Oleh : Mirawati
Disaat kondiisi pandemi cov19 masih terus meningkat tidak hanya dampak kesehatan akan tetapi berdampak pula dari sisi ekonomi dalam hal keuangan hampir semua kalangan termasuk adalah mahasiswa yang masih berjibaku dalam menuntut ilmu di universitas.Tentu, kondisi saat ini tidak mudah dalam menjalankannya. Jika sebelum masa pandemi saja ada sebagian mahasiswa tidak hanya disibukkan kuliah akan tetapi disambi dengan tuntutan pekerjaan demi menambah pundi-pundi keuangan mereka yang tentunya tidak cukup hanya berharap dari orang tua, dan hal ini yang terjadi bagi mahasiswa menengah kebawah.
Sudah lazim bahwa dalam dunia pendidikan terkhusus universitas saat ini tidaklah murah dan mudah, apakah kuliah tersebut unggulan maupun non unggulan, negeri ataupun swasta? Meskipun tidak dipungkiri ada juga yang mendapatkan beasiswa akan tetapi kualifikasi dan jangkauan tidak merata. Belum lagi terkait administrasi dalam hal ini juga memiliki peran penting semisal mereka berprestasi dan tergolong miskin.
Keadaan dilema ini menambah beban mahasiswa yang tidak mendapatkan kompensasi baik dari universitas dan kebijakan dari rezim terkait biaya kuliah, apa tah lagi mereka kuliah daring dengan menggunakan quota yang tidak sedikit, sehingga biaya perkuliahan bertambah. Dan rata-rata biaya perkuliahan jutaan rupiah dalam persemesternya, belum lagi dengan biaya-biaya yang lain seperti biaya praktikum. Inilah sebagian yang terkait dengan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan harus diselesaikan oleh mahasiswa persemester yang dilaksanakan oleh setiap universitas berdasarkan aturan dari pemerintah dalam hal regulasi dalam kebijakannya. Yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah ditingkat universitas .
Meskipun pada akhirnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) meluncurkan kebijakan baru terkait dukungan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan dana bantuan UKT mahasiswa untuk tetap dapat menghadirkan akses layanan pendidikan secara optimal di masa pandemi. Kebijakan tersebut dimuat dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 25 Tahun 2020 mengenai Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kemendikbud yang mengatur tentang mekanisme penyesuaian UKT.
Sebelumnya, di awal Juni, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi menuntut untuk mengadakan audiensi dengan Mendikbud Nadiem Makarim, salah satunya mengenai beban UKT yang dinilai memberatkan selama pandemi.(pikiranrakyat.com).
Jika demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa didepan mendikbud akibat tidak ada kompensasi UKT, dalam pembiayaan perkuliahan, yang kemudian direspon oleh pihak menteri pendidikan Nadim Makarim yang hanya bersifat reaktif. Andaikan tidak protes maka dia akan membiarkan itu terjadi. Begitulah sikap rezim yang reaktif dan tidak pernah akan tahu permasalahan. Justru masalah selalu ada bahkan seperti bola salju.
Dalam Perkembangannya kampus yang memang sudah beberapa kali perubahan bentuk universitas dari Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kemudian Badan Hukum Pendidikan (BHP) hungga hari ini menunjukkan dengan lugas bahwa pendidikan dikampus adalah kemandirian kampus dalam pengelolaan secara mandiri atau dengan kata lain liberalisasi dunia pendidikan yang orientasinya pada komersialisasi.
Mahalnya UKT bukan terjadi secara tiba-tiba, kebijakan BHMN ditahun 2000 silam yang berubah nama dengan nafas yang sama menjadi PTN BH ditahun 2016 merupakan Perguruan Tinggi Negeri yang didirikan oleh pemerintah yang berstatus sebagai badan hukum publik otonomi. Sebelum itu terdapat UU PT tahun 2012, pembiayaan PT adalah tanggungjawab masyarakat, industri, dan negara. Masyarakat dan industri menjadi tameng untuk pembiayaan pendidikan atas nama otonomi kampus. PT dibiarkan oleh pemerintah untuk mencari dana sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk menyerap mahasiswa sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan pemasukan melalui UKT.
Selain itu, konsekuensi keterlibatan indonesia dengan perjanjian internasional menjadikan Indonesia mendatangani General Agreement on Trade In Service (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, akuntan, pendidikan dan jasa lainnya. Realitas diatas menunjukkan bahwa negara tidak lagi berperan besar dalam menanggung sepenuhnya atau subsidi,akan tetapi akan dibebankan oleh peserta didik dalam hal ini adalah Mahasiswa. Maka tidak heran jika diawal penerimaan mahasiswa baru(maba) memilki jalur- jalur dengan level masing-masing dan yang terlihat menonjol komersilnya adalah jalur kemandirian meskipun juga atas nama prosedural dan administrasi.
