Oleh: Rut Sri Wahyuningsih (Institut Literasi dan Peradaban)
Korporasi di masa pandemi ini terus mendapat "durian jatuh" alias kemudahan dari pemerintah. Melalui Sri Mulyani , Menkeu RI, pemerintah perbesar diskon PPh 25 Korporasi yang semula 30 persen menjadi 50 Persen (CNN Indonesia, 06/08/2020).
Hal ini dilakukan sebagai stimulus bagi dunia usaha demi menghadapi tekanan Covid-19. Sri Mulyani berharap kebijakan ini bisa menambah daya korporasi untuk meningkatkan usaha, bahkan melakukan ekspansi jelang akhir tahun. Lebih lanjut, kebijakan ini diharapkan bisa memberi kontribusi bagi perekonomian nasional yang baru saja terkontraksi 5,32 persen secara tahunan pada kuartal II 2020.
Dari kebijakan tersebut, realisasi pemberian insentif PPh Pasal 25 sudah mencapai Rp3,44 triliun ke 48.432 WP per 20 Juli 2020. Realisasi itu sekitar 23,88 persen dari pagu Rp14,4 triliun. Sementara data per 5 Agustus 2020 mencatat realisasi total insentif perpajakan bagi dunia usaha baru mencapai Rp16,2 triliun. Jumlahnya baru mencapai 13,43 persen dari pagu Rp120,61 triliun.
Negara korporatokrasi bekerja untuk para kapitalis. Pandemi ini telah berhasil memorakporandakan perekonomian dunia. Melumpuhkan setiap kesombongan negara kapitalis. Semestinya kita bisa mengambil pelajaran darinya. Namun, sebab akidah kapitalisme adalah sekuler maka perubahan akan sulit ditempuh.
Dalam sistem kapitalisme negara bertindak sebagai regulator kebijakan, guna memudahkan pihak ketiga menghandle urusan rakyat. Maka fokusnya memang pada pertumbuhan ekonomi, tak ada permintaan dan penawaran inilah yang dianggap kelesuan dan kebijakan fiskal diambil karena dianggap jika produksi makin sedikit dibebani pajak maka rakyat mudah membeli.
Faktanya, prioritas Rakyat, di masa pandemi ini berbeda, akibat bahan kebutuhan pokok yang mahal, kesehatan mahal, listrik mahal, anak sekolah meskipun negeri namun karena Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) butuh pulsa dan gadget. Apalagi swasta. Begitupun keamanan juga mahal membuat pengurangan PPh 25 tak berdampak secara signifikan. Apalagi, kasus korupsi masih membuat negara kelimpungan , berapa uang negara yang telah dirugikan? Yang itu berarti uang rakyat, sebab hakekatnya utang dan pajak, rakyatlah yang membayar.
Maka Jika untuk korporasi mendapat diskon, tapi untuk rakyat di cari celah untuk dipajaki. Jelas kita tak bisa seterusnya bersandar dalam sistem yang jusru akan membawa pada kesengsaraan yang berkepanjangan. Dan belum ada bukti akurat jika ekonomi ribawi dalam kapitalisme mampu menyelamatkan dari resesi yang tengah melanda dunia.
Inilah ancaman bagi pemakan riba atau orang yang memanfaatkan hasil riba. Ia akan dibangkitkan dari kuburnya pada hari kiamat seperti orang yang kesurupan setan lantaran gila. Allah Ta’ala berfirman :
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) gila.” (QS. Al Baqarah: 275)
Imam Asy Syaukani juga berpendapat bahwa keadaan dia seperti orang gila yang kerasukan setan itu bukan hanya saat dibangkitkan dari kubur, namun berlaku untuk keadaannya di dunia. Orang yang mengumpulkan harta dengan menempuh jalan riba, maka ia akan berdiri seperti orang majnun (orang gila) yaitu karena sifatnya yang rakus dan tamak. Gerakannya saat itulah seperti orang gila. Seperti jika kita melihat ada orang yang tergesa-gesa saat berjalan, maka kita sebut ia dengan orang gila. (Lihat Fathul Qodir karya Asy Syaukani, 1: 499).
Wallahu a' lam bish showab.
0 Komentar