Oleh: Siti Ningrum (Praktisi Pendidikan)
Geram dan kalut mungkin dua kata itu yang bisa menggambarkan dari sosok-sosok para pembela hak-hak buruh. Mereka sudah tidak peduli lagi dengan jaga jarak, padahal corona belum beranjak. Namun siapa yang peduli terhadap virus mematikan yang tak kasat mata, jika kelangsungan hidup mereka pun sudah terancam nyata, gegara UU Cipta Kerja (Ciptaker) yang sudah disahkan. Sama-sama mengancam, laksana makan buah simalakama.
Para pejuang tidak akan gentar oleh apapun. Satu kata yang ingin diperjuangkan, batalkan UU Ciptaker. Agar kehidupan yang sedang dilalui tidak begitu berat, meskipun dengan menjalankan protokol kesehatan.
Sebelum disahkan UU Ciptaker, kehidupan masyarakat sudah terimpit ekonomi yang begitu sulitnya. apalagi sekarang setelah disahkan. Belum lagi Indonesia memasuki resesi. Sungguh hal ini membuat kekalutan yang sangat pada setiap jiwa. Akal sehat pun terkadang sudah tidak bisa mencerna dengan apa yang terjadi kini.
Gelombang penolakan UU Ciptaker ini tidak bisa dibendung lagi. Mulai dari kota-kota besar sampai ke daerah pelosok, para buruh turun ke jalan sampai mogok kerja nasional pun dilakukan selama 3 hari yaitu tanggal 6-8 Oktober 2020.
Buruh satu suara menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja. Ribuan buruh turun ke jalan dan mogok kerja nasional di sejumlah penjuru daerah. (Detiknews.com, 06/10/2020 )
Kini masyarakat tengah menanti sebuah keputusan dalam bentuk PERPPU. Akankah dibatalkan atau akan tetap melaju tanpa mengindahkan suara mayoritas yang dengan tegas menolak keberadaan UU Ciptaker ini.
Sejak kemunculannya UU Ciptaker (Omnibus Law) ke permukaan ibarat bola salju yang terus menggelinding yang akan melibas apapun yang ditemuinya. Sebab isi dari UU Ciptaker ini sangat merugikan sebelah pihak yaitu pihak pekerja/buruh.
Rakyat kini benar-benar sedang dalam kekalutan yang luar biasa, pandemi belum berakhir dengan segala persoalannya. Kini masyarakat pun akan dihadapkan pada masalah baru lainnya.
Rakyat berharap akan ada solusi yang benar-benar bisa membuat keuntungan untuk kedua belah pihak, baik untuk pihak para pekerja maupun untuk pihak yang memberi pekerjaan. Jangan sampai ada sebuah aturan yang merugikan sebelah pihak.
Kedaulatan dalam Kapitalisme
Demokrasi sangat menjunjung tinggi kebebasan dalam berpendapat. Musyawarah untuk mufakat adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam pengambilan sebuah keputusan. Suara mayoritas menjadi penentu, benarkah demikian halnya atau hanyalah penghias di atas kertas. Padahal rakyat sudah mempercayakan kepada para wakil rakyat dalam hal urusan mereka.
Dalam demokrasi kedaulatan ada ditangan rakyat tetapi pada praktiknya tidak demikian. Terbukti ketika rakyat menolak dengan tegas tentang UU Ciptaker, DPR tetap mengesahkannya. Jadi kedaulatan bukan lagi ditangan rakyat. Ini berarti sudah menciderai demokrasi itu sendiri.
Demokrasi kapitalisme akan selalu melahirkan aturan yang sesuai dengan keinginan dan kepentingan individu atau kelompok, bukan untuk kepentingan rakyat. Sesungguhnya demikianlah yang terjadi, rakyat hanya dijadikan sebagai pelengkap saja.
Dilansir dari laman Kompas.com, selain UU Ciptaker beberapa UU yang menjadi kontroversial diantaranya UU MK, UU KPK dan UU Minerba. Akan tetapi tetapi rakyat tidak bisa berbuat apa-apa terhadap keputusan tersebut. Bagaikan menelan pil pahit tetapi tidak bisa mengobati penyakit yang ada (06/10/2020).
Kedaulatan dalam Pandangan Islam
Di dalam Islam pun terdapat yang namanya musyawarah, tujuannya adalah mendiskusikan apa yang menjadi masalah umat Islam serta mencari solusi masalah yang dihadapi atau pun hal lainnya. Akan tetapi dalam pengambilan keputusannya bukan mencari suara terbanyak, melainkan mencari sebuah keputusan yang benar dan sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam.
Dalam Islam kedaulatan bukan di tangan rakyat melainkan berada pada hukum syara (aturan Islam). Jika suara terbanyak tidak sesuai dengan ajaran Islam maka keputusan tersebut tidak akan diambil. Akan tetapi jika keputusan tersebut sesuai dengan aturan Islam maka akan diambil keputusan tersebut meskipun hanya satu orang saja yang menyuarakan.
Seperti kasus Amirul Mukminin Umar bin Khatab khalifah kedua Khulafaur Rasyidin, dalam kasus menghadapai wabah di negeri Syam. Beliau sedang melakukan perjalanannya dari Madinah menuju negeri Syam, ditengah perjalanan didapati kabar bahwasannya negeri Syam sedang dilanda wabah penyakit menular dan mematikan. Sehingga beliau mengumpulkan semua para sahabat untuk bermusyawarah, baik yang berasal dari kalangan Anshar maupun kalangan Muhajirin serta meminta pendapat sahabat lainnya.
Dalam musyarah yang begitu alotnya suara pun terpecah menjadi dua suara diantara para sahabat Anshar dan Muhajirin. Amirul Mukminin yang terkenal dengan ketajaman hatinya, masih terus mencari keputusan yang akan diambil. Kemudian beliau meminta pendapat para sahabat yang membersamai Rasulullah saw. Dalam penaklukan kota Mekah, tampilah seorang sahabat yang terkenal dengan kedermawannya yaitu Abdurrahman bin Auf. Kemudian beliau membacakan sebuah hadis dari Rasulullah saw. Tentang wabah.
"Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR Bukhari)
Amirul Mukminin tidak berpikir panjang untuk mengambil sebuah keputusan, meskipun itu berasal hanya satu orang sebab landasan utama dalam pengambilan sebuah keputusan adalah dari sumber hukum Islam yaitu dari hadis Rasulullah saw. tentang wabah.
Oleh karena itu, beliau mengambil keputusan untuk kembali ke Madinah dan tidak jadi melanjutkan perjalanan ke Syam, yang kala itu sedang dilanda wabah penyakit tho'un menular yang sangat berbahaya.
Demikianlah Islam menuntun kita dalam pengambilan sebuah keputusan. Keputusan yang diambil adalah keputusan berdasarkan hukum syara. Sebab hukum syara adalah aturan yang dibuat oleh Sang Pencipta, sudah barang tentu didalamnya terdapat sebuah kemaslahatan untuk manusia.
Bahkan dalam Alquran Allah telah memberitahukan bahwasanya bagi orang beriman itu tidak ada pilihan lain kecuali harus taat dan patuh pada Allah Swt. dan RasulNya Nabi Muhammad saw.
Seperti Firman Allah dalam QS. Al-Ahzab ayat 36: "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata".
Wallahu a'lam Bishshawab.
0 Komentar