Pilkada Nekat di Tengah Covid-19 Meningkat, Untuk Siapa?

Oleh : Inis Kuswati S.Pd (Pemerhati Politik Islam)

Ingar-bingar euforia Pilkada pada 9 Desember 2020 mulai dirasakan warga Indonesia. Sekitar 270 wilayah di Indonesia dari Sabang sampai Merauke sudah mulai merasakan gegap-gempitanya. Para politisi mulai melakukan pendaftaran, melakukan tes kesehatan serta menjalankan berbagai rancangan kampanye yang telah disusun sebelumnya. Namun, di tengah euforia itu muncul keresahan dan kekhawatiran dari berbagai pihak soal potensi munculnya klaster penyebaran Covid-19.

Banyak pihak yang meminta Pilkada ini ditunda hingga tahun depan sembari menunggu kondisi lebih kondusif. Pasalnya, banyak masyarakat yang belum patuh menerapkan protokol kesehatan. Sehingga, apabila dipaksakan dikhawatirkan akan jadi bom waktu yang melipatgandakan angka positif Covid-19. 

Dari polling yg dilakukan, sekitar 91% meminta agar Pilkada ditunda karena tidak ada urgensinya dan hanya membesarkan masalah yang sudah ada. Sekitar 99% peserta mendesak pemerintah menerbitkan payung hukum yang memberikan kenyamanan kepada para pengambil keputusan untuk mengatasi Covid-19 dan mencegah masyarakat dari kelaparan dan kekurangan nutrisi (beritasatu.com). 

Di tengah semakin masifnya penyebaran virus Covid-19, Pemerintah seharusnya fokus dalam menuntaskan wabah ini. Dana yang ada pun seharusnya dialokasikan untuk menangani pandemi Covid-19. Tercatat per tanggal 14 September, warga yang terkonfirmasi positif Covid-19 mencapai 221.523 kasus. Artinya, ada penambahan kasus baru sebanyak 3.141 kasus (ZonaBanten.com, 14/9)

Tingginya angka penyebaran Covid-19, selayaknya jadi bahan refleksi Pemerintah untuk mengkaji ulang diadakannya Pilkada 9 Desember mendatang. Pasalnya, jika Pemerintah tetap bersikukuh dengan keputusannya akan diselenggarakannya Pilkada di tengah wabah, maka dapat dipastikan akan menimbulkan berbagai persoalan baru. Di antaranya, risiko penyebaran wabah yang akan meningkat lagi. Kemudian tambahan anggaran yang tidak sedikit, karena harus menyediakan alat perlindungan diri dan kelengkapan protokol pencegahan covid dan lainnya. (Republika.co.id, 20/4) 

Hal tersebut terkonfirmasi dengan adanya penambahan anggaran Pilkada di tengah pandemi sebesar 4,7 T yang diajukan KPU dan disetujui oleh Pemerintah dan DPR. Bayangkan jika dana sebesar itu digunakan untuk optimalisasi penanaganan wabah, pasti itu akan lebih bisa menyelamatkan rakyat. Namun harapan itu tinggal harapan, keinginan rakyat tak lagi digubris oleh pemangku jabatan di negeri ini. Karena memperebutkan kursi jabatan lebih berharga ketimbang menyelamatkan jiwa rakyatnya.

Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, Saan Mustopa mengatakan, semua tahapan hingga saat ini berjalan relatif baik. "Sampai sekarang belum ada opsi penundaan Pilkada, karena semua tahapan yang sudah dan sedang berjalan semua berjalan relatif baik," kata Saan kepada Tempo, Senin, 14 September 2020. (Tempo.co, 4/9)

Senada dengan Saan Mustopa, Menkopolhukam Machfud MD menyampaikan, “Kalau ditunda itu prosedurnya kalau mau ubah UU dalam waktu dekat itu nggak mungkin, sudah kurang dari 2-3 bulan, itu harus masuk Prolegnas, itu hanya bisa dengan Perppu, Perppu tergantung KPU mau usulkan nggak,” terang Mahfud dalam diskusi daring Kelompok Studi Demokrasi Indonesia (KSDI) bertajuk ‘Evaluasi 6 Bulan dan Proyeksi 1 Tahun Penanganan Covid-19 di Indonesia' (detik.com, 12/9).


Pilkada untuk Kepentingan Siapa?

Keputusan untuk tetap mengadakan Pilkada benarkah untuk hajat rakyat atau hanya karena keinginan elit politik saja? Slogan yang dijunjung tinggi dalam demokrasi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, tampaknya hanya jadi pameo belaka. Hanya sepanjang sejarah demokrasi pengejawantahannya tak sesuai dengan slogan yang diembannya. 

Pemimpin yang dihasilkan pun kerap berorientasi pada kekuasaan yang mengabaikan kepentingan rakyat. Mereka lebih silau menggunakan kekuasaan untuk kepentingan diri dan partainya. Tak jarang untuk mendapatkan kekuasaan itu mereka melakukan kampanye yang berisi ribuan janji tapi tak pernah terbukti. Money politic sebagai hal yang biasa. Simak saja bagaimana masyhurnya "serangan fajar" untuk memenangkan kontestasi. Sehingga tak jarang kemenangan yang diraih oleh calon kepala daerah tersebut hanya untuk mengembalikan modal kampanyenya.

Rakyat hanya mendapat buaian janji manis belaka. Lagi-lagi gigit jari. Alhasil, tak jarang muncul apatisme di kalangan rakyat soal kepemimpinan. Baginya siapa pun pemimpinnya tetap mereka harus berusaha untuk bertahan hidup sendiri. Begitulah ironi demokrasi. 

Kekuasaan dalam demokrasi sering kali hanya dimaknai sebagai bagi-bagi kursi kekuasaan sebagaimana yang disampaikan oleh Jeffry Winters, pengamat oligarki di Indonesia, seorang profesor politik dari northwestern University. Dia menyampaikan bahwa gotong royong dan musyawarah mufakat dimaknai sebagai  bagi-bagi kekuasaan antaraelit oligarki. Sungguh miris bukan? Sampai kapan kita bergantung pada demokrasi yang merupakan sistem buatan manusia yang sudah cacat dari asalnya dan mengabaikan sistem yang jelas dari Zat Yang Maha Kuasa? “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” []

Wallahu a'lam bi ash-shawab

Posting Komentar

0 Komentar