Zonasi : Deskriminasi Pendidikan

Oleh : Putri Irfani S, S.Pd (Pendidik dan Aktivis Muslimah Medan)

Mendambakan pendidikan berkualitas, berfasilitas unggul, sekaligus berbiaya ramah bahkan gratis, saat ini ibarat  mimpi di siang bolong. Betapa tidak, kalau orang tua ingin menyekolahkan anaknya di sekolah yang bagus, fasilitas serba lengkap, itu hanya bisa didapatkan dengan merogoh pundi-pundi puluhan bahkan ratusan juta.

Bagi mereka yang tidak punya pundi-pundi kekayaan, maka akan membuang jauh angan-angan menyekolahkan anaknya di gedung mewah yang  dipenuhi fasilitas lengkap. Lalu cukuplah bersenang hati memasukkan anaknya ke sekolah negeri atau sekolah swasta pinggiran yang umumnya berfasilitas ala kadarnya.

Bahkan yang lebih menyakitkan, baru-baru ini mencuat kembali PPDB zonasi usia sehingga membuat khawatir dikalangan orang tua terhadap pendidikan buah hati tercinta. Sejumlah orang tua pun melakukan aksi di depan Gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Jakarta Pusat, Senin (29/6/2020). Dalam aksi tersebut, para orang tua murid memprotes sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) DKI Jakarta yang seleksi penerimaannya berdasarkan usia. Beberapa dari peserta bahkan menggunakan atribut sekolah sebagai bentuk protes bahwa murid yang lebih tua lebih diuntungkan dalam PPDB tahun ini.

Salah seorang koordinator demonstrasi PPDB, Agung, mengatakan bahwa seleksi berdasarkan usia dalam PPDB merupakan bentuk diskriminatif terhadap siswa-siswi yang berusia lebih muda. "Faktor usia tidak bisa dijadikan parameter untuk menilai seorang siswa-siswi kurang mampu secara ekonomi," ujarnya Senin di depan Gedung Kemendikbud, Senin (29/6/2020).

Kekecewaan para orang tua membuncah. Mereka menuntut agar kebijakan pembatasan usia dibatalkan. PPDB dengan aturan zonasi usia dianggap sebagai bentuk ketidakadilan. Kebijakan zonasi ini bukan pertama kali dikritisi. Sejak awal diterapkan telah menuai pro-kontra di tengah-tengah masyarakat. padahal persoalan usia, ujian, nilai dan lain-lain itu hanyalah hilir dari persoalan hulu yang tak kunjung selesai. Ya, kebijakan ini telah menunjukkan ketidakmampuan pemerintah memberikan pendidikan yang merata bagi seluruh rakyatnya. 

Hal ini semakin menampakkan ketimpangan antarsekolah. Sehingga muncul istilah sekolah favorit. Sekolah-sekolah swasta menjerit, terutama yang minim peminat. Akhirnya beberapa di antaranya terpaksa gulung tikar. Tahun lalu misalnya, ada sekolah yang hanya menerima tiga calon peserta didik baru.

Kini, beban orang tua semakin berat dengan kebijakan PPDB zonasi usia. Orang tua murid harus mati-matian berjuang menyiapkan yang terbaik untuk anaknya. Padahal, kebijakan zonasi usia tidak menjadi solusi atas ketidakjelasan pendidikan di Indonesia. Justru menciptakan bentuk diskriminasi baru bagi para peserta didik demi memperoleh pendidikan yang layak dan bermutu.
Dinamika pendidikan yang mengharubirukan hati dan perasaan para orang tua saat ini adalah kesalahan sistemik. Maka untuk pembaharuannya juga dibutuhkan solusi yang sistemik. 

Bila berkaca pada sistem Islam, negara berkewajiban memenuhi kebutuhan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya. Semua ini harus terpenuhi bagi setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Negara wajib menyediakannya untuk seluruh warga dengan cuma-cuma. Kesempatan pendidikan tinggi secara gratis dibuka luas dengan fasilitas sebaik mungkin. Hal ini karena Islam menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan primer bagi masyarakat.

Maka negara berkewajiban mendorong manusia untuk menuntut ilmu, melakukan tadabbur, ijtihad, dan berbagai perkara yang bisa mengembangkan potensi akal manusia dan memuji eksistensi orang-orang berilmu. Kemudian, kebijakan negara secara sistemis akan mendesain sistem pendidikan dengan seluruh supporting system-nya. Bukan hanya dari sisi anggaran, namun juga terkait media, riset, tenaga kerja, industri, sampai pada tataran politik luar negeri. Negara dalam Islam benar-benar menyadari bahwa pendidikan adalah sebuah investasi masa depan sehingga melahirkan output generasi yang berkualitas, baik dari sisi kepribadian maupun dari penguasaan ilmu pengetahuan.

Posting Komentar

0 Komentar