New Normal Saat Keadaan Masih Abnormal, Haruskah?

Oleh : Mariyani Dwi (Anggota Komunitas Setajam Pena)

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Virus Corona Achmad Yurianto menyatakan bahwa, kasus Covid-19 di Indonesia kembali bertambah. Berdasarkan data pemerintah yang masuk hingga Selasa (30/6/2020) pukul 12.00 WIB, ada 1.293 kasus baru Covid-19 dalam 24 jam terakhir. Penambahan itu menyebabkan total ada 56.385 kasus Covid-19 di Indonesia, sejak kasus pertama diumumkan pada 2 Maret 2020 (kompas.com, 30/6/2020).

Hal ini ditengarai oleh adanya kebijakan pelonggaran PSBB ditengah kondisi ketidaksiapan masyarakat. Karena, walaupun pelonggaran PSBB harus dibarengi dengan kepatuhan terhadap protokol kesehatan seperti menggunakan masker, cuci tangan, dan jaga jarak, namun faktanya tak sedikit masyarakat yang masih abai. Hal ini dikarenakan minimnya edukasi pemerintah tentang bahaya penyakit tersebut. Justru pemerintah seolah mengopinikan kepada masyarakat bahwa virus tersebut tak perlu ditakuti. Wajar saja, narasi yang diusung pemerintah adalah "Berdamai dengan Corona", dan masyarakat pun menelan mentah-mentah maklumat tersebut.

Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dr. Panji Fortuna menilai, Pemerintah seharusnya fokus pada menekan angka virus dahulu ketimbang berfikir melonggarkan aturan demi ekonomi, agenda pemberantasanya tidak ada, narasi yang dibawa malah hidup berdampingan berdamai dengan corona. Ini masalahnya, kebijakan amburadul karena arahannya bukan memberantas. Kalau agendanya kuat untuk memberantas baru kita bisa menemukan jalan.

Senada dengan hal itu, dr. Iwan Ariawan juga menyatakan bahwa pelonggaran PSBB ditengan masih tingginya jumlah kenaikan kasus corona dinilai kurang tepat. Seharusnya  mengacu persyaratan WHO, kalau jumlah kasus tidak naik selama dua minggu baru bisa dilonggarkan bahkan ada negara yang menetapkan pelonggaran dilakukan kalau sudah menurun satu bulan, jadi sekarang kondisi di Indonesia belum aman untuk keluar dan bergerak, risikonya masih tinggi.

Sungguh mengerikan, kenaikan kasus hingga 1.293 per hari menjadikan bukti jika kebijakan pemberlakuan New Normal sangat tidak tepat, karena hanya akan mempertaruhkan jiwa masyarakat. Haruskah diberlakukan New Normal ketika  keadaan masih abnormal? Tentu, ini harus menjadi perhatian pemerintah dan segera menghentikan kebijakan ini demi keberlangsungan hidup rakyat.

Kelesuan ekonomi yang dialami para pelaku ekonomi besar atau kapitalis raksasa, harusnya tidak menjadi pendorong kuat pemerintah memberlakuakan New Normal. Apalagi dengan risiko mengorbankan keselamatan masyarakat luas. Ini adalah suatu tindakan zalim, karena pada hekekatnya institusi pemerintahan harusnya hadir sebagai pelindung, pemelihara, pengurus umat baik dari pemenuhan hajat pokok maupun dari gangguan fisik atau non fisik dari dalam maupun luar. 

Apalagi, Islam memandang jika pemimpin adalah pelindung dan penjaga atas rakyatnya. Begitu pula, Islam memandang nyawa adalah sesuatu yang sangat berharga. Nabi saw. bersabda,
Sungguh lenyapnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang Muslim.” (HR an-Nasai, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).

Untuk itu, memprioritaskan keselamatan nyawa rakyat adalah yang utama. Sehingga kebijakan tidak hanya mementingkan ekonomi semata. Itulah suatu kepimpinan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Wallahua'lam bish-showab.

Posting Komentar

0 Komentar