Oleh : Astriani Lydia,S.S (Aktivis Komunitas Parenting Ibu Tangguh Bekasi)
Orang tua murid khususnya di wilayah DKI Jakarta, beberapa hari ini dibuat tidak tenang. Hal ini karena sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ini menggunakan seleksi berdasar usia, dimana anak yang usianya lebih tua diprioritaskan untuk diterima. Pemangku kebijakan negeri dirasakan kurang memikirkan nasib anak-anak yang usianya kurang atau yang pernah loncat kelas. Di tengah kondisi pandemi yang tidak menentu pemerintah pun dinilai semakin membebani rakyatnya.
Dilansir dari KOMPAS.com (30/06/2020), Anggota Komisi X DPR RI Putra Nababan menyebutkan bahwa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Nahdiana justru menambah beban calon orang tua murid lantaran kisruh PPDB. Putra mengatakan, sebagian orang tua dianggap sebagai masyarakat yang terdampak Covid-19, terutama dari segi ekonomi. “Kalau kita lihat DKI Jakarta sebagai epicentrum Covid-19, saya betul-betul merasakan (kesulitan) dari warga DKI Jakarta. terutama kondisi ekonomi. Mereka di rumah saat ini masih semaput. Dimana ada siswa yang tidak bisa membayar biaya sekolah karena orangtuanya (kehilangan pekerjaan), “ kata Putra di ruang rapat Nusantara II, DPR RI, Selasa (30/06/2020)
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta meminta Gubernur DKI Anies Baswedan merevisi aturan PPDB 2020-2021 di Jakarta karena dinilai tidak sesuai dengan Permendikbud N0. 44 tahun 2009. LBH meminta proses penerimaan siswa baru di jadwal ulang. Anggota LBH Jakarta, Nelson menyoroti aturan terkait zonasi usia yang menjadi prioritas dalam PPDB tahun ini. padahal menurutnya, dalam Permendikbud yang menjadi prioritas adalah zonasi wilayah. Kemudian zonasi usia menjadi pertimbangan ketika jumlah kapasitas melebihi batas.( detikNews, 28/06/2020)
Adapun Komisi Nasional Perlindungan Anak meminta PPDB DKI Jakarta tahun ini dibatalkan atau diulang. Alasannya, kebijakan batas usia yang diterapkan Dinas Pendidkan DKI Jakarta dinilai bertentangan dengan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019. Komnas Anak mendapat banyak laporan terkait syarat usia tersebut. Imbasnya, banyak siswa yang tidak mendapatkan sekolah padahal siswa tersebut memiliki nilai akademik yang tinggi. “Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 salah dilaksanakan dan diterjemahkan dalam juknis Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Kami menyebutkan gagal paham dari Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019,” kata Ketua Komnas Anak, Arist Merdeka Sirait di tvone, Minggu, 28 Juni 2020. “Karena apa? Karena penerapan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 di tempat yang lain seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Batam, Riau, itu tidak bermasalah, karena dia menerapkan Pasal 25 ayat 1 yang mengedepankan afirmasi zonasi, jarak dan paling akhir nanti usia untuk kuota berikutnya,” ujar Arist. (VIVAnews, 28/06/2020)
Pada akhirnya orang tua pun harus bersiap mencari sekolah swasta jika sekolah negeri di zona mereka tak ada yang menampung. Karena di sekolah swasta tidak berpatokan pada zonasi umur ataupum wilayah. Padahal biaya untuk bersekolah swasta tentu tidak murah, apalagi di masa pandemi seperti sekarang ini. Nampak sudah kelemahan negara dalam menjamin terpenuhinya hak mendapatkan pendidikan bagi rakyatnya. Negara pun dinilai gagal melaksanakan kewajibannya secara utuh dalam penyelenggaraan pendidikan.
Menengok sepanjang sejarah berlangsungnya Islam, tidak ditemui pemberlakuan seleksi pendidikan berdasarkan zonasi dan juga usia. Islam membuka pintu selebar-lebarnya bagi siapa saja yang ingin menuntut ilmu di usia muda maupun usia senja. Negara juga akan membangun sekolah-sekolah berkualitas dan memberikan kesempatan kepada seluruh rakyat untuk memilih sesuai dengan minat dan keinginannya. Tercatat Nizamiyah di Baghdad, Al-Azhar di Mesir, al-Qarawiyyin di Fez, Maroko, dan Sankore di Timbuktu, Mali, Afrika, dan.masih banyak lagi. Masing-masing lembaga ini memiliki sistem dan kurikulum pendidikan yang sangat maju ketika itu. Dari beberapa sekolah itu, berhasil melahirkan tokoh-tokoh pemikir dan ilmuwan Muslim yang sangat disegani. Misalnya, al-Ghazali, Ibnu Ruysd, Ibnu Sina, Ibn Khaldun, Al-Farabi, al-Khawarizmi, al-Ferdowsi dan lain sebagainya.
Dari sisi usia, Imam Bukhari telah meninggalkan Bukhara pada usia 6 tahun untuk menuntut ilmu. Banyak negeri-negeri muslim juga yang disinggahinya. Semangat belajarnya membuat ia tak ragu menempuh perjalanan jauh dan penuh risiko di usia semuda itu. Ada juga Imam Al-Ghazali yang belajar kepada para ulama pada usianya yang belum genap 10 tahun serta belajar ke banyak negeri seperti Madinah, Mekah, Mekah hingga ke Baytul Maqdis. Tercatat pula Sholeh bin Kaisan yang menuntut ilmu di usia 70 tahun dan memiliki kemampuan mengingat hadits yang luar biasa. Beliau merupakan salah satu guru Khalifah Umar bin Abdul Azis.
Karena itulah maka Khalifah sebagai kepala negara bertanggung jawab untuk menyelenggarakan dan memfasilitasi pendidikan bagi semua warga negaranya. “Seorang imam (Khalifah/kepala Negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari)
Khalifah pun harus memastikan setiap warga negara dapat terpenuhi kebutuhan pendidikan secara mudah. Swasta diperbolehkan untuk mendirikan sekolah namun keberadaannya tidak mengambil alih dan menggeser tanggung jawab negara. Alhasil pendidikan dapat berlangsung dengan baik tanpa ada yang merasa terzhalimi. Sehingga lahir darinya para ulama, cendikiawan dan ilmuwan-ilmuwan yang beradab, berilmu serta bertakwa kepada Allah Swt.
Wallahu a’lam bishshawab
0 Komentar