Oleh : Maulinda Rawitra Pradanti, S.Pd
Pilkada 2020 akan segera digelar di penghujung tahun ini, tepatnya pada tanggal 9 Desember 2020. Sebelum adanya pandemi Covid-19, pilkada ini direncanakan akan digelar di bulan September. Ajang pemilihan kepala daerah ini akan diikuti oleh 270 wilayah di Indonesia, yaitu meliputi 9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 Kota.
Terlepas apakah ajang ini dilaksanakan secara serentak ataukah tidak, tetap saja masih berada di sistem yang sama yakni demokrasi kapitalis. Di dalam sistem demokrasi kapitalis ini kursi kekuasaan masih menjadi incaran agung dan rebutan para pemilik modal. Parahnya untuk bersaing agar menjadi penguasa di suatu wilayah, mereka menghalalkan segala cara.
Salahsatunya adalah politisasi bansos Covid-19. Setidaknya ada 23 Kabupaten/Kota yang melakukan kasus politisasi bansos Covid-19, hal ini diungkapkan oleh BAWASLU. Parahnya lagi, aksi politisasi dana bansos Covid-19 ini dilakukan oleh calon petahana di Kabupaten/Kota terkait.
Kasus tersebut ditemukan di 11 Kabupaten/Kota, diantaranya adalah Kota Bengkulu, Indragiri Hilir, Pelalawan, Ogan Ilir, Lampung Timur, Pesawaran, Bandar Lampung, Pandeglang, Sumenep , Way Kanan, hingga Jember. Hal ini diungkapkan langsung oleh anggota BAWASLU, Ratna Dewi Pettalolo, melalui keterangan tertulis yang diterima oleh Kompas.com (13/5/2020).
Adapun cara politisasinya setidaknya ada 4 bentuk yang telah dipaparkan oleh Komisioner BAWASLU, Mochammad Afifuddin. Cara pertama yaitu menempelkan foto/label kandidat di bansos Covid-19. Cara kedua yaitu menempelkan label partai tertentu. Cara ketiga adalah ada dana bansos dari APBD akan tetapi diatasnamakan kepala daerah/partai tertentu. Cara selanjutnya adalah penyalahgunaan anggaran untuk penanganan Covid-19.
Menurut Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, yang juga membenarkan keadaan ini mengungkapkan bahwa dengan adanya pandemi Covid-19 ini, petahana Pilkada 2020 berpotensi diuntungkan. Pasalnya, mereka memiliki kesempatan untuk mempolitisasi dana bansos untuk mengambil simpati dari rakyat.
Khofifah juga menyebut di dalam diskusi virtual yang digelar tanggal 9 Agustus 2020, setidaknya ada 19 daerah yang akan mengikuti Pilkada 2020 di Jawa Timur. Dua diantaranya terindikasi akan diikuti oleh calon petahana. Dengan adanya laporan terkait politisasi dana bansos, ia mengaku telah mendorong BAWASLU untuk segera merespon hal tersebut.
Di kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Arif Wibowo telah mendorong pemerintah untuk menerbitkan kebijakan yang dapat mencegah praktik politisasi dana bansos oleh petahana Pilkada. Senada dengan Khofifah, ia juga menyebut calon petahana lebih diuntungkan dalam hal ini.
Umumnya, bansos ini dikirim dari pemerintah pusat untuk disalurkan kepada rakyat, namun dengan perantara bupati atau walikota setempat sebagai penanggung jawabnya. Dengan celah inilah, para bupati ataupun walikota bisa saja menyelipkan pesan-pesan politik tertentu dengan tujuan agar memilih petahana tersebut.
Bagi petahana, aksi bagi-bagi masker atau menempelkan foto serta menyertakan nama calon di paket bansos adalah sesuatu yang tidak tabu lagi. Seakan-akan mereka mencuri start lebih awal tanpa merasa malu meskipun telah diketahui oleh khalayak umum.
Sungguh miris, penguasa yang seharusnya mengayomi rakyatnya dan menjamin keberlangsungan hidup rakyatnya di tengah pandemi yang belum juga mereda, nyatanya tidak demikian adanya. Justru penderitaan rakyatlah yang dijadikan sebagai alat untuk mencari kekuasaan yang semu. Padahal rakyat berharap kepada pemimpin untuk bersikap tulus dalam menangani problematika yang sedang dialami saat ini.
Namun, kenyataan ini mustahil didapatkan dalam sistem demokrasi yang memiliki paradigma, siapa yang memperoleh suara terbanyak, dialah yang menang. Untuk mencapai suara terbanyak inilah yang menyebabkan para calon Pilkada mengandalkan pencitraan sebagai modal utama dalam meraih simpatisan rakyat.
Berbeda dengan prinsip pemilihan pemimpin di dalam Islam yang standarnya adalah aqidah Islam. Maka tidak akan mungkin para calon pemimpin ini hanya bermodalkan pencitraan kepada manusia. Lebih daripada itu, para calon pemimpin di Negara Islam akan lebih mencari simpati dari Allah SWT., artinya mereka akan lebih memilik ridho dari Rabbnya daripada sekedar simpati dari rakyat.
Pengaturan secara kaaffah (menyeluruh) di dalam Islam-lah yang akan melahirkan pemimpin dengan berlandaskan syariat Islam, bukan bersifat materi. Karena itulah seseorang akan dipilih oleh rakyat bukan untuk kepentingan dirinya atupun kelompoknya, melainkan untuk menjalankan perintah dari Rabbnya, yakni riayah suunil ummah yang artinya menjamin/mengurusi urusan rakyat.
Oleh karena itu, tentu ada syarat yang harus dipenuhi oleh para calon pemimpin di dalam Islam agar sesuai dengan kriteria pemimpin yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Syarat ini disebut dengan syarat in’iqod, diantaranya yaitu Muslim, Laki-laki, Baligh, Berakal, Adil, Merdeka, dan Mampu.
Setelah ditemukan calon yang memenuhi 7 syarat diatas, maka selanjutnya akan diverifikasi dan dimusyarahkan untuk membaiat 1 nama calon pemimpin pilihan rakyat. Dengan begitu, maka akan menghemat biaya dan waktu dalam pemilihan pemimpin.
Sehingga, ketika pun ada bencana atau pandemi seperti saat ini, Khalifah (sebutan pemimpin di dalam Islam) akan sukarela mengelontorkan dana untuk bantuan dalam menangani bencana yang sedang terjadi. Tak ada kata hutang atau pilih-pilih dalam menangani suatu bencana.
Pemenuhan kebutuhan rakyat sudah semestinya menjadi tanggung jawab pemimpin dan para jajarannya. Karena pengurusan ini akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Jika sampai ada salah seorang rakyat yang kelaparan atau bahkan sampai mengantarkan kepada kematian, maka begitu besar murka Allah kepada mereka.
Oleh karena itu Khalifah akan terus mencari rakyatnya yang benar-benar membutuhkan bantuan dan memastikan penyaluran bantuan tersebut memang telah sampai kepada si penerima. Regulasi kepemimpinan harus terbuka agar tidak ada kasus politisasi dana bansos atau penimbunan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.
Begitulah pengaturan Islam yang sangat sempurna, maka masihkah akan mempertahankan sistem yang rusak? Tak inginkah berpindah kepada sistem Islam yang sempurna? Jika memang ingin meraih ridho Allah dan ingin menjadi Muslim yang taat, maka seharusnya tak boleh mengelak jika diajak untuk menerapkan Islam secara menyeluruh.
0 Komentar