Oleh : Eka Fitri (Muslimah Revowriter)
Kemiskinan makin merebak. Hak Pendidikan banyak diamputasi. Sebagian besar sumber daya alam (SDA) dikuasai asing. Hutang luar negeri kian melejit jumlahnya. Kebijakan demi kebijakan tidak pro rakyat. Hanya untuk kepentingan kapitalis semata. Apakah ini tanda sebuah negeri yang merdeka? Berikut, mari kita perhatikan potret kelam negeri ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin pada Maret 2020 mencapai 9,78 persen. Jumlah ini meningkat 0,56 persen poin terhadap September 2019 dan meningkat 0,37 persen poin terhadap Maret 2019.
“Jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang, meningkat 1,63 juta orang terhadap September 2019 dan meningkat 1,28 juta orang terhadap Maret 2019,” seperti dikutip dalam paparan Kepala BPS, Kecuk Suhariyanto dalam video conference di Jakarta, Rabu (15/7/2020). (Liputan 6.com)
Disisi lain, dunia pendidikan Indonesia juga meyedihkan. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mengungkapkan data angka anak putus sekolah di Indonesia pada 2019. Sepanjang tahun itu, sekitar 4,3 juta siswa Indonesia putus sekolah di berbagai jenjang.
"Angka putus sekolah Kita 4.336.503. Angka itu sebesar 6 persen dari seluruh usia anak sekolah yaitu 53 juta," kata Direktur Pendidikan dan Agama Kementerian PPN/ Bappenas, Amich Alhumami, dalam Konferensi Video, Rabu, 15 Juli 2020. (medcom.id)
Sama halnya dengan sumber daya alam Indonesia. "Pertambangan yang dikuasai BUMN sangat kecil. Untuk batubara hanya 10 sampai 12 persen. Produksinya hanya 4 persen. Sedangkan emas dan tembaga, masih kosong atau kecil. Kemudian nikel hanya 11 persen, bouksi kecil juga, kalau timah agak besar. Persoalannya timah harganya kecil," ujar Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno.
Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dinilai masih sangat minim dalam penguasaan sumber daya alam pada sektor pertambangan, terutama pada batubara dan nikel. Ironinsnya, sumber daya alam tersebut kebanyakan dikuasai oleh pihak swasta dan asing.(peranpolitik.com 23/2/2020)
Lalu bagaimana dengan hutang luar negeri Indonesia? Bank Indonesia mencatat Utang Luar Negeri (ULN) pada akhir April 2020 tercatat sebesar 400,2 miliar dollar AS atau Rp 5.603 triliun (kurs Rp 14.000). ULN Indonesia tersebut tumbuh 2,9 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada Maret 2020 sebesar 0,6 persen (yoy). Utang tersebut terdiri dari utang sektor publik (Pemerintah dan bank sentral) sebesar 192,4 miliar dolar AS dan utang sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar 207,8 miliar dolar AS. (kompas.com 15/6/2020)
Inilah salah satu kebijakan yang pro kapitalis. Ratusan buruh menuntut agar RUU Cipta Kerja dengan metode Omnibus Law untuk dihapuskan karena tidak berpihak kepada buruh. Lebih lanjut, beberapa poin yang sangat berbahaya dalam RUU Cipta Kerja dengan metode Omnibus Law adalah hilangnya perlindungan dan pemenuhan hak rakyat, hilangnya upah minimum dan penerapan upah kerja per jam, pengurangan pasangon bagi buruh yang ter PHK, penerapan fleksibilitas pasar kerja dengan memperluas penggunaan sistem kontrak dan outsourcing massifnya pembangunan industri ekstraktif yang mengeksploitasi sumber daya alam. Bahkan, Omnibus Law ini juga memberikan kesempatan bagi tenaga kerja asing unskil untuk bekerja di alur produksi inti. (analisadaily.com, 16/07/2020).
Inilah sebagian kecil potret kelam negeri penganut sistem kapitalisme. Belum lagi masalah masyarakat yang muncul dimasa pandemi. Sampai sekarang juga penanganannya belum usai. Ekonomi Indonesiapun diambang resesi.
Menjelang 17 Agustus. Di sekitar ramai persiapan. Dari mulai membuat gapura, menghias jalan dengan pernak pernik khas kemerdekaan. Sampai menyiapkan tempat untuk lomba. Tujuannya untuk merayakan kemerdekaan
Jangan teriakkan kemerdekaan. Karena faktanya kita belum terbebas dari penjajahan. Penjajahan fisik mungkin tak terasa lagi. Namun penjajahan ekonomi, sungguh sangat terasa. Negeri inipun masih menghamba pada sistem buatan manusia. Yaitu sistem demokrasi kapitalisme. Inilah akar masalahnya. Hingga semua aspek dikapitalisasi. Dan kepentingan para kapitalis menjadi kepentingan negara. Rakyat hanya menjadi sapi perah, yang didorong untuk menyuburkan sistem ini.
Kemiskinan merebak karena memang negara berlepas tangan. Dalam sistem ini, semua kebutuhan hidup jadi tanggung jawab pribadi. Keinginan untuk mengenyam pendidikan yang layak, hanya sebatas mimpi bagi sebagian rakyat. Sumber daya alam (SDA) yang seharusnya diolah untuk kepentingan negara dan rakyat. Malah amblas dikeruk asing. Negeri inipun akhirnya harus banyak berhutang untuk memenuhi kebutuhan. Tidak sampai disitu, sistem kapitalisme yang ramah pada kapitalis akhirnya menjerat penghutang dengan riba. Efeknya, negara penghutang akan kehilangan kedaulatan. Hingga kebijakan yang diambil dalam negeripun, disesuaikan dengan keinginan negara pemberi hutang atau para pemilik modal.
Kemerdekaan yang haqiqi adalah ketika kita terbebas dari penghambaan terhadap sistem buatan manusia. Ini hanya dapat terjadi jika sistem dari Sang pencipta yang diterapkan. Yaitu sistem islam. Aturannya menyeluruh dan sempurna.
Kebutuhan dasar rakyat seperti sandang, pangan, papan dan pendidikan jadi tanggung jawab negara. Masalah kepemilikanpun diatur dengan gamblang. Sehingga sumber daya alam akan terkelola dengan baik dan akan menjadi sumber utama pendapatan negara. Hutang luar negeri akan dapat dihindari. Kalau seperti ini, baru namanya merdeka.
Jadi, sekarang belum waktunya meneriakkan kemerdekaan. Karena masih banyak perjuangan yang harus dilakukan. Yaitu perjuangan menegakkan sistem islam di negeri ini. Wallohu’alam Bisshawab.
0 Komentar