Zalimnya Omnibus Law Terhadap Tenaga Kerja Indonesia

Oleh : Puji Ariyanti (Pegiat Literasi)

Revisi Omnibus Law dipaksakan segera selesai dan pengesahan bisa segera dilakukan, mengingat ada kebutuhan mendesak untuk memastikan iklim kondusif investasi demi penciptaan lapangan kerja massal. Menurut anggota Komisi I DPR Willy Aditya dalam diskusi virtual Crosscheck Medcom.id bertajuk ‘Percepatan Digitalisasi Penyiaran', Omnibus Law selesai Agustus 2020.

Kalangan pengusaha berharap agar Omnibus Law segera disahkan. Mereka berpendapat bahwa Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) berpotensi membawa angin segar bagi iklim investasi dan berpotensi membuka lapangan kerja.

Menurut Ketua Komite Tenaga Kerja dan Jaminan Sosial untuk Upah Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Aloysius Budi Santoso mengatakan, pandemi covid-19 telah membawa dampak besar bagi perekonomian Indonesia. Dibutuhkan investasi yang cukup besar guna mendongkrak perekonomian Indonesia pascapandemi.

Budi mengatakan, dengan Omnibus Law Ciptaker diharapkan terjadi perubahan struktur ekonomi yang akan mampu menggerakkan semua sektor. Hal itu juga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi mencapai 5,7 hingga 6 persen.

Tentu saja rencana pemerintah melakukan deregulasi melalui Omnibus Law kembali mendapat penolakan dari kalangan buruh. Sebab, substansi RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja potensi menurunkan kesejahteraan bagi pekerja seluruh Indonesia. Karena dari mekanisme penyusunan revisi saja sudah nampak arogansi pengusaha yang tuntutannya dominan dalam revisi RUU tersebut. Sementara serikat pekerja mengkhawatirkan makin rendahnya pembelaan terhadap pekerja saat terjadi konflik dengan pengusaha karena hak DPR dan serikat pekerja dikebiri.

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) merespon dengan menyatakan keluar dan mengundurkan diri dari tim teknis bentukan kementrian ketenagakerjaan (Kemenaker) ini, saat   membahas Omnibus Law RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan. Alasannya, serikat pekerja tak mau jadi alat legitimasi dan tukang stempel pengesahan RUU.REPUBLIKA.CO.ID (13/7/'20).

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mencatat sedikitnya ada 6 dampak buruk Omnibus Law bagi kaum pekerja di Indonesia. Antara lain Omnibus Law rencananya akan menghilangkan upah minimum dan menggantinya dengan penerapan upah per jam, penghapusan pesangon, jaminan sosial, sangsi pidana bagi pengusaha, perluasan jenis pekerjaan yang bisa di-outsourcing, hingga masuknya tenaga kerja asing unskill. Meskipun ada pernyataan yang menyebut buruh dengan jam kerja minimal 40 jam sepekan akan mendapat upah seperti biasa, tapi bagi buruh dengan jam kerja kurang dari 40 jam akan mendapat upah di bawah minimum Redaksi Hukumonline (7/1/2020).

Kaum pekerja dan umat saat ini membutuhkan riayah ketenagakerjaan sistem Islam yang mengeliminir terjadinya konflik antara pekerja dan pengusaha serta memberi solusi paripurna atas problem ketenagakerjaan.

Di dalam sistem Islam keadilan sangatlah nampak. Baik terhadap pekerja maupun pengusaha. Mereka sama-sama tidak terbebani biaya pendidikan, kesehatan, keamanan dan lain sebagainya. Negara hadir dalam pemenuhan hajat rakyatnya, bahkan tidak ada pajak mencekik. Juga kehidupan ekonomi relatif stabil karena tidak ada inflasi permanen yang membuat harga barang meroket.

Dalam Islam, ada dua acuan pengupahan: [1] upah berdasar manfaat kerja. [2] upah berdasar manfaat (kehadiran) orang. Pada model manfaat kerja, dimungkinkan upah dihitung berdasar jam kerja. Bila sebentar bekerja, tentu lebih sedikit upahnya dibanding yang jam kerjanya lebih lama.

Inilah sistem yang hari ini dibutuhkan kaum buruh, yang menghadirkan peran negara secara utuh untuk menjamin terpenuhinya hajat asasi rakyat. Bukan hanya hadir untuk meregulasi  hubungan harmonis tanpa konflik antara buruh dan pengusaha. Wallahu'alam Bissawab

Posting Komentar

0 Komentar