Moderasi Islam Melalui Kurikulum Pendidikan

Oleh : Ummu Athifa (Ibu Rumah Tangga, Member Revowriter dan WCWH Kuningan)

Kurikulum pendidikan sangatlah berperan aktif dalam pembelajaran. Dikarenakan akan mempermudah proses guru mengajarkan kepada siswanya. Selain itu, akan ada arah yang jelas dalam membersamai visi pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan anak bangsa dengan iman dan takwa.

Indonesia sendiri telah menganut bermacam-macam kurikulum pendidikan. Mulai dari kurikulum tahun 1998, kurikulum 2000, kurikulum 2004, kurikulum 2006 (KTSP), terakhir kurikulum 13 (kurtilas). Tujuannya tak lain untuk meningkatkan kualitas siswa saat pembelajaran berlangsung. 

Kurikulum berisi materi sesuai kebutuhan siswa. Terdapat poin penting yang tengah hangat diperbincangkan, yaitu akan dihapuskannya pembelajaran Bahasa Arab dan Pendidikan Agama Islam (PAI) di ranah Madrasah (baik MI, Mts, dan MA). Menurut Menteri Agama, Fachrul Razi, tahun ajaran baru 2020/2021, madrasah memulai menggunakan kurikulum PAI dan Bahasa Arab yang baru. Kurikulum tersebut tercantum dalam Keputusan Menteri Agama atau KMA 183 tahun 2019 yang menggantikan KMA 165 tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab. (detik.com/11Juli2020) 

Menurutnya, ada sedikit perbedaan yaitu adanya perbaikan substansi materi pelajaran karena disesuaikan dengan perkembangan kehidupan abad XXI. Hal ini tentu akan menghilangkan sisi keilmuan itu sendiri. Sedangkan pelajaran PAI dan bahasa arab merupakan dua komponen penting dalam pembelajaran di madrasah.

Ternyata Keputusan Menag ini merupakan salah satu program moderasi beragama yang sudah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Maka Menag menegaskan, sebagai institusi yang diberi amanah untuk menjadi leading sector, maka perlu memperkuat implementasi moderasi beragama. Artinya program ini akan gencar digalakkan hingga berhasil masuk ke kurikulum madrasah. 

Jika ditinjau dari definisinya, moderasi agama adalah jalan tengah yang mengedapankan nilai keadilan, dimana beragama atau berperilaku sesuai dengan porsi yang telah ada. Tidak ada intrik untuk melebihkan atau mengurangi sebuah ajaran sebagaimana yang banyak terjadi di era saat ini. Menurut, Haedar Nashir (Ketua Umum PP Muhammadiyah), pentingnya nilai moderasi dalam beragama merupakan pangkal menumbuhkan dan mengeksplorasi ajaran agama yang damai dan teduh. (okezone.com/06Juli2020)

Hal ini tentu menggerus makna agama Islam. Hakikatnya pelajaran PAI dapat menguatkan akidah para siswa. Islam dipelajari secara menyeluruh dan komprehensif, karena berasal dari Sang Pencipta, Allah swt. Selain itu, terdapat sejarah Nabi Muhammad saw mulai dari kelahirannya hingga wafatnya. Tentu menambah kecintaan kepada Islam, yang dengan dakwah Nabi Muhammad saw dapat dirasakan di seluruh penjuru dunia. 

Tak kalah penting, pelajaran bahasa arab pun tak akan dapat dilepaskan dari Islam. Sebab, bahasa arab merupakan bahasa Al Quran. Bahasa arab pun pemersatu kaum muslimin saat Islam berjaya dahulu. Dan suatu kewajiban bagi umat Islam untuk mempelajarinya. Akan sangat berbahaya jika harus dihapuskan atau diubah substansinya sesuai kebutuhan, karena akan hilang nilai murni yang terkandung di dalamnya. 

Maka, moderasi ajaran Islam menjadikan Islam tidak seutuhnya dipahami. Hakikatnya adalah mengubah ajaran Islam itu sendiri.  Yang sering dijadikan dasar bagi moderasi adalah istilah ummatan wasathon. Dalam Alquran surah Al Baqarah ayat 143, lafaz “ummatan wasathon” ditafsirkan Umat Islam Moderat. 

Maka “wasthu” di sini, menurut kamus Arab adalah Al-khiyar (terbaik) dan Al-hasabu (pilihan). Jadi ia adalah pilihan di antara kaumnya. Yaitu pilihan terbaik, umat terbaik, dan sebagai wasith. (muslimahnews.id/11Juli2020)

Jelaslah ummatan wasathon sebagai dasar moderasi tidak ada kaitannya sama sekali. Justru ini merupakan tuduhan radikal. Dan sangat tidak memiliki dasar jika umat Islam tak harus mempelajari Islam seutuhnya. 

Sayangnya langkah moderasi yang terstruktur dan masif sudah berlangsung. Memang program ini sama sekali tidak ada manfaatnya. Justru akan membawa umat ini semakin berpikiran sekuler radikal. Umat akan semakin jauh mengenal Islam yang sebenarnya. Islam hanya akan menjadi bentuk ibadah ritual sehari-hari di tengah kehidupan saat ini, bukan dalam bentuk penerapan aturan yang sempurna. 

Selain itu, program ini berbahaya pula bagi siswa/siswi di madrasah yang merupakan generasi penerus Islam kedepannya. Mereka mempelajari Islamnya hanya sebagian, pemahamannya pun tidak akan terstruktur, dan pasti akan berdampak pada pola sikap. Tak heran banyak generasi yang kehilangan jati diri pribadi sebenarnya. 

Itulah pendidikan di era demokrasi. Kurikulum yang terus berganti mengikuti pergantian para penguasanya menghasilkan siswa/siswi tak tahu arah. Asas yang digunakan adalah jalan tengah, tentu memberikan ruang kebebasan terhadap pemerintah dalam mengotak-atik kurikulum. Hasilnya, tak banyak siswa berprestasi dalam teorinya, tetapi buruk dalam sikapnya. 

Demokrasi sekuler akan memikirkan dengan keras agar umat Islam jauh dari ajarannya. Umat Islam hanya dicukupkan dengan ritual ibadah saja. Tak perlu banyak berpikir tentang penerapan Islam dalam lini kehidupan. Karena itu hal mustahil di abad ini. 

Berbeda dalam pandangan Islam, tujuan pendidikan adalah pembentukan syakhsiyah (kepribadian) Islamiyah siswa. Ini tentu akan berpengaruh pada generasi. Sangat berbahaya jika ajaran Islam diubah atau bahkan dihapuskan. Generasi terancam tidak lagi mengenal syariat Islam secara utuh.

Pendidikan Islam akan menjaga ajaran Islam tak terpotong-potong. Semua akan dikenalkan kepada siswa secara terperinci dan jelas. Disediakan pula guru atau pembimbing terbaik dalam pengajarannya. Siswa tak akan mengenal rasa bosan, lelah, atau malas dalam pembelajaran. Karena semua itu didasarkan pada kewajibannya menuntut ilmu, terutama ilmu agama. 
Wallahu'alam bi shawab

Posting Komentar

0 Komentar