Landasan Menikah Tidak Cukup Dengan Ijab Sah

Oleh : Sunarti

"Sebab bila setitik, rusak susu sebelanga"

Artinya, dikarenakan kesalahan kecil, maka terjadilah kerusakan secara keseluruhan.

Miris. Sebuah peribahasa yang tepat untuk disematkan pada kondisi rumah tangga keluarga muslim di dunia, terutama di Indonesia. Tersebab pecahnya keutuhan rumah tangga, akibat perceraian, menjadikan ikatan keluarga muslim juga semakin rapuh. Pasalnya, jika simpul kekuatan Islam ada pada shalat, sedangkan institusi terakhir penjaga shalat adalah keluarga, maka sudah dapat dipastikan jika pecahnya keluarga akan menambah buruk kondisi kehidupan manusia.

Perceraian dalam keluarga mengalami peningkatan secara signifikan. Tidak hanya pada saat musim pandemi akan tetapi sebelum musim pandemi pun sama. Ambil salah satu contoh di daerah saja, Madiun. Di daerah ini, kasus peceraian naik 3% terdapat 33 perkara sepanjang Juni lebih tinggi ketimbang kasus bulan April dan Mei. 

Menurut Jawa Pos Radar Madiun, disebutkan bahwasanya angka perceraian naik signifikan. Pengadilan Agama Kota Madiun mencatat 33 perkara sepanjang Juni. Rekapitulasi itu melampaui catatan April-Mei yang masing-masingnya 13 dan 9 perkara. ”Ada kenaikan tapi tidak signifikan,” kata Humas PA Kota Madiun Alfian Yusuf Rabu (29/7).

Di media tersebut juga menyebutkan selama pandemi, Pengadilan Agama membatasi pelayanan. Namun, sejak pelayanan dibuka kembali dengan standar protokol kesehatan, berbondong-bondong mendaftarkan perceraian. Dominasi kasusnya gugat cerai dari pihak istri dengan alasan ekonomi.

Banyak alasan yang diajukan para pasangan di pengadilan, yaitu alasan ekonomi, perselingkuhan, KDRT dan nikah dini dijadikan pula alasan pada akhir-akhir ini. Merujuk pada pertanyaan Humas PA Kota Madiun dalam Jawa Pos bahwa menegaskan terus menggalakkan komitmen pencegahan pernikahan dini. Jelas di sini, pernikahan dini dianggap menjadi salah satu munculnya kasus perceraian.

Faktor yang memicu perceraian ini merupakan faktor yang sejak dulu terus berulang. Nampak tidak ada kejelasan dalam penyelesaian atas permasalahan pernikahan di negeri ini. Solusi yang diberikan nyata-nyata belum menyentuh akar persoalan. Seperti halnya pencegahan pernikahan dini dan pemberlakuan sertifikasi nikah setahun silam.

Sertifikasi nikah menguap begitu saja, terganti dengan solusi pencegahan nikah dini yang berkerjasama dengan Dinas Perlindungan Anak. Menjadi sesuatu yang absrud, permasalahan peceraian diakibatkan oleh masalah ekonomi, perselingkuhan dan KDRT akan tetapi solusi yang diambil adalah mencegah nikah dini. 

Bukankah ini solusi yang tidak sinkron dengan permasalahan yang ada? Apakah dengan menikah di usia tua, lantas masalah ekonomi, perselingkuhan dan KDRT akan lenyap? Jika nikah dini dijadikan alasan supaya siap mental dan berfikir dewasa, maka siap mental dan berfikir dewasa tak bisa diukur dengan umur.

Tidak ada jaminan jika nikah tua maka kehidupan rumah tangga akan lurus-lurus saja, bisa jadi perceraian akan mengintai pula. Maka ketika menyelesaikan permasalahan harus melihat hingga akar munculnya persoalan. Bukan malah menciptakan masalah baru dengan solusi yang salah. Akar masalah dari peceraian bukan sekedar antar individu semata namun ada sistem kapitalis sekuler yang menggeret rumah tangga dalam kubang kehancuran.

