HUKUM MANUSIA RELATIF HUKUM ALLAH PASTI, MARI KEMBALI KE HUKUM ALLAH

Oleh: Astriani Lidya, S.S 

Sebagaimana diketahui bersama, DPR dan pemerintah mensahkan UU Omnibus Law. Sudah pasti terjadi banyak penolakan dimana-mana. Karena isi dari UU tersebut dianggap jauh dari keberpihakan pada rakyat dan lebih berpihak pada korporasi.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Fathimah Fildzah Izzati mengatakan bahwa pasal 66 UU Omnibus law Cipta Kerja akan melanggengkan sistem kerja alih daya. Fildzah mengatakan penerapan sistem kerja alih daya (outsourcing) sebelumnya dibatasi dengan pasal 66 ayat (1) UU nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang mengatur bahwa outsourcing hanya boleh dilakukan untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. “Tapi di RUU Cipta Kerja tidak ada lagi pengaturan (batas) seperti itu. Jadi artinya di UU 13/2003 saja yang ada peraturan tidak boleh di inti kerja (core) produksi masih banyak dilanggar,” kata Fildzah dilansir dari Antara, Rabu (7/10/2020) 

Begitulah jika sebuah undang-undang diserahkan penetapannya pada manusia maka akan berdasarkan pada akal manusia yang terbatas dengan standar manfaat atau kepentingan individu tertentu. Banyak hal yang dianggap bermanfaat bagi satu pihak, namun tidak bagi pihak lain, bahkan merugikan bagi yang lain. Tampak bermanfaat untuk saat ini, tapi belum tentu untuk masa yang akan datang. Maka bisa dipastikan undang-undang buatan manusia akan menimbulkan pro-kontra.

Lantas mengapa masih memakai hukum buatan manusia yang jelas-jelas banyak menimbulkan kemudhoratan? Tidak lain karena sistem sekuler liberal yang diterapkan di negeri ini. Dimana agama hanya boleh diamalkan pada kehidupan pribadi. Sedangkan hukum yang mengatur kehidupan umum adalah berdasarkan kesepakatan. Untuk mengokohkan sekulerisme tersebut maka dibuatlah undang-undang yang isinya mengokohkan liberalisme. Seperti UU SDA, UU Migas, UU BPJS dan lain sebagainya.

Di dalam pandangan Islam, hak menetapkan hukum hanyalah kepunyaan Allah SWT. Sebagaimana potongan ayat dalam Al Qur'an surat al-An’am ayat 57: In al-hukmu illaa lilLaah yang artinya sesungguhnya menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Karenanya hukum yang diterapkan wajib bersumber pada Al Qur’an dan as-Sunnah serta Ijma’ dan Qiyas Syar’i. 

Islam diturunkan oleh Allah SWT untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri, dan dengan manusia lain seperti ekonomi, pemerintahan, dan sebagainya yang dalam pelaksanaannya diatur dan diterapkan oleh negara. Maka negara harus berhukum pada aturan Islam ketika melaksanakan kewajibannya.

Hukum Allah berasal dari Allah SWT yang Maha adil dan Maha benar. Hukum Allah ketika diterapkan akan menimbulkan kesejahteraan. Terbukti pada masa Umar bin Abdul Aziz, tak ada orang yang mau menerima zakat karena tidak ada yang menjadi mustahiq.

Hukum Allah juga didasarkan pada dalil bukan manfaat dan kepentingan. Jadi pemilik modal tidak bisa mengintervensi hukum agar sesuai dengan kepentingannya. Yang terpenting, menerapkan hukum Allah akan mendatangkan ridho Allah SWT. Menerapkan hukum buatan manusia akan mendatangkan murka dan azabNya. Wallahu a’lam bishshawab

Posting Komentar

0 Komentar