Menyoal Dispensasi Nikah


Oleh : Nuraeni Erina Aswari

Allah Subhanahu Wa Taala telah memberikan potensi hidup kepada manusia, yakni potensi kebutuhan jasmani dan potensi naluri. Dan menikah adalah upaya manusia untuk memenuhi salah satu potensi nalurinya, yakni naluri untuk melestarikan keturunan.

Maka dari itu hadirnya keinginan untuk menikah pada tiap manusia ini merupakan fitrah yang diberikan oleh Sang Pencipta, bukan dianggap sesuatu yang salah sehingga proses pelaksanaannya harus dibuat susah. Dimulai dari adanya peraturan batas usia minimal menikah sampai harus mengajukan dispensi menikah.

Dispensasi menikah adalah pemberian hak kepada seseorang untuk menikah meskipun usianya belum mencapai batas minimal 19 tahun. Aturan ini awalnya diciptakan untuk menekan angka pernikahan usia dini, tetapi nyatanya malah manambah panjang daftar permintaan menikah meski di era pandemi.

Angka pernikahan dini di Indonesia melonjak selama masa pandemi Covid-19. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi penyumbang angka perkawinan bawah umur tertinggi di Indonesia berdasarkan data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional tahun 2020. (Kompas.com, 08/07/20)

Parahnya, angka pernikahan dini yang melonjak ini tidak hanya disebabkan oleh adanya kesiapan menikah dari remaja itu sendiri. Melainkan, lima puluh persen disebabkan oleh insiden hamil di luar nikah.

”Dari 240 pemohon dispensasi nikah, dalam catatan kami ada yang hamil terlebih dahulu dengan jumlah berkisar 50-an persen. Sedangkan selebihnya karena faktor usia yang belum sesuai aturan, namun sudah berkeinginan menikah,” kata Ketua Panitera Pengadilan Agama Jepara Taskiyaturobihah (Jawapos.com, 27/07/2020)

Masih besarnya persentase dispensasi nikah untuk mereka yang hamil di luar nikah, ini menjadi bukti betapa rusaknya kebijakan pembatasan usia nikah dan dispensasi nikah. Kebijakan ini mempersulit mereka yang hendak menikah, disebabkan usia yang belum genap 19 tahun. Namun jika alasan mendesak semisal karena sudah hamil, maka mereka diberi dispensasi. Sungguh ironis.

Di antara tujuan pembatasan usia nikah dan dispensasi nikah, keduanya sama-sama untuk menekan angka pernikahan dini. Sebab para pengusung kebijakan pembatasan usia nikah menganggap, pernikahan dini sebagai faktor rapuhnya ketahanan keluarga juga menghambat pembentukkan generasi yang berkualitas. Padahal sekali lagi, yang jadi masalah bukanlah usia dininya. Namun pemahaman masyarakat hari ini yang bermasalah. Pemahaman tentang kehidupan, termasuk dalam memandang sebuah pernikahan.

Inilah buah penerapan sekulerisme. Banyaknya angka dispensasi nikah disebabkan hamil di luar nikah, ini seharusnya menjadi PR besar bagi pemangku kebijakan. Bagaimana mungkin akan mampu menbangun ketahanan keluarga dan generasi berkualitas, jika pernikahan diawali dengan kemaksiatan dan ketergesaan? Justru inilah yang menjadi penyebab rapuhnya ketahanan keluarga dan lahirnya generasi lemah.

Sisi yang lain, konten-konten berbau pornografi dan pornoaksi tetap dilancarkan. Seperti film remaja yang menuai kontroversi satu tahun lalu, film tersebut tetap ditayangkan dengan dalih dapat menyampaikan sex education. Pada kenyataannya, yang digembar-gemborkan dari film tersebut adalah kemesraan pasangan pemain filmnya. Masih hangat, sinetron yang hari ini masih ditayangkan di layar kaca. Klarifikasinya si remaja perempuan tidak benar-benar hamil, namun kesuksesan membuat hati penontonnya cenat-cenut tidak dapat dielakan.

Dengan ketidaksinkronan tujuan dan kebijakan, maka tidak akan dapat menjadi solusi untuk masalah pernikahan di negeri ini. Adanya dispensasi nikah pun nampak sebagai solusi tambal sulam semata.

Tidak sedikit anak yang hari ini dididik oleh lingkungan. Lebih jauhnya, masyarakat yang kita tahu hari ini jauh dari pola pikir dan pola sikap islami. Masyarakat gambarannya dapat kita lihat dari media yang ada hari ini. Pola pikir mereka matrealis, bisnis yang mereka buat tidak memandang baik atau buruk, merusak moral atau tidak, yang penting menguntungkan secara materi.

Berangkat dari cara berpikir kapitalis yang standar baik buruknya adalah standar materi, bukan halal atau haram. Akhirnya anak-anak mendapatkan tayangan yang tidak mendidik hari ini, dididik oleh konten-konten yang dimunculkan oleh media itu.

Ditambah lagi dengan hiruk pikuk keluarga yang tidak ada bedanya. Dari sini, betapa pendidikan Islam di dalam keluarga itu sangat penting. Remaja dengan pribadi Islam dapat lahir di keluarga yang Islami. Dan tidak semua keluarga hari ini mampu menjadi keluarga yang mampu mencetak generasi berkepribadian Islam.

Mereka fokus mengejar materi, tidak terpikir memiliki tanggung jawab yang lebih besar yakni mengurus anak. 
Padahal anak bukan hanya dicukupkan materinya saja. Jauh daripada itu, orang tua seharusnya tidak melepas diri dari tanggung jawabnya sampai-sampai anak tidak mendapat hak untuk dididik lalu merasa tidak mendapat kasih sayang, dan kembali pada pembahasan sebelumnya, anak-anak dibiarkan dididik oleh media.

Pemerintah di sisi lain hari ini menerapkan sistem pendidikan sekularisme. Kita merasakan hari ini siswa di sekolah minim ditanamkan norma-norma agama. Padahal pendidikan agama sangat penting, baik dalam mengatur pergaulan maupun dalam mempersiapkan pernikahan.

Dalam Islam, tidak ada batasan untuk usia menikah. Sehingga tidak perlu ada dispensasi menikah. Selama mereka sudah matang secara fisik, artinya dewasa atau baligh sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Dan juga siap secara ilmu, memahami hak dan kewajiban dalam berumah tangga, maka boleh melakukan pernikahan.

Begini jadinya jika bukan hukum Islam yang diterapkan. Peraturan yang ada untuk mengurusi umat tidak diambil dari sumber yang benar, sehingga peraturan yang ada terus berbenturan dengan peraturan yang lain. Wallahu a'lam bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar