Oleh : Miratul Hasanah (Pengamat Kebijakan Publik)
Tidak bisa dipungkiri bahwa resesi ekonomi dunia saat ini telah mengancam sendi-sendi perekonomian negara maju maupun negara berkembang. Semua itu bisa diakibatkan karena pemberlakuan Fiat money yang saat ini didominasi oleh dolar AS, pertumbuhan ekonomi berbasis hutang dan riba. Banyak persiapan dilakukan untuk menghadapi resesi ekonomi tersebut ditengah wabah pandemi covid -19. Yakni dengan penerapan new normal-life yang diharapkan bisa menekan kemerosotan GNP (gross national product) di berbagai negara terdampak covid -19. Akan tetapi, upaya ini belum menunai hasil yang signifikan selain ketegangan yang terus meningkat antara negara china dengan Amerika serta sekutunya yang justru disinyalir mengantarkan pada perang dunia ke III. Ancaman krisis pangan juga terus menghantui laju pertumbuhan ekonomi, tidak terkecuali Indonesia.
Tikus mati dilumbung padi. Mungkin ini adalah ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi perekonomian Indonesia saat ini. Sebuah negeri yang dahulunya pernah mendapat julukan sebagai negara agraris, serta penghasil swasembada pangan dunia. Tapi sekarang sungguh ironis, justru menjadi negara yang terancam krisis pangan akibat wabah pandemi covid-19. Ketidaksiapan pemerintah menghadapi krisis ekonomi jilid II menjadikan kekhawatiran tersendiri dimata para pengamat ekonomi dan ketidakjelasan dari sisi penataan sistem pertanian yang cenderung pengelolaan lahan serta penentuan produksi dan hasil pertaniannya diserahkan ke tangan swasta asing dan pada akhirnya impor menjadi jalan pintas pemerintah untuk menutupi defisit pangan yang semakin menipis ditengah pandemi ini. Padahal kita sebagai rakyat Indonesia tentu mengetahui bagaimana melimpahnya sumber daya alam dari hulu hingga hilir, mulai Sabang sampai Merauke. Akan tetapi , kekayaan alam tersebut justru menjadi incaran swasta asing dan aseng untuk dilakukan hegemoni sektor hulu maupun hilir, salah satunya dalam aspek pertanian.
Ditambah lagi dengan sistem ekonomi neoliberal yang diadopsi oleh Indonesia, telah menghilangkan kedaulatan pangan yang seharusnya menjadi sentra produksi pangan maupun sumber daya energi. Akan tetapi, justru hari ini sangat tergantung pada impor dari negara lain. Bahkan dalam draft RUU Cika, pemerintah ingin menjadikan impor sebagai salah satu sumber utama penyediaan pangan dalam negeri, selain dari produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional. (www.aa.com)
Lebih ironis lagi, ketika rezim saat ini malah merasa bangga dan pongah terhadap kebijakan yang dibuatnya. Ini terbukti dari disahkannya RUU Omnibus Law dalam aspek pertanian yang mengundang banyak polemik, karena jelas-jelas akan mengantarkan negeri ini pada kehancuran tatanan ekonomi yang memang sudah karut marut. Benarlah firman Allah SWT, "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan tangan-tangan manusia". (QS. Al-Rûm : 41)
Lalu bagaimana cara Islam mewujudkan ketahanan pangan?
Allah SWT berfirman, "Dan jika sekiranya penduduk negri-negri beriman dan bertakwa niscaya Kami akan melimpahkan keberkahan dari langit dan bumi, akan tetapi mereka mendustakan ( ayat-ayat Kami ), maka kami siksa mereka disebabkan apa yang telah mereka kerjakan." ( Qs.Al-A'raff; 96 )
Dari firman di atas menjelaskan bahwasanya apa yang terjadi dibumi ini merupakan balasan dari perbuatan manusia itu sendiri. Sesungguhnya Allah SWT menciptakan bumi dan seluruh apa yang dikandungnya dalam rangka untuk dimanfaatkan manusia, tentunya sesuai dengan hukum syariah yang telah ditetapkan oleh asy-syari'. Maka dari itu, syariah Islam memiliki mekanisme yang konkret dalam rangka untuk mencapai kedaulatan pangan anti krisis. Diantaranya adalah :
1. Sistem keuangan berbasis pada mata uang emas dan perak. Selama hampir 13 abad sistem Islam tidak mengalami krisis ekonomi, karena kestabilan ekonomi dipengaruhi oleh nilai intrinsik dan ekstrinsik yang terkandung dalam uang emas dan perak.Sementara aset kekayaan suatu negara senantiasa diukur dengan jumlah mata uang yang dimiliki oleh negara yang bersangkutan.
2. Produktivitas ekonomi non ribawi. Syariah Islam dengan tegas melarang bahkan mengharamkan setiap muamalah yang mengandung riba, oleh karena setiap transaksi dalam sistem ekonomi Islam senantiasa ditopang oleh sektor riil untuk bisa meraih laba,yang pastinya mendatangkan kreativitas ekonomi yang lebih optimal.
3 . Penataan ulang pengaturan lahan pertanian yang produktif. Yakni dengan mekanisme :
a. Pengaturan sistem kepemilikan. Rasulullah SAW bersabda;
المسلمون شركاء في ثلاث؛ الكلاء، وااماء، والنار
Artinya; " Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; padang rumput, air dan api"(HR.Muslim)
b. Menghidupkan tanah mati. Menghidupkan tanah mati (ihya' al-mawat) artinya mengelola tanah atau menjadikan tanah tersebut siap untuk langsung ditanami. Rasulullah SAW bersabda;
من ا عمر ارضا ليست ﻷ حد فهو أ حق
Artinya; " Siapa saja yang telah mengelola sebidang tanah, yang bukan menjadi hak orang lain, maka dialah yang lebih berhak atas tanah itu"(HR Al-Bukhari)
c. Mengelola tanah.
Setiap orang yang memiliki tanah akan dipaksa untuk mengelola tanahnya secara optimal. Siapa yang membutuhkan (biaya pengelolaan tanah) akan diberikan modal dari baitul mall.
d. Larangan menyewakan tanah.
Pemilik tanah secara mutlak tidak boleh menyewakan tanahnya untuk pertanian, baik pemiliknya lahan dan kegunaannya sekaligus ataupun hanya memiliki kegunaannya saja, baik sewanya berupa uang ataupun yang lain.
Demikianlah, hanya dengan penerapan syariah Islam secara sempurna, maka akan bisa terwujud kedaulatan pangan yang mandiri, tanpa ada ketergantungan impor dari negara lain.
WaAllahu a'lam bi ash-showwab.
0 Komentar