Maka ijab kabul bukan sekedar hal "yang penting  sah" saja. Namun ada janji kepada Allah yang kelak akan dipertanggungjawabkan. Sayangnya sistem sekuler menjadikan hal itu hanya sebagai syarat sah semata. Tidak mengherankan jika kehancuran rumah tangga tak bisa dielakan lagi. 

Pada dasarnya persoalan rumah tangga muncul dari rusaknya sistem yang diterapkan oleh negara. Dalam sistem kapitalis-sekuleris, perekonomian tidak memihak kepada kehidupan rakyat. Tiap-tiap individu dalam rumah tangga dipaksa untuk menjadi komoditas uang. Bak sapi perah, setiap hari musti berpenghasilan. Kebutuhan pokok, kebutuhan tambahan terus-menerus bertambah. 

Belum lagi, arus materialistis menggejala. Keinginan lebih dominan dibandingkan dengan kebutuhan. Maka, tidak heran apabila suami-istri dalam rumah tangga "terangsang" dengan kehidupan yang diukur serba materi ini. Keinginan untuk hidup mewah menjadi fenomena.

Ketika lapangan pekerjaan sulit, menjadikan pendapatan juga sempit. Lahan perekonomian dikuasai oleh para pemilik modal. Menjadikan kebutuhan keluarga tersendat sementara keinginan tidak bisa diikat. Secara individu, pemahaman tentang rezeki belumlah kuat. Muncullah pertengkaran di dalam rumah tangga. 

Di alam kapitalis-sekuleris, rumah tangga tidak hanya membutuhkan ilmu agama, keuangan yang kuat saja. Akan tetapi juga membutuhkan skill yang dimiliki oleh pasangan suami istri. 

Istri sebagai partner dalam juga musti lihai dalam menerapkan perannya sebagai istri dan juga ibu, anggota keluarga besar dan anggota masyarakat. Demikian pula suami juga musti bisa menjadi pemimpin dalam rumah tangganya, memiliki skill dalam menjalankan peran dan fungsinya. Apalagi gempuran sistem kapitalis-sekuleris sangat mempengaruhi kehidupan berumah tangga.

Jika saja tidak punya kepiawaian dalam menjalankan peran dan fungsinya, bisa muncul pertengkaran, perselingkuhan yang bisa diawali dari hal-hal yang sepele.

Dalam masyarakat sejatinya juga diperlukan dkungan penjagaan terhadap keutuhan keluarga, dengan cara menjaga pergaulan dalam interaksi sosial. Lingkungan yang kondusif menjaga pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Dalam sistem sekulerime hal ini sama sekali tidak diindahkan. Yang muncul justru pergaulan bebas yang tanpa batasan. Wajar jika marak perselingkuhan.

Di sisi lain yang lebih penting juga adalah aturan negara. Negara menerapkan sistem sekulerime, sehingga kehidupan benar-benar lepas dari aturan Sang Pencipta. Munculnya berbagai persoalan rumah tangga tidak bisa dihindarkan. Solusi yang timpang tindih justru membawa persoalan baru. 

Berbeda ketika semua itu dibandingkan dengan sistem Islam. Islam mengatur seluruh kehidupan. Mulai dari perekonomian, pergaulan hingga pendidikan. Dalam urusan rumah tangga, Islam memberikan aturan yang jelas kepada suami dan istri. Hak dan kewajiban sangat jelas diatur dalam Islam.

Negara sebagai pelaksana penyelenggaraan kebijakan, juga mengatur para suami terkait dengan pekerjaan. Memberikan lapangan pekerjaan, membangun perekonomian dengan ekonomi Islam sehingga seluruh rakyat diuntungkan. 

Demikian pula pergaulan, sistem Islam mengatur dengan seksama. Bagaimana hak istri menjadi kewajiban suami. Dan hak suami menjadi kewajiban istri, begitu seterusnya. Selain ijab kabul sebagai tanda ikatan sakral, pernikahan juga sebagai perjanjian di Arsy Allah.

Wallahu alam bisawab

Posting Komentar

0 Komentar