Oleh : Astri Ummu Zahwa, S.S (Pengisi beberapa Majelis Ilmu)
Pemerintah akan mengatur pesangon dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja. Perhitungan pesangon tersebut diatur dalam Bab IV mengenai Ketenagakerjaan Pasal 156. “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja.” Bunyi pasal 156.
Kendati demikian, perubahan itu memunculkan penolakan dari sejumlah kalangan aktivis buruh atau pekerja. Dalam Undang-Undang (UU) nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, pesangon diberikan oleh pemberi kerja kepada pekerja yang terkena PHK dengan besaran maksimal hingga 32 kali upah bulanan. Sementara dalam RUU Cipta Kerja, pemberian pesangon maksimal sebesar Sembilan kali upah bagi buruh yang masa kerjanya 8 tahun atau lebih. (KOMPAS.com, 14/7/2020)
Dilansir dari bantuanhukum.or,id (25/4/2020), dengan diboyongnya draf RUU Cipta Kerja ke DPR, pemerintah sedang mengingkari amanat konstitusi yang dipikul. Sebab, substansi yang dikandung dalam RUU Cipta Kerja sangat jauh arang dari api. Untuk merealisasikan iklim kerja yang produktif dan berkualitas pemerintah harus mengawali dengan memberikan perlindungan maksimal bagi kaum pekerja yangn menjadi fondasi perekonomiannya. Artinya, pekerja harus dilihat sebagai subjek, bukan sekedar objek. Sayangnya, piramida kebijakan yang digunakanpemerintah dalam RUU Cipta Kerja justru terbalik, menempatkan pengusaha pada hirarki proteksi tertinggi sementara menempatkan pekerja pada lapisan terbawah.
RUU Cipta Kerja mengusung tema fleksibilitas tenaga kerja sebagai wacana utama. Sayangnya, iming-iming tenaga kerja fleksibel hanya manis bagi pengusaha, namun tidak memberi jaminan perlindungan bagi pekerja. Seolah menutup mata pada realitas bahwa model-model hubungan kerja fleksibel yang ada selama ini justru serinngkali berubah anomali, karena selain memperparah eksploitasi pekerja, produktivitas pekerja juga terganggu karena dihantui oleh ketidakpastian nasibnya paska hubungan kerja berakhir. Pemerintah seakan menempatkan pekerja sebagai pihak yang paling m,embutuhkan pekerjaan. Jelas bahwa dalam posisi tawar yang lemah, pekerja tentu tidak punya banyak pilihan. Realitas itu tidak bisa dijadikan alasan menjustifikasi rregulasi. Sebab jika hal itu dilakukan, pekerja akan semakin rentan tereksploitasi model perbudakan modern yang tiap saat terus berkembang modusnya.
RUU Cipta Kerja juga menciptakan ketidakpastian bagi para pekerja, pasalnya beberapa ketentuan yang mengatur mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau yang lebih dikenal sebagai ‘kerja kontrak’ telah diubah dan dihapus oleh draf RUU Cipta Kerja. Perubahan dan penghapusannya kemudian menciptakan sistem kerja kontrak seumur hidup. Dan lebih jauh lagi, pekerja semakin tidak memiliki jaminan kepastian atas pekerjaannya. RUU Cipta Kerja menambahkan klausul jangka waktu atau selesainya pekerjaan tertentu “ditentukan berdasrakan kesepakatn para pihak”, yang pada praktiknya memberikan keleluasaan kepada pengusaha untuk memurtuskan secara sepihak. Sebab dalam posisi subordinasi, pekerja tidak memiliki posisi tawar yang setara ketika berhadapan dengan pengusaha. Sehingga, kesepakatan yang dimaksud hanya sekedar formalitas .
Bagaimana hal ini dapat terjadi? Tidak lain akibat sistem ekonomi kapitalis-liberal yang digunakan oleh pemerintah. Sistem ini memungkinkan negara asing untuk menancapkan kekuasaannya di negeri ini. Di dalam Islam, pengurusan rakyat dalam seluruh aspek kehidupannya ada di dalam tanggung jawab negara. Termasuk urusan ekonomi, negara harus mengontrol kondisi perekonomian agar rakyat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Persoalan pemenuhan kebutuhan pokok, baik kebutuhan akan barang, seperti pangan, sandang dan papan maupun jasa seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan adalah akar penyebab utama sekaligus faktor pendorong terjadinya permasalahan ketenagakerjaan. Terjadinya kelangkaan lapangan kerja menyebabkan sebagian anggota masyarakat menganggur dan ini berdampak pada ketidakmampuan mereka memenuhi kebutuhan hidupnya. Penyelesaian berbagai masalah ketenagakerjaan perlu tetap dilakukan untuk mencari solusi yang paling baik untuk kedua belah pihak. Tidak ada yang terzalimi baik pekerja maupun pengusaha. Pemerintah sebagai pengawas dan penengah, jika terjadi persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh pengusaha dan pekerja. Dengan mengkaji secara mendalam hukum-hukum Islam, kita dapati bahwa Islam sebagai sebuah sistem kehidupan berusaha mengatasi berbagai persoalan yang muncul dalam ketenagakerjaan secara fundamental dan komprehensif.
Solusi yang ditawarkan Islam bukanlah solusi yang tambal sulam melainkan solusi yang fundamental dan komprehensif terhadap persoalan-persoalan masyarakat, termasuk masalah ketenagakerjaan. Di sisi lain, negara akan mengoptimalisasi Sumber Daya Alam yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan menyejahterakannya yang dikelola sesuai syariat Islam atas dasar keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Sebagaimana firman Allah Swt:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Q.S. Al-A’raf:96)
Sudah saatnya kita mencampakkan sistem Kapitalis-Liberal biang keladi segala permasalahan hidup dan kembali pada sistem Islam solusi setiap permasalahan hidup. Maka jika kita menginginkan kehidupan yang berkeadilan dan senantiasa diberkahi Allah Swt, saatnya kembali kepada sistem Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyah.
Wallahu a’lam bishshawab
0 Komentar