Oleh : Astriani Lidya, S.S (Aktivis KPIT Bekasi)
Untuk pertama kalinya Indonesia bersama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), berpartisipasi dalam merayakan Hari Kesetaraan Upah Internasional yang jatuh pada tanggal 18 September kemarin. Perayaan tersebut juga sebagai bentuk komitmen dari PBB untuk memperjuangkan Hak Asasi Manusia dan menentang segala bentuk diskriminasi, termasuk diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan.
“Mempertimbangkan kesenjangan gender di pasar kerja kita saat ini, kementrian saya, bersama dengan semua mitra sosial kami dan organisasi internasional, terus mendorong aksi bersama menentang diskriminasi berbasis gender di tempat kerja. Ini saatnya bagi perempuan dan laki-laki untuk dihargai secara setara berdasarkan bakat, hasil kerja dan kompetensi, dan bukan berdasarkan gender,“ ungkap Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dalam pernyataan pers yang dibagikan UN Women. (Kumparan, 19 September 2020)
Dilansir dari Bisnis.com, 21 September 2020. Saat ini tenaga kerja perempuan masih dibayar lebih rendah dibandingkan laki-laki, dengan perkiraan kesenjangan upah sebesar 16 persen. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh International Labour Organization (ILO) dan UN Women, perempuan memperoleh 77 sen dari setiap satu dolar yang diperoleh laki-laki untuk pekerjaan yang bernilai sama. Angka ini sudah dihitung dengan kesenjangan yang bahkan lebih besar bagi perempuan yang memiliki anak.Selaras dengan kondisi global, perempuan Indonesia memperoleh pendapatan 23 persen lebih rendah dibandingkan laki-laki. Kendati lebih banyak pekerja perempuan yang memiliki gelar D3/D4 atau sarjana dibandingkan laki-laki, pendidikan yang lebih tinggi tidak mempersempit kesenjangan upah berdasarkan gender. Bahkan pekerja perempuan dengan tingkat pendidikan sarjana mendapatkan upah yang cukup rendah dibandingkan laki-laki.
Baik ILO maupun UN Women menyerukan aksi yang dapat dilakukan di tingkat nasional, diantaranya, menghapuskan bias dan stereotip gender, mempromosikan manajemen sumber daya yang ramah keluarga, berbagi tanggung jawab keluarga secara dan menghargai pekerjaan rumah tangga dan perawatan tidak berbayar yang seringkali dibebankan pada perempuan, membentuk skema pengupahan yang transparan dan adil, melibatkan perempuan dalam kepemimpinan usaha dan serikat serta memungkinkan kebijakan yang mendorong kesetaraan gender di tempat kerja.
Menurut UN_Women: “When more women work, economies grow. An increase in female labour force participation results in faster economic growth” (Ketika lebih banyak perempuan bekerja, ekonomi tumbuh. Peningkatan partisipasi tenaga kerja perempuan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat).
Karena itu, dibutuhkan upaya untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam dunia kerja. Apalagi, saat ini realitas yang terjadi belum sesuai dengan harapan. Dalam World Employment and Social Outlook: Trends for Women 2017, yang diterbitkan oleh ILO disebutkan bahwa kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam dunia kerja masih cukup lebar dan tersebar luas. Mereka yakin jika wanita memainkan peran yang sama dengan laki-laki di pasar kerja, akan dapat menambahkan 28 trilliun dolar AS ke produk domestik brutto (PDB) global tahunan pada tahun 2025. Ketika perempuan diberikan upah yang besar maka dia akan mengeluarkan seluruh potensi yang dibutuhkan.
Pernyataan tersebut diatas sesungguhnya hanya asumsi. Tidaklah menjamin bahwa ketika perempuan bekerja dan mendapat upah yang sama dengan pria, dunia akan sejahtera. Dalam sistem ekonomi kapitalis kesejahteraan hanya untuk para pemilik modal. Tenaga kerja hanya dipandang sebagai pekerja yang diperas tenaganya, bukan manusia yang harus hidup layak sebagaimana para kapital. Karenanya, kesetaraan upah dan dorongan perempuan bekerja tidak akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi riil individu rakyat.
Dibalik maraknya kesetaraan upah antara perempuan dan laki-laki juga memiliki maksud terselubung agar perempuan tidak membebani negara dengan tunjangan gratis ketika hari tua karena tidak punya tabungan, dan sebagainya. Inilah kesejahteraan semu yang terjadi dalam sistem kapitalis.
Sesungguhnya perempuan dan dunia akan sejahtera hanya dengan Islam. Islam dengan sistem ekonominya mengatur masalah upah dengan adil. Pengupahan akan diberikan sesuai akad antara pekerja dengan orang yang mempekerjakan dan akan dilihat dari sisi kemampuan dan keahlian bukan dari jenis kelamin. Bisa jadi upah yang di dapat seorang perempuan lebih besar daripada seorang laki-laki karena lebih unggul dari segi keahlian. Dan hal ini tidak menimbulkan permasalahan antara keduanya. Tidak ada kezhaliman dalam segi upah seperti yang terjadi dalam sistem kapitalis. Kebutuhan rakyat pun sudah dijamin oleh negara dengan pembiayaan yang murah atau bahkan gratis sehingga mempengaruhi keinginan masyarakat dalam hal mengejar besarnya upah.
Peningkatan dan kesetaraan upah perempuan dalam ekonomi kapitalis akan melahirkan berbagai masalah dalam kehidupan. Diantaranya perempuan akan dijadikan tulang punggung dan mendapat beban ganda. Di dalam Islam, perempuan dibolehkan bekerja dan berkiprah dalam bidangnya selama tidak melanggar peran utamanya sebagai ibu dan manajer rumah tangga yang akan melahirkan generasi cemerlang pewaris peradaban. Untuk itulah umat harus tersadarkan bahwa solusi satu-satunya untuk melepaskan diri dari sistem ekonomi kapitalis adalah sistem Islam. Islam dengan Khilafahnya terbukti mampu mewujudkan kesejahteraan selama belasan abad dan juga mampu menempatkan perempuan pada posisi terbaiknya sebagai ibu dan pencetak generasi cemerlang. Karena itu perempuan butuh Khilafah segera.
Wallahu a’lam bishshawab
0 Komentar