Kesenjangan Akses Pembelajaran Jarak Jauh: Sisi Kelam Sistem Pendidikan Kapitalisme-Sekuler

Oleh : Tati Sunarti, S.S (Aktivis Muslimah Karawang, dan Pemerhati Sosial)

Sejak pandemi melanda Negeri Indonesia, sejak itu pula masyarakat “dipaksa” untuk membiasakan diri dengan satu kodisi yang sulit. Mulai dari kondisi ekonomi yang melemah akibat resesi global. Kemudian, kondisi lingkungan yang tidak aman karena penularan virus yang sangat cepat, bahkan tidak mudah untuk dideteksi. Hal ini tentu berakibat pada segala aktivitas dalam kehidupan masyarakat. 

Pada awal diumumkan bahwa Indonesia sudah terpapar virus covid-19, pemerintah memutuskan untuk melakukan pembatasan social berskala besar di beberapa kota yang dideteksi memiliki tingkat penularan tinggi. Sektor lain yang turut dihentikan adalah kegiatan balajar mengajar di seluruh sekolah di Indonesia. Ini merupakan langkah untuk mencegah penularan pada anak-anak. Karena dikhawatirkan menjadi cluster baru penularan wabah.

Mulailah diberlakukan Sistem Pembelajaran Jarak Jauh atau lebih dikenal dengan istilah belajar daring. Belajar di rumah yang menggunakan media online. Dari sinilah sisi kelam sistem pendidikan kapitalisme-Sekuler menampakkan wajahnya. Bagi sebagian pelajar yang lahir dari orang tua yang berkecukupan hal ini tak menjadi soal. Namun ternyata, sebagian besar pelajar yang lahir dari orang tua yang kekurangan, tinggal di daerah terpencil, hal ini justru menyulitkan mereka melakukan belajar daring.

Salah satu contoh kesulitan Pembelajaran Jarak Jauh dialami oleh Dimas Ibnu Elias, siswa SMPN 1 Rembang, Jawa Tengah. Dimas memutuskan berangkat ke sekolahnya setiap hari untuk belajar tatap muka karena tidak memiliki hp (portaljember.pikiran.rakyat.com). Orang tua Dimas merupakan seorang nelayan dan buruh pengasinan ikan, tak mampu membeli smart phone yang bisa digunakan untuk belajar daring. 

Lain Dimas, lain pula anak-anak yang tinggal di daerah terpencil. Seperti anak-anak Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Bahkan dalam kondisi normal pun mereka harus menempuh jarak tiga kilometer dengan jalan kaki untuk sampai ke Kampung Todang Ili Gai tempat mereka mengenyam pendidikan. Saat Pembelajaran Jarak jauh diberlakukan, pemerintah setempat menetapkan bahwa anak-anak Kabupaten Sikka mendapat akses belajar melalui radio. Para orang tua mengeluhkan karena sekolah tidak menyediakan fasilitas radio sehingga kegiatan belajar tidak dapat dilakukan di sekolah. Mereka pun tak mampu untuk membeli radio (merdeka.com).

Kondisi ini sungguh miris dan tidak menjadi perhatian serius pemerintah. Seharusnya segala faktor menjadi pertimbangan pada saat pemberlakuan Pembelajaran Jarak Jauh, seperti faktor fasilitas dan geografis. Sehingga tidak perlu ada istilah mendadak “kaget” dari para pemangku kebijakan saat mengetahui fakta di lapangan, dan kebingugan untuk menyudahi ketimpangan akses pendidikan yang muncul.


Ada Apa dengan Sistem Pendidikan Hari ini?

Dimas dan anak-anak Kabupaten Sikka NTT hanyalah dua contoh kondisi sulit dalam Pembelajaran Jarak Jauh yang terekspos media. Bisa jadi ada banyak Dimas-dimas lain yang tidak terungkap dan luput dari perhatian. Fakta di atas menunjukkan terdapat kesenjangan akses belajar yang besar dalam pelaksanaan belajar daring yang selama ini berlangsung. 

