Oleh : Muthi Nidaul Fitriyah (Penulis, Penggiat Opini Islam)
Para pengusaha, pemilik proyek selalu mencari celah, bagaimana agar bisnis tetap berjalan sehingga ekonomi tetap stabil dan target ekonomi tetap tercapai meski di tengah pandemi. Seperti pembangunan lingkar utara Jatigede yang sempat tertunda karena pandemi Corona.
Pemkab Sumedang berencana melanjutkan pembangunan kawasan Jatigede pada tahun ini. Bupati Sumedang, Donny Ahmad Munir memastikan pembangunan tahun ini akan segera terealisasikan, dimulai dari akses jalan menuju kawasan Jatigede.
"Untuk mengembangkan wisata jatigede ini, salah satunya adalah akses jalan yang harus terpenuhi. Jadi itulah lingkar utara ini salah satu akses jalan yang strategis menuju tempat pariwisata Jatigede," katanya. Dia menuturkan tahun ini telah dibangun 3,8 kilometer dengan biaya Rp 27 miliar lebih dari kementerian PUPR. Dengan total keseluruhan panjang jalan 11 kilometer. (detik.com, 18/6/2020).
Jatigede digadang-gadang sebagai salah satu aset yang bisa menyejahteraan rakyat Sumedang melalui sektor pariwisata. Maka promosi dan penyempurnaan kawasan wisata terus dilakukan untuk menarik para wisatawan lokal maupun asing. Bila kita telusuri, proyek-proyek lingkar Utara Jatigede sejatinya bukanlah untuk kepentingan rakyat akan tetapi para pemilik modal, para pengusaha dan para investor.
Sekalipun pariwisata menjanjikan mampu menghasilkan keuntungan besar, tetap saja keuntungan masuk ke kantong-kantong para kapitalis, sedang rakyat tidak benar-benar mencicipi dari keuntungan tersebut, apalagi bisa sejahtera dari adanya bisnis pariwisata.
Sistem Kapitalisme Demokrasi ini begitu liberal dan menghalalkan segala cara dalam dalam bernegara, terutama dalam ketahanan ekonomi. Setiap orang bebeas memiliki apapun termasuk barang tambang yang bisa memenuhi hajat orang banyak dan setiap orang bebas melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, meski harus merugikan sebagian yang lainnya.
Islam memandang bahwa, proyek-proyek strategis yang berkaitan dgn hajat orang banyak dan kepemilikan umum seperti jalan, harus dikelola oleh Negara, tidak boleh oleh swasta. Karena jika dikelola oleh swasta, orientasinya adalah profit. Sementara jalan adalah sesuatu yang dibutuhkan masyarakat banyak.
Dalam Islam pemasukan negara adalah dari kepemilikan umum (benda-benda yang dibutuhkan dan menguasai hidup orang banyak), yaitu barang tambang dan hutan. Rasulullah bersabda, “Kaum muslim bersekutu dalam tiga hal air, padang rumput dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibn Majah)
Kepemilikan Negara, yaitu harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin yang dikelola oleh Negara. Seperti zakat, pajak dari orang kafir dzimmi/jizyah, pajak tanah taklukan (kharaj), ghanimah, harta orang murtad serta harta yang tidak mempunyai ahil waris.
Maka pariwisata tidak pernah menjadi aset untuk menjamin kesejahteraan rakyat. Jalan dan tempat-tempat wisata tetap menjadi fasilitas umum, boleh dinikmati oleh siapapun dan Negara jelas mengharamkan untuk di privatisasi oleh swasta maupun individu.
Wallahu a’lam bi shawab
0 Komentar