Problem UKT hanyalah sebagian kecil yang menimpa dunia pendidikan dikampus didasarkan pada realitas bahwa dunia pendidikan dinegeri ini berbasis sekularisme kapitalisme dengan turunannya adalah liberalisme (kebebasan) yang dinampakkan atas istilah 'kemandirian', meskipun dengan berbagai tes seleksi masuk universitas yang juga sifatnya terbatas terkhusus kampus negeri. Jika tidak mampu memenuhi quota maka pihak kampus swasta sebagai alternatif bagi yang tidak terjaring atau lulus. Semua dasarnya adalah bukan murni nllai akan tetapi lebih nampak adalah komersilnya.
Dalam sistem pendidikan kapitalisme, liberalisasi pendidikan tidak hanya universitas akan tetapi semua jenjang adalah hal yang lumrah, dimana peran negara hanya sebatas regulator dalam hal ini pembuat aturan-aturan kebijakan bahkan pada saat yang sama sebagai 'wasit'. Namun, jika mengancam eksistensi kapitalisme sebuah rezim maka aturan tersebut bisa berubah sesuai keadaan. Akan tetapi, landasan sesungguhnya adalah bagaimana pendidikan tersebut dapat menghasilkan profit. Adapun dana 20% untuk pendidikan hanyalah lipservice agar 'seolah' negara ini bertanggungjawab. Padahal faktanya realisasi dana pendidikan tersebut masih jauh, justru pendanaan yang diperoleh kampus lebih banyak dari keriasama pihak swasta,pendonor dan mahasiswa itu sendiri. Maka jika merujuk pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tujuan pendidikan itu mencerdaskan kehidupan bangsa masih tataran normatif bahkan naratif. Negeri telah merdeka hampuir 76 tahun akan tetapi nampaknya output peradaban yang dihasilkan masih jauh dari kecerdasan yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Kapitalisme mendefenisikan kecerdasan itu adalah profit oriented, menghasilkan materi meskipun kecerdasan setiap insan pendidik itu merusak. Sudah banyak faktanya betapa banyak yang korupsi justru dilakukan oleh orang-orang yang cerdas, jikapun dibandingkan dengan kejahatan lain hanya sebagian kecil mengenyam pendidikan. Apatah lagi sampai kuliah hanya sebatas mimpi.
Pendidikan merupakan jantung peradaban, ketika pengelolaan pendidikan telah terintervensi maka kedaulatan suatu negara pun patut dipertanyakan. Ketidak jelasan visi mengakibatkan kesalahan pengelolaan negara, negara kita tidak akan menjadi negara besar jika masih terus didikte malah jatuhnya negara kita hanya dimanfaatkan oleh negara lain. Oleh karena itu dibutuhkan visi yang kuat dan jelas yang akan melahirkan kemandirian dalam pengelolaan negara. Visi yang kuat dan jelas haruslah terlahir dari arah pandang kehidupan yaitu ideologi. Ideologi pun haruslah berasal dari Sang Pencipta yaitu Allah subhanahu wa ta'ala, maka ideologi Islam sebagai visi negara merupakan pondasi yang kuat dan jelas untuk membangun peradaban yang agung.
Hal ini pun telah dicontohkan pada masa kekhilafahan Abbasiyah, Islam menjadi mercusuar peradaban, peletak dasar ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita pun tak asing dengan nama Ibnu Sina, Al Khawarizmi, Ibnu Khaldun, Imam Al Ghozali dan sebagainya.Terciptanya para ilmuan muslim masa Abbasyiah menjadi bukti Khilafah memiliki visi ideologi yang jelas dan kuat. Sistem pendidikan harus ditopang oleh ekonomi dan politik sehingga terciptalah kurikulum yang berasal dari akidah islam, pembiayaan pendidikan murni dari negara diberikan gratis untuk seluruh lapisan masyarakat kaya maupun miskin, muslim maupun non muslim tanpa pandang bulu.
Indonesia tentunya bisa mencotoh apa yang telah dilakukan Khilafah abbasiyah apalagi Indonesia memiliki kekayaan SDA yang melimpah ruah, ketika kekayaan itu dikelola dengan bijak tanpa ada intervensi asing maupun aseng niscaya UKT tak akan pernah ada di Indonesia, kurikulum pun fokus pada akidah islam bukan untuk kepentingan bisnis sehingga akan menghasilkan output yang tak hanya pintar secara akademik tapi juga fakih dalam agama serta ilmunya bermanfaat bagi seluruh makhluk. Hal ini bisa tercipta ketika negara kita mengambil Islam sebagai jalan hidup. Karena Pendidikan adalah tanggungjawab negara dalam mengurusi dan memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya salah satunya adalah pendidikan. Sebagaimana dalam Hadits Nabi :
الإِÙ…َامُ رَاعٍ ÙˆَÙ…َسْئُولٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari)
Allahu 'allam bishowwab.
0 Komentar