Menakar Efektivitas PJJ Di Masa Pandemi

Oleh: Iis Kurniawati, S. Pd

Pandemi yang belum kunjung usai menimbulkan berbagai permasalahan dan menghimpit masyarakat di negeri ini, hampir disetiap sektor termasuk dalam bidang pendidikan. Sejak munculnya wabah Covid-19, pembelajaran jarak jauh (PJJ) menjadi kebijakan yang di ambil oleh Mendikbud sebagai solusi pembelajaran dalam masa pandemi. Dalam pelaksanaanya kebijakan ini kerap menemui berbagai kendala yakni ketersediaan layanan internet yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia, keterbatasan kepemilikan smartphone baik guru maupun peserta didik, ketidakmampuan pembelian kuota, dan berbagai permasalahan teknis lainnya. 

Untuk mengatasi permasalahan tersebut Kemendikbud memperbolehkan bagi sekolah menggunakan dana BOS digunakan untuk membeli kuota. Namun masalah tidak selesai sampai disitu, adaptasi waktu PJJ yang singkat dan tidak adanya kurikulum khusus selama pandemi memaksa para pendidik membuat skema  pembelajaran yang dinilai dapat mencapai target selama pandemi.Tapi,pada prakteknya hal tersebut mengakibatkan tugas peserta didik menumpuk, sehingga peserta didik dan orang tua menjadi lebih terbebani. Pelaksanaan PJJ yang dinilai tidak cukup efektif ini memunculkan desakan untuk pelaksanaan tatap muka. Pembukaan sekolah untuk pembelajaran tatap muka mengacu pada status zona wilayah di masing-masing daerah. Pada awalnya pembelajaran tatap muka dilaksanakan di zona hijau, namun belakangan daerah zona kuning juga dibuka. Ketika pembelajaran offline atau tatap muka dilaksanakan muncul masalah baru, sekolah menjadi cluster baru penyebaran Covid-19. Menurut ketua komisi X DPR RI, Syaiful Huda menyebut ada sekitar 53 guru positif Covid-19 saat pembelajaran tatap muka di buka. “ada kekhawatiran dipublik, pendidikan tatap muka di zona kuning jadi cluster baru, kurang lebih 53 guru positif dan beberapa anak lain.” Ujar politikus PKB. (tirto.id)

Kebijakan demi kebijakan yang diambil tidak menyelesaikan masalah namun malah menimbulkan masalah baru untuk masyarakat. Ketidakmampuan ini, berasal dari sebuah kebijakan yang terlahir dari sistem kapitalisme. Kapitalisme menjadikan keuntungan materi menjadi faktor utama. Pelayanan pendidikan dalam sistem kapitalis cenderung komersil, maka tak heran permasalahan selama PJJ kerap terjadi. 

Dalam sistem Islam kondisi seperti ini tidak akan pernah terjadi, dalam Islam negara menjamin kebutuhan rakyatnya baik itu kebutuhan primer seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal, serta pelayanan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan. Negara akan senantiasa memastikan ketersediaan kebutuhan primer terpenuhi dan mencukupi seluruh keperluan rakyatnya. Untuk kebutuhan dasar publik negara menjamin secara mutlak yakni masyarakat dapat merasakannya secara adil, merata, terjangkau bahkan gratis. Jaminan dalan pendidikan misalnya jaminan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan, kelengkapan sarana prasarana belajar, dan  infrastruktur pembiayaannya dari negara. Dengan demikian jaminan terbentuknya generasi yang berkualitas yang memiliki kepribadian Islam, output generasi faqih fiddin, menguasai sains dan teknologi dapat tercapai. Khilafah akan mendorong segala sarana pembelajaran dalam pendidikan. Dalam kurikulum Islam tujuan pendidikan Islam tidak akan berubah, sehingga dalam kondisi apapun baik selama pandemi ataupun tidak  sarana dan uslub tidak bersifat tetap akan berkembang dan berkesinambungan. Dengan sistem ini kebijakan yang diambil bukan kebijakan yang menimbulkan permasalahan baru tetapi kebijakan yang solutif menyelesaikan sampai keakar masalahnya. 

WaLlahu'alam bish-shawwab.

Posting Komentar

0 Komentar