INOVASI untuk Anak Indonesia melakukan sebuah riset mengenai belajar daring terhadap 300 di 18 Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Utara (Kaltara), dan Jawa Timur. Hasil survey menunjukkan bahwa 76% orang tua telah melaksanakan belajar daring sejak minggu ke-3 Maret. Namun, hanya 28% dari mereka yang sanggup melakukan dan menggunakan aplikasi daring dalam belajar. Sedangkan sisanya menggunakan media lembar kerja siswa dalam belajar. Bahkan ini pun tidak berjalan semestinya.

Dilansir dari media asumsi.com mengenai data anak-anak yang memiliki akses belajar daring umumnya memiliki orang yang bekerja di Instansi Pemerintah sebanyak 39%, dan orang tua yang bekerja wiraswasta sebanyak 26% (20/05/20). Ini jelas menampakkan bahwa sebagian besar pelajar tidak memiliki akses untuk belajar daring. Maka, belajar daring yang digagas Kemedikbud belum bisa dikatakan berhasil.

Ketidaksiapan pemerintah dan jajarannya dalam menghadapi kondisi baru saat pandemi global covid-19 menjadikan semua kalangan gagap dan kurang tanggap. Tentu ketidaksiapan ini akibat dari sistem Kapitalisme-sekuer yang dijadikan landasan kehidupa oleh penguasa. Sekuler, akidah ideology Kapitalisme, yang memisahkan solusi agama (Islam) dari kehidupan. Maka, setiap permasalahan yang terjadi tidak diselesaikan dengan cara Islam. Inilah faktor utama atas segala kekacauan yang melanda termasuk sistem pendidikan. 


Bagaimana Islam Menyudahi Semwarutnya Pembelajaran Jarak Jauh?  

Islam mewajibkan umat manusia untuk menuntut ilmu, terutama kaum muslim baik laki-laki atau pun perempuan. Hal ini termaktub dalam hadits Nabi yaitu:

Menuntut ilmu wajib atas muslim laki-laki dan perempuan”. 

Nash inilah yang menjadi salah satu pendorong bagi penguasa dalam Islam untuk menyelenggarakan sistem pendidikan yang berkualitas baik dari sisi kurikulum, fasilitas, maupun pengajarnya. Sehingga, semua pelajar mendapat  akses pendidikan yang sama dan merata, baik di pusat kota atau pun daerah-daerah terpencil. 

Maka, tidak heran pada masa Islam diterapkan seorang Ulama besar seperti Imam Asy-Syafi’i mendapat akses belajar yang mudah. Perlu diketahui bahwa Imam Asy-Syafii merupakan anak yatim yang miskin. Namun, Islam mampu menjadikannya Ulama besar yang karyanya bisa kita rasakan hingga kini melalui sistem pendidikan yang luar biasa.

Dalam masa lain, abad Khilafah Abbasiyah, banyak sekali melahirkan para ulama sekaligus ilmuwan yang menorehkan sejarah gemilang ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan belahan dunia Eropa masih gelap dan terbelakang saat itu. Seperti itulah jejak Islam dalam mendidik generasinya.  Lantas, bagaimana seharusnya upaya apa yang dilakukan oleh penguasa untuk menyudahi semwarutnya aktivitas belajar (sistem pendidikan) saat ini? 

Pertama, mengembalikan Islam sebagai sistem kehidupan. Karena, pangkal utama permasalahan saat ini berasal dari sistem Kapitalisme yang rusak. Sehingga perlu diganti dengan sistem alternatif yang berasal dari Sang Maha Pencipta.

Kedua, perlunya kesadaran semua kalangan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga Negara. Dan pemenuhannya menjadi kewajiban penguasa sebagai peri’ayah (pengurus urusan ummat). 

Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)

Jika kesadaran ini sudah mengakar dalam diri penguasa dan warga Negara, maka apapun kondisinya kegiatan belajar akan tetap terpenuhi dan terlaksana dengan baik teruatama dalam kondisi wabah global. Dengan cara apa? Dengan cara memeratakan semua fasilitas pendidikan dan meningkatkan kualitas pendidik sehingga tak ada cerita Dimas-dimas seperti di atas. Wallahu’alam

Posting Komentar

0 Komentar