Fenomena Golput Tak pernah Luput Di Pemilu, Ada Apa?

Oleh : Kiki Fatmala (Mahasiswa UINSU)

Pesta Demokrasi yang akan diadakan dalam Pemillihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak kembali dilakukan, tepatnya pada tanggal 09 Desember 2020 dan dilaksanakan di 270 daerah. Pelaksanaan pilkada secara langsung dipilih oleh rakyat telah dimulai sejak tahun 2015 kemarin, melalui UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, mekanisme pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD yang dianut UU No.22 Tahun 1999 diubah secara drastis menjadi pemilihan secara langsug oleh rakyat. Pemilu merupakan satu implementasi prinsip kedaulatan rakyat. Dengan adanya pemilu rakyat memiliki hak untuk menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin dan wakil rakyak. Namun ditahun ini pelaksanaan pemilu terlihat sedikit berbeda karena dilakukan dalam situasi pandemi Covid19 yang belum kunjung selesai.  Setiap menjelang pemilu istilah golput atau golongan putih menjadi tren pembahasan di tengah masyarakat. Golput atau golongan putih adalah sekumpulan orang yang tidak  mau menggunakan hak pilihnya dipemilu. 

Sehingga ketua DPRD Sumut Hasyim SE, berharap dalam pemilihan Kepala Daerah 9 Desember 2020 mendatang partisipasi pemilih lebih meningkat. Sehingga dibutuhkan sosialisasi dari semua Stakeholder, partai politik dan penyelenggara pemilu itu sendiri. Sehingga masyarakat mau memberikan hak suaranya pada pemilu nantinya. Tentu banyak factor dan juga alasan yang membuat seseorang sampai pada kesimpulan bahwa golput merupakan pilihan terakhir dalam pandangan politiknnya. Mereka merasa pemilu hanya ajang bagi para elit untuk berkuasa, yang cenderung lupa akan nasib rakyatnya begitu mereka naik ke kursi jabatan. Bagaimana tidak, sudah begitu lama pemilu diadakan, begitu juga pergantian pemimpin setiap 5 tahun sekali bahkan tidak menghasilkan perubahan sama sekali dengan janji-janji yang mereka taburkan tatkala sebelum melakukan pemilu. 

Muculnya krisis kepercayaan public terhadap partai politik bukanlah tanpa sebab, sejarah panjang penerapan system Demokrasi ini telah mencatat praktik korupsi yang menonjol di dalam partai politik kian menjadi . Demokrasi dan korupsi seakan telah menjadi sebuah kesatuan yang tak bisa dilepaskan semua berawal dari keharusan adanya upeti yang terjadi saat sebelum Pilkada maupun Pilpres dalam wahana system demokrasi. Sehingga Golputnya pemilih dalam pemilu bisa diartikan sebagai protes atas ketidakadilan para penguasa hari ini. Hendaknya permasalahn Golput ini menjadi perhatian bersama bukan hanya pemerintah saja dan masyarakat namun juga yang lebih utama adalah elit-elit partai peserta pemilu yang bukan hanya menebar janji-janji saja tanpa pembuktian.

Berbeda dalam system Islam bahwa peran partai adalah untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar bukan untuk mengusung para calon pemimpin bersaing dengan partai lainnya. Hal tersebut karena sejatinya seorang pemimpin adalah pelayan umat yang harus menjalankan tugasnya menjalankan hukum syara untuk menerapkan islam secara Kaffah. Khalifah maupun pejabat lain yang terpilih memiliki tugas mengurusi umat dan tunduk terhadap hukum syara, bukan kepentingan pribadi. Inilah esensi kedaulatan ditangan syara. Dengan mekanisme seperti ini dalam system khilafah steril dari praktek transaksi layaknya system demokrasi. Begitu juga dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dipastikan tidak ada. Sungguh memilih pemimpin serta pejaba dalam system islam tidakla sesulit system demokrasi hari ini, da pemimpin yang terpilih juga akan memberikan ketenangan ditengah-tengah masyarakat.

Wallahua’lam.

Posting Komentar

0 Komentar