Ibu, Pantaskah Aku Menggugatmu?

Oleh : Ismawati (Aktivis Dakwah Muslimah)

Tega! Mungkin itulah ungkapan pertama kali yang tepat menggambarkan perseteruan anak yang menggugat ibu kandungnya ke pengadilan. Dilansir dari sripoku.com (13/8/2020), peristiwa ini bermula terkait tanah hak milik HJ. Damina seluas 12.000 meter persegi, terdiri dari 3 surat yang terletak di Jalan Mutiar Kelurahan Kedondong Raye, Banyuasin Sumatera Selatan. Objek inilah yang menjadi rebutan ketiga anaknya yakni, Herawati, Aprilina, Mila Katuarina dan cucunya Okta Piansyah. 

Nenek berusia 87 tahun itu harus rela bolak balik menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Pangkalan Balai. Usai menjalankan persidangan mediasi, pada Kamis (13/8/2020) anak dan cucu yang menggugat ibu kandung sendiri sempat saling tunjuk dan cekcok. Mila yang tak mau menerima penjelasan ibunya. Ia tetap ngotot akan menempuh jalur hukum terkait uang hasil penjualan tanah.

Membaca berita ini sungguh menyesakkan dada. Betapa tidak, ada seorang anak yang tega menuntut ibunda tercinta. Dimana nurani mereka, hanya karena harta mereka rela bertaruh kuasa. Tak kenal siapa lawan hukumnya, yang terpenting dapat memenuhi nafsu dunianya. Lihatlah, apa yang mereka perebutkan? Harta, yang hanya dapat mereka nikmati di dunia. Sementara di sisi lain ada hati seorang ibu yang terluka.

Begitulah paham sekularisme begitu nyata membawa pengaruh buruk kepada manusia. Menjadikan manusia kehilangan nilai keimanan yang seharusnya menghujam di dada. Alhasil, materi menjadi orientasi utama. Tegakah mereka melukai hati seorang ibu yang dahulu mengandungnya dengan susah payah, tak nafsu makan selama berbulan-bulan demi bayi mungil yang selalu dinantikan. Belum lagi bertaruh nyawa melahirkan, hingga tak ada hal yang lebih berharga dibanding hadirnya kita kedunia.

Selama dua tahun menyusui kita, rela menghabiskan waktunya hanya untuk menikmati setiap perkembangan bayinya. Memberikan pendidikan terbaik hanya untuk kita, anaknya. Uang yang diperebutkan tak sebanding dengan pengorbanan seorang ibu mengandung dan membesarkan kita. Tak akan sanggup kita membayar dengan rupiah berapapun jumlahnya. 

Orientasi hidup hedonis ala barat dalam sistem kapitalisme menjadikan standar kebahagiaan hakiki manusia adalah mencari materi sebanyak-banyaknya. Bahayanya kaum muslim kebanyakan menjadikan hal ini sebagai tolak ukur kebahagiaannya. Fenomena anak menggugat orang tua memang bukanlah yang kali pertama terjadi, telah banyak kasus serupa yang membuka pikiran kita bahwa lunturnya budi pekerti dan moralitas seorang anak. Di masa tuanya bukan mendapat ketenangan hidup agar dapat fokus beribadah malah kini harus menelan pil pahit diperkarakan ke pengadilan oleh darah dagingnya sendiri. 

Apabila kita melihat dalam kacamata Islam, bagaimana Allah memberi kedudukan seorang ibu begitu luar biasa. Lihatlah bagaimana Rasulullah Saw sampai menyebutkannya sampai tiga kali. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda, “Seseorang datang kepada Rasulullah dan berkata : “Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?". Nabi Saw menjawab, "Ibumu!" Orang tersebut bertanya lagi, "Kemudian siapa lagi?" Nabi Saw menjawab, "Ibumu!" Orang tersebut bertanya kembali, "Kemudian siapa lagi?" Beliau Saw menjawab, "Ibumu!" Orang tersebut bertanya kembali, "Kemudian siapa lagi?" Nabi Saw menjawab, "Kemudian ayahmu.” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no.2548).

Betapa mulia kedudukan seorang ibu dimata Islam, bahkan tak boleh kita membuat luka setitik saja di dalam hatinya.  Dikatakan dalam sebuah hadist, “Ridha Allah tergantung ridha kedua orang tua, dan murka Allah tergantung murka keduanya.” (HR. Thabrani). Masihkah kita tega menyakini orang tua kita untuk mengejar harta dunia?

Oleh karena itu, pentingnya mengikis tolak ukur kebahagiaan yang salah dalam pandangan kapitalis dengan Islam. Didalam Islam, standar kebahagiaan adalah meraih ridho Allah Swt, disertai dengan keimanan yang menghujam dada. Pentingnya kembali kepada sistem Islam, sebagai pengganti ideologi kapitalis yang telah nampak kerusakannya. Menjadikan manusia miskin nurani. Negara Islam juga akan mampu menjadi solusi tuntas permasalahan seperti ini, karena pembagian harta didalam hukum Islam sangat jelas. Sehingga, tidak akan mungkin negara membiarkan perselisihan keluarga hanya karena harta. 

Wallahu a’lam bishowab.

Posting Komentar

0 Komentar