Oleh : War Yati (Pemerhati Kebijakan Publik)
Pembahasan RUU HIP tak henti-hentinya mendapat sorotan publik. Berbagai penolakan terjadi di setiap kota, termasuk di Sumedang. Ribuan warga dari gabungan Ormas, OKP, Dan LSM melakukan aksi damai di halaman gedung DPRD Kabupaten Sumedang, Minggu (12/7/2020).
Penolakan RUU HIP juga dinyatakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Sumedang. Mereka menyatakan sikap resmi terkait penolakan undang-undang tersebut saat melakukan audiensi dengan anggota DPRD Sumedang, Kamis 9 Juli.
Salah satu aspirasi yang dinyatakan warga Sumedang, mereka menuntut agar DPR RI tidak hanya menunda pembahasan RUU HIP, akan tetapi harus mencabutnya dari Prolegnas RUU Prioritas 2020. Selain RUU HIP tidak memiliki urgensi, RUU ini juga berpotensi menimbulkan konflik ideologi dan tentunya akan mengokohkan rezim sekular.
Dengan adanya RUU HIP, maka fungsi dan tujuan Pancasila akan berubah makna. Bab dalam RUU HIP banyak yang bertentangan dengan tujuan awal dibentuknya Pancasila. Maka, ini bentuk penghianatan terhadap Pancasila itu sendiri. Dengan RUU HIP, pemerintah ingin memposisikan sebagai penafsir dan pengguna tunggal Pancasila. Kalau sudah begini, maka peran masyarakat semakin dipersempit seperti dalam bab RUU HIP tentang partisipasi masyarakat yang hanya memuat 1 pasal.
Dibentuknya RUU HIP diduga kuat berbagai kalangan hanya dijadikan alat politik untuk mengokohkan rezim. Pancasila akan bisa dimanfaatkan sebagai alat penghubung kepentingan rezim dengan oligarki pemilik modal demi kepentingan politik dan ekonomi. Terbukti dengan RUU terdahulu yang menuai kontra di masyarakat akhirnya disahkan juga seperti UU Minerba dan UU corona, walau di masa pandemi.
Tidak tercantumnya TAP MPRS XXV/MPRS/1996 dalam RUU HIP akan memberikan peluang bagi penyebaran kembali paham komunis di indonesia. Pasalnya, dalam TAP MPRS inilah terdapat aturan pelarangan ajaran komunisme/marxisme dan lenimisme.
Memang benar jika budaya adalah warisan leluhur yang harus dipelihara dan dipertahankan selama tidak bertentangan dengan ajaran agama. Akan tetapi, jika meletakan agama sebagai bagian dari kebudayaan ini sudah melenceng dan menyalahi fitrah. Agama adalah wahyu dari Allah sebagai bentuk keimanan dan ketaqwaan, karena di dalam agama terdapat peraturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian, jelaslah bahwa RUU HIP hanya alat untuk melegitimasi pendapat dan penapsiran yang keliru.
Adapun yang menuai kontroversi diantaranya bahwa di dalam RUU HIP mereduksi makna kedudukan agama dengan menyebut beragama menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Bagaimana mungkin manusia beragama didasarkan pada sifat-sifat kemanusiaan yang serba lemah dan terbatas? Padahal, sudah jelas bahwa agama datangnya dari wahyu Allah dan harus berdasar pada keimanan dan ketakwaan.
0 Komentar