joni ke klinik dekat kediaman mereka. Oleh karena kondisinya yang kritis, Joni dirujuk ke RSUP Prof Kandou Malalayang, di mana anak itu dirawat selama sembilan hari di ruang isolasi. RW bercerita, di tanggal 16 Mei, Joni meninggal. Petugas kesehatan mengatakan Joni positif Covid-19. (BBCNews Indonesia, jumat 03/06/2020)
Dari sini tampak jelas peran negara telah hilang dalam menangani masalah kesehatan. Negara berlepas tangan atas urusan kesehatan rakyatnya. Negara seolah tak berdaya dengan gempuran asing dan swasta yang memiliki modal raksasa. Akibatnya rakyat yang tidak berdosa beregang nyawa.
Inilah kondisi sistem kesehatan yang ada di negeri kita. Negeri kaya raya namun kesehatan tak bisa dirasakan oleh semua rakyatnya.
Komersialisasi kesehatan dalam pandangan Islam haram hukumnya. Pasalnya dalam sistem Islam kesehatan merupakan kebutuhan asasi dan harus di kecap oleh manusia dalam hidupnya. Kesehatan termasuk masalah pelayanan umum dan kemaslahatan hidup terpenting.
Negara merupakan pihak yang berkewajiban mewujudkan pemenuhan kesehatan untuk seluruh rakyatnya tanpa terkecuali, baik orang kaya maupun miskin, muslim maupun non muslim. Baitul Maal yang akan menanggung pembiayannya.
Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah, Beliau pernah membangun tempat pengobatan untuk orang-orang yang sakit dan pembiayainya dengan harta dari Baitil Maal. Umar Bin Khatab telah memberikan sesuatu dari Baitul Maal untuk membantu kaum yang terserang penyakit lepra di jalan menuju Syam.
Dalam bidang pelayanan kesehatan ini Bani Ibnu Thulun di Mesir memiliki masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat untuk mencuci tangan. Serta dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untuk mengobati secara gratis kepada orang-orang yang sakit.
Itulah gambaran sistem kesehatan dalam Islam. Dengan fasilitas yang lengkap seluruh rakyat bisa merasakan tanpa pandang bulu.
0 Komentar