Oleh: Hj.ESA Mardiah
"Suamiku pelit...," aku membatin ketika menerima uang darinya untuk pertama kali.
"Ini untuk adik, ini untuk mas, sisanya kita tabung ya." Waktu itu aku diam saja biar dianggap qanaah dan istri salehah.
Terlebih ketika dia tidak setuju aku bagi-bagi angpao lebaran sama anak-anak kecil. Menurutnya itu tradisi yang kurang mendidik. Memberi hadiah pada orang tuanya saja itu lebih baik. Lagi-lagi aku turuti walau menggerutu dalam hati.
"Suamiku ngirit...," aku mulai menerka-nerka ketika pengantin baru aku diajaknya mudik naik bis ekonomi. Alasannya sih gak kuat AC karena lagi sakit. Padahal debu dan asap rokok sama mengganggu pernafasan kita kok.
Terlebih ketika pindahan ke desa tempat aku bekerja, dia maksa ngeteng naik angkot saja. Bawa kompor, panci, penggorengan sungguh merepotkan. Padahal saat itu nenek menawarkan mobilnya sekaligus ingin ikut mengantarkan. Aku cuma menghela nafas panjang, duh...sabar.
"Suamiku terlalu...," ketika dia memilih sehelai kasur tipis untuk kami berdua. Walau dengan alasan takut terlalu nyenyak dan malu sama Rasulullah saw yang tidurnya hanya beralas pelepah kurma sampai membekas di pinggangnya. Aku menurut saja walau sebenarnya aku juga malu sama keluarga dan tetangga, bu bidan dan tukang insinyur kok hidupnya susah.
"Suamiku belagu...," ketika tahun pertama menikah dia sudah ngajak kurban pas idul adha. Kontrakan saja nyicil bulanan. Belum mikir makan dan biaya adik-adik sekolah. Lah..."kurban" perasaan iya.
Kali ini aku angkat bicara, "kurbannya lain kali saja, kita belum mampu."
"Kita latihan dik, semampunya," dia bersikukuh. Jadilah kurban pertama kami kambing 'anaknya'. Walau malu sama panitia, kepergok teman puskesmas pula. Dia membesarkan hati.
"Tahun besok InsyaAllah kita kurban yang lebih besar."
"Kalau kurban ini tidak sah karena terlalu kecil?" tanyaku khawatir.
"Anggap saja sedekah daging." Jawabnya sambil nyengir.
Aku merenung, kali ini memuji diam-diam.
Jadi mengingat percakapan pertama setelah khitbah.
"Kalau jadi istriku nanti, mau tidak aku ajak ke Mekkah?"
Hati siapa yang tidak berbunga-bunga.
Aku tersenyum memilih tidak menjawab. Laki-laki ini penampilannya sederhana. Tapi masa iya sih bohong, kan dia aktivis dakwah. Jangan-jangan habis nikah dia mau jadi TKI ke Arab sana. Apa iya ?
Beberapa kali aku merayu biar mudik tidak nge-bis saja, dia hanya tersenyum.
"Sabar ya, nanti sepulang haji baru kita nabung untuk beli mobil."
"Haji kan lama nunggunya...," rungutku manja.
"Yang penting sudah daftar, terserah Allah panggil kita kapan," selalu itu jawabnya.
Dan serasa tak percaya ketika cita-cita itu Allah takdirkan nyata. MasyaAllah, Alhamdulillah.
Labaikallahumma labaik... labaikalaa syarika laka labaik..
Keinginan kuat, memilih aulawiyat, itu yang dia ajarkan padaku. Tak mengapa kita berjuang lebih berat. Meninggalkan kesenangan apalagi jika hanya sekadar untuk terlihat hebat. Ada yang lebih nikmat. Ketika semua ditujukan untuk menggapai taat. Meraih rida sang pemberi selamat...
Aku memang tak sebaik bunda Hajar, maaf...
0 Komentar