Fenomena Poliandri, Ditengah Sistem Sekuler Demokrasi

Oleh: Marni Ummu Fatih (Aktivis Muslimah Cinta Islam,  Rokan Hilir) 

Mentri pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PANRB) ,Tjahjo Kumolo, mengungkapkan adanya fenomena baru pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur sipir negara (ASN). Fenomena tersebut berupa ASN perempuan yang memiliki suami lebih dari satu atau poliandri.  (Republika . co. id, 29/8/2020)

Sontak publik terkejut dengan fenomena poliandri dikalangan ASN saat ini. Bagaimana tidak? Padahal, hanya dengan pemahaman yang umum saja, seorang muslimah sudah pasti mengetahui bahwa poliandri itu haram, apapun alasannya. 

Setelah ditelisik berita yang ada, banyak alasan yang dijadikan landasan para istri untuk melakukan poliandri, dari mulai dipisahkan oleh tempat kerja, sehingga mereka harus berbeda tempat tinggal, lalu tidak terpenuhinya nafkah batin istri oleh suami pertamanya, merasa tidak bahagia dalam menjalani kehidupan rumah tangganya dan sebagainya. 

Minimnya pemahaman hukum-hukum Islam bagi istri dan juga suami tentang hak dan kewajiban dalam membina rumah tangga, salah satu jadi pemicunya, termasuk kurangnya cek and ricek yang akurat lembaga pernikahan terhadap status pasangan yang akan menikah .

Bila kita telisik dari segi kesehatan jelas poliandri banyak menimbulkan masalah.

1. Kurangnya kepastian mengenai keturunan yang dihasilkan. Ketidaktahuan untuk menentukan ayah biologis dari anak yang dilahirkan sangat tinggi akibat pernikahan poliandri. Hal ini bisa memicu atau membuat masalah dalam kehidupan rumah tangganya.  

2. Menurunkan angka kelahiran dan juga jumlah orangtua. Karna hanya satu perempuan yang terlibat dalam beberapa pernikahan, maka jumlah anak yang dihasilkan dalam sebuah pernikahan akan sedikit. 

3. Tingkat kegagalan pada bentuk pernikahan ini lebih tinggi, karenanya pasangan yang melakukan poliandri rentan mengalami perceraian atau juga perselingkuhan.

Ketahanan rumah tangga monogami  disistem sekularisme kapitalisme saja banyak dirundung permasalahan yang tak kunjung usai, apatah lagi membangun rumah tangga dengan cara poliandri menambah ruwetnya menjalani kehidupan berumah tangga, yang bukan hanya sekedar hura-hura.

Anak-anak yang lahir dari keluarga poliandri pastinya mengalami tekanan mental karna memiliki bapak lebih dari satu, siapa sebenarnya bapak biologisnya yang asli? 

Selain itu, poliandri juga merusak perwalian bagi anak perempuan dalam memenuhi hukum pernikahannya kelak. Dan juga merusak hukum islam dalam harta waris. 

Akar permasalahan yang kompleks dan ruwet ini lahir dari sistem yang rusak yakni sekularisme kapitalisme, yang aturannya berasal dari hawa nafsu dan akal manusia yang terbatas. 

Memisahkan agama dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara, boro-boro menjaga ketahanan dan keutuhan rumah tangga malah menjadi penyebab hancurnya institusi keluarga yang berperan mencetak generasi bertaqwa. Apabila tidak cepat ditindak masalah ini, maka akan terus merambat, saat ini kalangan ASN yang poliandri, lusa masyarakat bawah akan menirunya. "Naudzubillah".

Semakin kompleks dan ruwetnya permasalahan dinegri ini, seharusnya negara cepat mengadopsi solusi yang hakiki, dan telah terbukti dapat menyelesaikan Problematika ummat manusia selama 13 abad lamanya memimpin dunia. Dia adalah sistem pemerintahan islam. Islam datang dengan segala perintah dan larangan untuk kemaslahatan serta memuliakan manusia. 

Ketaqwaan individu ditempa untuk terikat oleh hukum syara' yakni wajib, sunnah, makruh, haram dan mubah. Muslimah akan menjaga segala perbuatannya dari murka Allah.

Islam telah mengatur tata pergaulan antara laki-laki dan perempuan dengan seksama berdasarkan Al Qur'an dan As-Sunnah. 

Allah Swt berfirman:

"dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. "(QS.An-Nisa(4):24)

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berkata dalam an-Nizham al Ijtimai fi al Islam(Beirut :Darul Ummah, 2003)hal.119: "Diharamkan menikahi wanita-wanita yang bersuami. Allah menamakan mereka dengan al -muhshanaat karena mereka menjaga (ahshana) farji-farji (kemaluan)  mereka dengan menikah."

Pendapat tersebut sejalan dengan pendapt Imam Syafii' yang menyatakan bahwa kata muhshanaat yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah bermakna wanita merdeka (al -haraa ir) tetapi wanita yang bersuami (dzawaatulazwaaj) (Al-Umm, Juz V/134)

Jelaslah bahwa wanita yang bersuami, haram dinikahi oleh laki-laki lain. Jadi ayat diatas merupakan dalil al-Qur'an atas haramnya poliandri. 

Adapun dalil As-Sunah bahwa Nabi SAW telah bersabda:

"Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka (pernikahan yang sah)  wanita itu adalah bagi (wali) yang pertama dari keduanya" (HR Ahmad, dan dinilai hasan oleh Tirmidzi) 

Hadirnya jamaa'h ditengah-tengah ummat untuk menyeru kepada al khair dan mencegah pada yang munkar, sebagai alarm bagi masyarakat dan negara. 

Negara wajib hadir dalam mengurusi dan mengayomi masyarakat untuk menjalani kehidupan ini dengan menjalankan perintah-perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya. Memenuhi kebutuhan dasar masyarakatnya dibidang kesehatandan pendidikan, begitu juga kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan dijamin oleh negara. 

Lembaga pernikahan yang disediakan negara akan melakukan cek and ricek yang akurat terhadap status pasangan yang akan menikah, supaya tidak salah kaprah. Sebab islam datang kemuka bumi ini merupakan rahmat bagi seluruh alam. 

Wallahua'lam-bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar